![]() |
Jokowi.[dok/radarindonesianews.com |
Salamuddin Daeng selaku pemerhati ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) mencermati kondisi yang menurutnya itu disebabkan berbagai kebijakan ekonomi dan politik Indonesia yang terfokus pada upaya mengejar pertumbuhan ekonomi bertumpu pada pengembangan mega proyek infrastruktur.
“Garis kebijakan pemerintah telah memicu konsentrasi sumber sumber ekonomi tanah, keuangan dan pendapatan pada sekelompok kecil orang,” tukasnya singkat.
Bahkan, menurut peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) itu menilai kalau ketimpangan pendapatan dan kekayaan berlangsung secara cepat. “Baru baru ini Oxfam International merelease bahwa ketimpangan kekayaan di Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia,” cetusnya dengan tegas.
“KEKAYAAN 4 ORANG INDONESIA SETARA DENGAN 100 JUTA PENDUDUK. Ini adalah sebuah kondisi yang sangat extrim tidak hanya akan memiliki implikasi ekonomi akan tetapi juga politik dan keamanan,” paparnya.
Maka dari itulah, dirinya merasa ketimpangan extrim yang tidak pernah terjadi pada era sebelumnya.”Masih ingat strategi orde baru dalam mengatasi Ketimpangan ? Trickle down effect, strategi yang menuai kecaman dari banyak orang karena dianggap sebagai penghinaan terhadap kemanusiaan. Bagaimana mungkin ratusan juta rakyat hanya mendapatkan tetesan dari kemakmuran.?,” celetukmya menimpali lebih lanjut kembali.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, papar Salamuddin mengemukakan bahkan ternyata sejak era reformasi yang konon katanya adalah antitesa terhadap kebijakan pemerintahan Soeharto, ternyata ketimpangan ekonomi kian menjadi jadi.
“Tetesan ke bawah pun tertutup, dimana sebagian besar kekayaan negara, seperti tanah, keuangan dan pendapatan mengalir ke atas, terkonsentrasi di atas dan mengalir ke atas,” ulasnya seraya mempertanyakan alirannya kemana ?
“Yakni ke tangan asing dan segelintir taipan dan terus berputar di lingkungan mereka sendiri,” jelasnya.
Kemudian, pengamat ekonomi AEPI itu pun turut mengungkapkan beberapa poin perlu dicermati
Pemerintah dimana telah memicu konsentrasi sumber sumber ekonomi tanah, keuangan dan pendapatan pada sekelompok kecil orang itu.
Dalam penguasaan tanah, sejatinya tanah yang merupakan unsur paling penting dalam ekonomi, faktor produksi utama, serta unsur utama eksistensi suatu bangsa.”Pasalnya, tanpa tanah maka bangsa itu tidak ada. Tanpa tanah maka masyarakatnya akan lenyap dengan sendirinya,” tukas Salamuddin.
Sebaliknya, sambung Salamuddin memaparkan,”Apa yang terjadi dalam era reformasi? “Tanah berada dalam penguasaan minoritas, secara perlahan lahan jatuh di genggaman minoritas asing dan segelintir taipan. Tanah berpindah dari negara ke tangan segelintir orang melalui pemberian berbagai hak penguasaan atas tanah diatur dengan UU negara,” paparnya mengkritisi.
Tanah yang dikuasai dalam bentuk hak penguasaan atas tanah oleh asing dan taipan saat ini seluas 178 juta hektar. Seluas 140 juta hektar merupakan wilayah daratan atau sekitar 72 % dari luas daratan Indonesia. Seluruh tanah tersebut dikuasai oleh perusahaan besar asing dan taipan dalam berbagai bentuk hak penguasaan tanah.
