Nasib Guru Honorer di Tangan Kapitalis Sekuler

Opini584 Views

 

 

 

Oleh : Khansa Mustaniratun Nisa, Mentor Kajian Remaja

_________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Guruku tersayang, guruku tercinta
Tanpamu apa jadinya aku
Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal
Guruku, terima kasihku

Begitulah penggalan lagu Guruku Tersayang. Masih banyak lagi lagu bertemakan guru seperti Terima Kasihku, Hymne Guru dan masih banyak lagi. Selalu digambarkan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa dan memang benar adanya. Lantas apakah sejahteranya para guru ini telah sebanding dengan pengorbanannya untuk mendidik generasi bangsa?

Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) akan menghapus status tenaga honorer di pemerintahan mulai 2023. (radarsukabumi.com, 28/1/22)

Menteri Tjahjo menegaskan jika keberadaan tenaga honorer di pemerintahan harus sudah selesai pada 2023. Para eks tenaga honorer itu tetap mendapat kesempatan masuk ke dalam pemerintahan, tetapi harus mengikuti seleksi dalam bentuk PPPK maupun CPNS.

PPPK merupakan ASN yang bekerja sesuai ketetapan perjanjian kontrak. Sementara, tidak ada jaminan pasti seluruh tenaga honorer yang ikut seleksi CPNS atau PPPK akan diangkat menjadi ASN.

Menilik dari sisi kesejahteraan upah, gaji ASN lebih memadai daripada honorer. Pun secara jaminan masa depan, dua status ini bertolak belakang. Meski pemerintah sudah mengakomodasi sebagian tenaga honorer menjadi PPPK lewat seleksi, tetap saja hal itu masih menyisakan keresahan.

Pasalnya, jika wacana penghapusan ini benar terjadi pada 2023, bukan tidak mungkin malah banyak tenaga honorer yang kehilangan mata pencarian mereka karena tidak ada lagi alokasi dana APBD untuk gaji honorer.

Di sisi lain, tenaga honorer yang dihapus bisa jadi tidak sama dengan jumlah yang diterima. Faktanya, jumlah yang diterima cenderung lebih kecil karena teknis seleksi dinilai ribet oleh sebagian peserta tes PPPK 2021 lalu.

Belum lagi masalah teknis lainnya. Tenaga honorer yang sudah berumur kalah saing dengan yang masih muda. Dari sisi teknologi, honorer yang sudah tua jelas sulit menjawab soal melalui komputer. Selain karena mata tua, bisa jadi mereka juga gagap teknologi.

Sampai di sini, kesimpulan pahitnya adalah dalam sistem kapitalisme hubungan antara penguasa dan rakyat didasarkan pada asas untung dan rugi. Hitung-hitungan secara ekonomi berlaku, rakyat hanya menjadi beban negara jika masih harus didanai atau disubsidi oleh kas negara.

Hal ini berbanding terbalik dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam Islam, peran guru sangat penting sehingga kesejahteraannya menjadi kewajiban negara untuk dipenuhi. Bahkan jika kas baitul mal kosong, negara akan memberlakukan pajak agar terpenuhi hak guru.

Tak hanya itu, hak bagi para pelajar punĀ  dipenuhi, salah satunya pendidikanĀ  digratiskan, akan diberi santunan, fasilitas lembaga-lembaga pendidikan sangat berkelas dan mudah diakses, gaji guru sangat besar. Tak akan ada diskriminasi tenaga pendidik baik honorer maupun PNS karena semuanya akan mendapatkan jaminan kesejahteraan yang sama atas kontribusinya untuk mencerdaskan para peserta didik.

Sebagaimana sejarah mencatat kehidupan guru di masa pemerintahan Umar bin Khaththab. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari Al-Wadhiah bin Atha, bahwasanya pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab, ada tiga guru di Madinah yang mengajar anak-anak. Setiap guru mendapat gaji 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas; 15 dinar=63,75 gram emas).

Bila saat ini 1 gram emas Rp500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp31.875.000. Tentunya tidak memandang status guru tersebut PNS ataupun honorer, bersertifikasi atau tidak. Yang jelas, mereka adalah tenaga pendidik.

Begitulah sejahteranya guru dalam sistem pemerintahan Islam. Sungguh sangat berbanding terbalik dengan sistem saat ini. Oleh sebab itu, masihkan kita berharap sejahtera dalam sistem kapitalis sekuler ini?[]

Wallahu a’lam bish shawab.

Comment