Mirah Sumirat: Praktek Sistem Kerja Alihdaya Langgar HAM

Nasional172 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Istilah sistem kerja outsourcing muncul sejak lahirnya Undang-undang ( UU) No. 13 Tahun 2003 ( UUK 13/2003) tentang Ketenagakerjaan. Sebelum UU tersebut diterbitkan setiap pekerja diberikan kesempatan masa percobaan selama 3 (tiga) bulan. Setelah itu diangkat menjadi pekerja tetap atau pekerja dikontrak langsung oleh pemberi kerja /perusahaan inti. Setelah 1 sampai 3 tahun diangkat menjadi pekerja/buruh tetap.

Demikian dikatakan Mirah Sumirat dalam rilisnya ke redaksi Radar Indonesia News, Selasa (6/5/25).

Mirah mengatakan, istilah outsorcing dalam UUK 13 Tahun 2003 adalah mengalihkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain dan pekerjaan dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) tergantung sifat dan jenis pekerjaannya.

“UUK 13 Tahun 2003 mengatur hanya pekerjaan penunjang saja yang boleh dialih-dayakan bukan pekerjaan inti (core bisnis). Diaturlah dalam UUK 13 Tahun 2003 tersebut hanya 5 (lima) jenis pekerjaan saja yang bisa di outsourcingkan yaitu : Security, Cleaning Service, Cetering, Driver dan Tambang.” Ujarnya.

Mirah menambahkan, aturan yang mengatur secara detail tentang sistem kerja kontrak dan outsourcing terdapat dalam pasal. 59, 64, 65 dan 66 UUK 13 Tahun 2003.

“Namun prakteknya masih banyak jenis pekerjaan di luar 5 jenis pekerjaan tersebut di atas dibuat outsourcing, dan ajaibnya pelanggaran outsourcing dilakukan juga oleh perusahaan sekelas BUMN”. Ujarnya.

Kemudian, lanjutnya, terbit undang-undang Omnibuslaw Cipta Kerja. Dalam undang-undang tersebut istilah outsourching diganti menjadi Alihdaya. Dalam undang-undang tersebut tidak lagi membatasi 5 (lima) jenis pekerjaan saja yang boleh dialih-dayakan (Outsorcing) seperti terdapat dalam UUK 13 Tahun 2003, tapi jenis pekerjaan yang bisa dialih-dayakan/outsourcingkan diperluas. Hampir seluruh jenis pekerjaan bisa dioutsourcingkan.

Bukan hanya itu, tambah Mirah, dalam UUK 13 Tahun 2003 kontrak kerja dibatasi 2x, dalam UU Omnibuslaw tidak ada lagi pembatasan kontrak.

“Artinya, alih-daya/outsourcing dalam UU omnibuslaw sudah sangat parah karena tidak ada batasan pekerjaan dan kontrak. Dalam kata lain kontrak bisa seumur hidup”. Ujar Mirah Sumirat.

Dalam prateknya, lanjut Mirah, pelaksanaan UU omnibuslaw Cipta Kerja untuk alih-daya/outsourcing ini sangat liar dan ugal-ugalan. Banyak ditemukan praktek alihdaya/outsourcing yang menyimpang dari peraturan perundangan ketenagakerjaan seperti berikut:

a. Pekerja/ buruh diminta untuk membayar sejumlah uang rata-rata kurang lebih 10 juta sampai 25 juta demi bisa diterima menjadi pekerja di perusahaan outsourcing tersebut. Diduga uang tersebut dibayarkan ke direksi dan manager di perusahaan pemberi kerja.

b. Praktek-praktek lain adalah pekerja/ buruh yang bekerja di perusahaan pemberi kerja menjabat menjadi salah satu direktur di perusahaan outsourcing.

c. Praktek outsourcing yang menyimpang lainnya adalah direktur atau general manager di perusahaan pemberi kerja memiliki perusahaan outsourcing dan pada akhirnya pekerjaan yang ada diberikan kepada perusahaan yang telah dibentuk oleh mereka.

d. Praktek outsourcing yang lainnya adalah melibatkan ormas, oknum TNI, POLRI, RT/RW, Lurah, Karang Taruna bahkan ada oknum Pimpinan Serikat Pekerja memiliki perusahaan outsourcing.

e. Ijin pendirian outsourcing tidak sesuai aturan yang ada, seperti koperasi yang ijin pendiriannya simpan pinjam dan bukan berbentuk PT tapi pada prakteknya malah menjadi bisnis pengerah tenaga kerja.

Lalu bagaimana perlindungan dan hak-haknya? Dengan praktek-praktek yang sekarang penuh dengan penyimpangan maka yang terjadi adalah sebagai berikut:

– Upah di bawah UMP,
– Tidak ada jaminan sosial. Dalam hal ini pekerja/buruh tidak mendapatkan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
– Kebebasan berserikat tidak ada sebagai sarana untuk memperjuangkan hak sesuai dengan peraturan perundangan
– Sangat mudah diPHK dan tidak diberikan uang pesangon sehingga tidak ada masa depan.
– Tidak ada jenjang karir di perusahaan
– Tidak mendapatkan pelatihan di tempat kerja (Upskiling, Reskiling).
– Tidak mendapatkan perlindungan yang memadai perihal Kesehatan Keselamatan Kerja (K3).
– Tidak ada perlindungan hukum apabila mengalami diskriminasi di tempat kerja, kekerasan seksual, pelecehan seksual baik verbal maupun nonverbal, mutasi yang tidak berkeadilan, jam kerja yang melebihi peraturan perundangan dan tidak diberikan uang lembur.

– Tidak mendapatkan THR dan tidak insentif/bonus
– Gaji tidak dibayarkan tepat waktu
– Kontrak kerja yang tidak transparan dan tidak diberikan kepada buruh outsourcing.

Praktek penyimpangan ketenagakerjaan pada sistem Alihdaya/Outsourching seperti kondisi di atas sudah pantas kalau oursourcing layak disebut sebagai perbudakan modern. Jika kondisi seperti itu maka akan menghilangkan masa depan oekerja/buruh.

Namun di sisi lain Mira mengakui bahwa ada perusahaan alih daya/outsourcing yang mempraktikkan sistem kerja sesuai dengan jenis pekerjaan yang telah ditentukan dalam UU No.13 tahun 2003.

“Perusahan ini menerapkan peraturan perundangan dengan baik dan memperhatikan hak-hak pekerja/buruh dengan memberi upah yang layak, jaminan sosial yang baik, menjamin kebebasan berserikat, pelatihan yang dibutuhkan dalam pekerjaan dan semuanya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.” Pungkasnya.[]

Comment