Suasana sidang pleno pengucapan putusan gugatan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Kepala Daerah 2015 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (18/1/2015). (Ikhwan Yanuar) |
Pemilihan (PHP) Pilkada diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi tidak bisa
lanjut ke persidangan selanjutnya. Salah satunya, gugatan yang diajukan
presenter kondang Helmy Yahya yang kalah dalam Pilkada serentak.
Seluruh
perkara PHP tersebut digugurkan MK karena permohonan sengketanya tidak
sesuai dengan pasal 158 UU Pilkada 8 Tahun 2015 tentang selisih suara
dan pasal 6 PMK Nomor 5 tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dan
Perselisihan Hasil Pilkada.
Perkara yang ditolak MK tersebut
antara lain, Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Halmahera Barat sebanyak 2
perkara, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Malang, Kabupaten Barru,
Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Kabupaten
Nias Selatan, Kabupaten Humbang Hasundutan sebanyak 2 perkara, Kabupaten
Nias, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten Nias Utara, dan
Kabupaten Labuhanbatu.
Selain itu, ada juga kabupaten Samosir,
Provinsi Bengkulu, Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lebong, Kota Tangerang
Selatan sebanyak 2 perkara, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten
Pandeglang, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Bungo, dan Kabupaten
Cianjur.
Kuasa hukum pemohon pasangan calon Tigor Panusunan
Siregar dan Eri Atrada Eritonga dari kabupaten Labuhan Batu, Ilham
Presetio Gultom, mengatakan bahwa sikap MK yang tegas menolak permohonan
yang tidak sesuai pasal 158 UU Pilkada 8 Tahun 2015 tersebut jelas
menimbulkan persoalan baru.
Menurut dia, potensi kecurangan di Pilkada serentak 2017 mendatang akan semakin terbuka, dilakukan oleh semua kontestan Pilkada.
“Semua
kontestan akan melakukan upaya kecurangan semaksimal mungkin yang
penting selisih di atas 2 persen. Dengan kecurangan lebih 2 persen tidak
masalah,” kata Ilham di gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka
Barat, Jakarta Pusat, Kamis 21 Januari 2016.
Dengan adanya pasal
tersebut, di Pilkada 2017 para pihak yang memiliki itikad tidak baik
akan bersiap-siap melakukan kecurangan dengan dasar selisih suara di
atas 2 persen. Karenanya, dia khawatir pada pilkada 2017 kasus
kecurangan akan banyak gugur karena MK terbentur pasal 158 UU Pilkada 8
Tahun 2015 dan pasal 6 PMK Nomor 5 tahun 2015.
“Dampaknya akan
panjang. Sangat ironis sekali kita dengar hakim membacakan alasannya
karena ini pertimbangan budaya hukum. Tahun 2008 betapa manisnya MK
bilang bukan lembaga kalkulator, MK akan mencari keadilan. Namun, kita
lihat hari ini, pas sidang putusan kemarin oke waktu tenggang, tapi ini
sudah masuk persoalan putusan,” ujarnya.
Sebelumnya, MK telah mengeluarkan putusan dismissal atas 35 perkara PHP dengan amar putusan tidak dapat diterima pada Senin tanggal 18 Januari 2015 kemarin.
Mayoritas
perkara PHP tersebut ditolak atau digugurkan MK karena permohonan
sengketanya melewati tenggat waktu pengajuan ke MK sebagaimana diatur
dalam Pasal 157 UU Pilkada dan PMK no 5 tahun 2015 tentang tata cara
bersidang di MK.
Sedangkan untuk sidang lanjutan putusan
dismissal kedua hari ini sebanyak 26 perkara Perselisihan Hasil
Pemilihan (PHP) Pilkada diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi tidak bisa
lanjut ke persidangan selanjutnya, karena tidak sesuai dengan pasal 158
UU 8/2015 tentang Pilkada.
Dalam pasal UU tersebut memang
diatur bahwa setiap permohonan sengketa yang masuk ke MK, tidak boleh
mempunyai selisih lebih dari dua persen dari jumlah penduduk. (one/vv)
Comment