Mengapa Paylater dan Konsumerisme Tumbuh Subur?

Opini619 Views

 

Penulis: Rizka Adiatmadja | Penulis Buku & Praktisi Homeschooling

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Daya beli masyarakat beraroma sekarat. Termasuk di wilayah urban seperti DKI Jakarta, semakin menurun bahkan terjun bebas. Tidak hanya dipengaruhi oleh kenaikan harga barang dan jasa, tetapi juga faktor-faktor eksternal seperti PHK yang terus terjadi dan lesunya perekonomian global.

Hal tersebut yang membuat masyarakat terus terpuruk, kesulitan yang terus menjerat dan iklim kehidupan yang semakin buruk. Namun, di tengah problematika ini, solusi sementara yang terkesan mudah pun mulai digunakan, salah satunya adalah sistem paylater.

Paylater menjadi pilihan, seperti angin segar di siang terik. Masyarakat yang tergoda menggunakan layanan paylater untuk memudahkan mereka dalam berbelanja, terutama di dunia maya. Konsep “beli sekarang, bayar nanti” menawarkan kenyamanan yang seolah-olah meringankan beban ekonomi yang sedang dihadapi banyak orang.

Tentu itu menjadi jalan pintas, meskipun mereka harus terjebak dalam utang yang harus dibayar di kemudian hari. Sebagai contoh, total utang dengan menggunakan sistem paylater di Indonesia pada April 2023 mencapai lebih dari Rp2,1 triliun, menunjukkan betapa besarnya ketergantungan masyarakat terhadap sistem ini untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka. (Liputan6.com, 12 April 2023).

Konsumerisme dalam Sistem Kapitalisme

Di balik praktik penggunaan paylater ini, terdapat pengaruh besar dari sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan saat ini. Kapitalisme memiliki fondasi yang terkait erat dengan persaingan dan individualisme yang menjerat, mendorong masyarakat untuk terus mengejar ambisi yang standarnya materi.

Lahirlah budaya konsumerisme yang terus mengakar, di mana kebahagiaan hanya bersandar pada kemewahan fasilitas kehidupan, bukan dari sisi kalbu yang sarat ketenangan meskipun dalam kesederhanaan.

Budaya hedonistik inilah yang pada akhirnya merugikan banyak pihak, semakin melenggang dengan adanya kemudahan sistem paylater.

Dengan kata lain, meskipun mereka tidak mampu membayar secara langsung, masyarakat dibujuk untuk memenuhi keinginan konsumtif mereka.

Makin banyak yang terjerat dalam lingkaran utang, dan akhirnya, kehidupan yang seharusnya sederhana menjadi lebih rumit.

Paylater: Jalan Pintas yang Berisiko

Paylater yang marak saat ini memang berbasis ribawi atau mengandung bunga dan tentunya itu haram dalam pandangan Islam. Meskipun sering dianggap solusi mudah, sistem paylater berisiko menambah beban masalah ekonomi masyarakat, bukan menyelesaikan.

Tidak hanya itu, sistem ini berpotensi menjauhkan individu dari keberkahan, karena semakin terperangkap dalam siklus utang yang mencekik.

Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa: 29).

Ayat tersebut mengingatkan kita akan pentingnya menjaga harta dan menghindari praktik yang merugikan, seperti utang berbunga yang bisa menjerumuskan ke dalam kesulitan yang lebih besar.

Solusi Komprehensif dalam Islam

Dalam sistem ekonomi Islam, prinsip berbagi dan keadilan sosial menjadi landasan utama. Islam tentunya menyejahterakan dan fokus pada hak-hak individu secara adil, baik dalam hal kebutuhan pokok maupun dalam mencapai kesejahteraan hidup lainnya.

Namun, dalam Islam, kebutuhan tersebut tidak hanya dilihat dari sudut pandang materi semata, tetapi juga dari sudut pandang spiritual dan moral.

Ada satu instrumen yang diatur dalam Islam untuk mengatasi kesenjangan sosial yaitu zakat. Zakat tidak hanya mengurangi beban masyarakat yang kesulitan secara finansial, tetapi juga membersihkan harta dari unsur yang haram.

Dengan adanya zakat, harta yang dimiliki oleh seseorang memiliki nilai lebih karena ia tidak hanya digunakan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kebaikan bersama.

Selain itu, dalam sistem ekonomi Islam, segala bentuk transaksi ribawi akan dihapuskan. Hal ini karena transaksi ribawi tidak hanya merugikan salah satu pihak, tetapi juga dapat menambah beban hidup seseorang yang terjerat utang. Islam memfasilitasi transaksi yang berbasis pada keadilan, saling menguntungkan, dan tanpa ada pihak yang dirugikan.

Dalam hal ini, Islam juga mengatur mekanisme jual beli yang adil dan memberikan peluang yang sama bagi semua pihak untuk mendapatkan keuntungan yang wajar.

Pendidikan Ekonomi Berbasis Islam

Untuk mewujudkan kesejahteraan yang lebih merata, pendidikan ekonomi berbasis Islam juga sangat penting. Masyarakat perlu dibekali dengan pemahaman yang benar tentang konsep ekonomi Islam yang lebih berfokus pada keadilan dan kemaslahatan bersama.

Hal tersebut akan membuat masyarakat lebih bijaksana dalam mengelola keuangan pribadi mereka dan lebih kritis terhadap praktik-praktik ekonomi yang merugikan, seperti utang berbunga yang semakin marak saat ini.

Pendidikan ekonomi Islam ini tidak hanya berlaku untuk mereka yang sudah bekerja, tetapi juga untuk generasi muda yang masih dalam proses belajar.

Dengan pendidikan yang baik, generasi muda akan lebih paham tentang pentingnya mengelola keuangan dengan bijak dan menghindari utang yang tidak perlu.

Mereka juga akan lebih peka terhadap pengaruh budaya konsumerisme yang terus berkembang dan mendorong mereka untuk hidup sesuai dengan kebutuhan, bukan keinginan semata.

Di tengah tantangan ekonomi yang semakin besar, solusi yang ditawarkan oleh sistem kapitalisme, seperti paylater, tidaklah cukup untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Sistem ini justru akan menambah beban hidup masyarakat dan semakin memperburuk ketidakadilan sosial. Prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia menjadi landasan utama dalam sistem Islam.

Dengan penerapan sistem ekonomi Islam yang berbasis pada syariat, masalah-masalah ekonomi yang ada dapat diselesaikan dengan cara yang lebih adil dan bermartabat.

Seiring dengan penerapan sistem Islam yang kafah, kita sebagai umat Islam diharapkan dapat menjaga harta kita dari unsur ribawi dan tidak terjerumus dalam gaya hidup konsumtif yang merugikan. Kebahagiaan sejati bukanlah berasal dari banyaknya barang yang kita miliki, tetapi dari rida Allah Swt.

Oleh karena itu, mari kita berusaha untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan berkah dalam segala aspek kehidupan, baik dunia maupun akhirat. Semua hanya bisa terwujud melalui institusi Islam. Wallahu ‘alam bisshowab.[]

Comment