Mesi Tri Jayanti*: Polemik RUU HIP

Opini536 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM,  JAKARTA — Tampaknya para wakil rakyat pemegang kedaulatan di negera demokrasi ini belum cukup puas memproduksi rentetan regulasi yang menimbulkan kontroversi. Di tengah kesulitan masyarakat yang kian parah akibat pandemi, rencana DPR membahas untuk mengundangkan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) memunculkan perdebatan dan resistensi yang meluas.

RUU ini diharapkan dapat berfungsi sebagai pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun kebijakan Pembangunan Nasional di pelbagai bidang. Bahkan seluruh peraturan perundang-undangan yang ada saat ini bisa diubah mengikuti RUU HIP jika final disahkan menjadi Undang-undang.

Sebagaimana yang termaktub pada Pasal 4 poin (a) yang menjelaskan bahwa RUU HIP bertujuan sebagai pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun kebijakan, perencanaan, perumusan, harmonisasi, sinkronisasi, pelaksanaan dan evaluasi terhadap program Pembangunan Nasional di berbagai bidang, baik di pusat maupun di daerah, yang berlandaskan pada nilai-nilai dasar Pancasila.

Sejak awal, RUU HIP telah menuai penolakan dari berbagai kalangan. Polemik yang dipertentangkan itu mulai dari makna Pancasila sebagai ideologi, apa saja yang bertentangan dengan ideologi, bagaimana mewujudkan integrasi hingga soal implementasi dalam beberapa aspek termasuk di bidang ekonomi.

Di satu sisi menetapkan peran negara yang harus lebih dominan dalam menjaga ekonomi rakyat, namun disisi lain justru mendorong kebijakan utang luar negeri dengan alasan memperkuat ekonomi. Selain itu salah satu yang mengemuka juga yaitu RUU ini dinilai memberi celah keterbukaan terhadap berkembangnya komunisme.

Dikutup dari CNN Indonesia (Selasa, 16/06/2020), sejumlah Ormas islam senada menyerukan penolakan atas RUU ini. Kritik pertama dari Front Pembela Islam (FPI), GNPF Ulama dan PA 212 yang membuat surat pernyataan bersama.

Salah satu poinnya, mereka menolak RUI HIP karena berpotensi memicu kebangkitan komunisme.. Sebab di dalam konsideran mengingatnya, RUU HIP tidak mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme atau Marxisme-Leninisme. Padahal TAP MPRS ini merupakan landasan pertama sebagai norma pelarangan paham tersebut.

Penolakan pun semakin menguat saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan maklumat MUI yang menolak keberadaan RUU HIP karena dinilai mendegradasi Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila.

Dilansir dari draf RUU HIP, konsep Trisila dan Ekasila tertuang dalam Pasal 7. Pasal tersebut memuat tiga ayat.

Adapun ayat 1 menyebutkan ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan. Pasal 7 Ayat (2), ini menekankan bahwa ciri pokok Pancasila berupa trisila.

Ketiganya, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Ayat 3, Trisila sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) terkristailisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong.

Lantas yang timbul pertanyaan adalah, bagaimana yang dimaksud dengan ketuhanan yang berkebudayaan tersebut?

Apakah perlahan asas ketuhanan yang menjadi landasan bangsa selama ini akan direduksi menuju konsep budaya? Sedangkan sudah tidak dipungkiri lagi budaya yang berkembang di negeri tercinta ini merupakan hasil impor dari pola pikir sekuler yang memisahkan agama dari semua lini kehidupan.

Publik melihat RUU HIP ini seakan mengonfirmasi kebohongan jargon “Pancasila Harga Mati”. Karena apa yang terjadi adalah para pemangku kekuasaan sendiri yang hendak memeras esensi Pancasila.

Padahal melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, tuduhan anti Pancasila hingga berujung pada pencabutan badan hukum terhadap salah satu Ormas Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) beberapa waktu lalu pun hingga kini tidak bisa dibuktikan secara konkret.

Selain itu, draf yang telah disetujui DPR sebagai inisiatif lembaganya tersebut juga mencantumkan poin yang membolehkan negara berutang demi memperkuat perekonomian nasional. Termaktub dalam Pasal 17 yang mengatur pelaksanaan demokrasi ekonomi pancasila, disebutkan pada poin j bahwa negara boleh berutang dengan tujuan memperkuat perekonomian nasional.

Dengan ketentuan ini, publik mengkhawatirkan jika ini justru menjadi dalih atas keberlangsungan perekonomian negara yang hanya mengandalkan hutang.

Dengan berbagai ruang gelap dalam pasal-pasalnya yang rawan untuk menimbulkan multi interpretasi mengenai siapa yang paling pancasilais dan berpotensi untuk dijadikan “alat gebuk” lawan politik, wajar jika RUU HIP ini menuai polemik publik. Meski pemerintah saat ini mengambil sikap untuk menunda pembahasan RUU HIP untuk sementara waktu, namun tidak berarti wacana ini selesai sampai disini.
Penerapan pancasila sebagai sebuah ideologi yang idealnya memiliki seperangkat pemikiran, nyatanya masih sebatas nilai luhur masyarakat Indonesia.

Sebab dalam tataran fakta empirisnya, nyaris seluruh perumusan kebijakan bernegara didominasi oleh ideologi sekuler kapitalisme.

Oleh sebab itu, harus disadari semua komponen bangsa bahwa ancaman tidak kalah besar bahayanya bersumber dari berkembangnya kapilatisme dan liberalisme yang makin mengakar di sektor-sektor strategis umat.

Islam hadir sebagai agama yang sempurna, terdiri dari aqidah dan peraturan (syariah). Ini mengindikasikan urgensitas umat untuk mengenal Islam sebagai ideologi yang telah sangat komprehensif dan terintegrasi sebab bersumber langsung dari Allah SWT.

Allah Sang Khaliq (pencipta) sekaligus al-mudabbir (pengatur) telah menurunkan al-Qur’an yang berisi petunjuk bagi manusia dalam menjalani kehidupan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Al-Maidah: 50 “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”.

Artinya, hukum yang bersumber dari sistem kapitalisme dan sosialis komunisme sama-sama berbahaya bagi kehidupan manusia yang karena keduanya mendudukkan manusia sebagai pembuat hukum. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” (Al-Maidah: 49)

Dengan segala permasalahan yang timbul dari ideologi kapitalisme maupun sosialisme/komunisme, sudah selayaknya Islam hadir sebagai ideologi di negeri ini.

Alternatif pengganti kapitalisme bukan ideologi sosialisme. Adalah islam sebagai satu-satunya solusi yang telah terbukti mampu menguasai 2/3 belahan dunia, dan menghadirkan rahmat bagi seluruh alam selama kurang lebih 13 abad lamanya. Wallaahu a’lam bisshawab.[]

*Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

Comment