Selain itu pula, Pemerintah telah mengalokasikan tanah dalam bentuk kontrak kerjasama migas (KKS) seluas 95 juta hektar sebagian besar di darat yakni sebanyak 60 % dari total KKS atau sekitar 57 juta hektar. Kontrak tambang mineral dan batubara seluas 40 juta hektar. Selanjutnya hak penguasaan tanah yang diberikan dalam bentuk ijin perkebunan sawit 13 juta hektar, ijin kehutanan dalam bentuk HPH, HTI dan HTR seluas 30 juta hektar.
“Sebuah perusahaan swasta milik taipan bisa menguasai lahan seluas 2,5 juta hektar menurut versi beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan 1,5 juta hektar (ha), lalu selain itu ada puluhan taipan besar di tanah air dengan skala penguasaan tanah yang sangat luas,” cetusnya.
Ketimpangan dalam penguasaan tanah inilah yang seringkali menimbulkan konflik antara masyarakat melawan pengusaha dan pemerintah. selain itu hak penguasaan lahan yang sangat luas oleh asing dan taipan telah menimbulkan overlapping/tumpang tindih, sehingga kasus beberapa kabupaten kota di Indonesia menunjukkan luas ijin untuk berbagai kegiatan investasi telah melebihi luas wilayahnya.
Sementara lebih dari separuh rakyat Indonesia yang masih hidup dan bekerja di sektor pertanian hanya menguasai lahan sekitar 13 juta hektar yang terbagi dalam 26 juta rumah tangga petani dengan luas masing masing 0.5 hektar. Dengan demikian setiap petani hanya menguasai lahan rata rata 0.17 juta hektar per petani.”Itulah mengapa tak ada kegiatan usaha tani yang meraih keuntungan dengan luas lahan yang sangat minim tersebut,” jelasnya.
“Penguasaan tanah dalam skala yang sangat luas oleh asing dan taipan ini yang menimbulkan keresahan masyarakat, mengingat berdasarkan UU yang berlaku yakni UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa jangka waktu penguasaan tanah oleh swasta bisa selama 95 tahun,” ungkapnya mempertegas dan mengingatkan.
Selain itu pula, papar Salamudin menjelaskan dari sektor minoritas penguasa keuangan, dimana gambaran ketimpangan keuangan tergambar dari simpanan orang di bank dalam bentuk rupiah.
“Menurut data otoritas Jasa Keuangan menyebutkan Dana masyarakat yang disimpan dalam rupiah di bank umum, dan BPR mencapai Rp. 3,770 triliun dengan jumlah rekening keseluruhan sebanyak 186.168.335 rekening,” jelasnya.
“Ketimpangan dalam keuangan Jumlah rekening bank di Indonesia yang memiliki dana di atas Rp 2 miliar sebanyak 226.948 rekening, nilai simpanan Rp 2.609 triliun. sementara jumlah rekening di bawah Rp. 2 miliar rupiah sebanyak 185.936.387 rekening dengan nilai tabungan sebesar Rp. 1.161 triliun (September 2016),” tukasnya.
Maka itulah, dalam hal ini artinya kurang dari 1 % pemilik rekening bank menguasai 66 % tabungan di bank atau sebanyak lebih dari 99 % lebih pemilik rekening yang hanya menguasai 34 % tabungan di bank. Sementara rata rata nilai tabungan kurang dari 1 % pemilik rekening yang menguasai 66 % tabungan di bank adalah senilai Rp. 11,4 miliar setiap rekening.”Sedangkan rata rata nilai tabungan 99 % pemilik rekening yang menguasai 34 % tabungan di bank adalah senilai rp. 7,3 juta setiap rekening,” jelasnya.
Data diatas menggambarkan adanya ketimpangan yang sangat besar dalam struktur penguasaan tabungan dalam bentuk rupiah di Bank. Kurang dari 1 % penduduk Indonesia menguasai hampir 2/3 kekayaan keuangan nasional. sedangkan 99 % penduduk hanya menguasai sisanya.
“Sementara dari jumlah jumlah penduduk sekitar 60 juta orang yang tercatat memiliki rekening di bank atau hanya seperempat dari jumlah penduduk Indonesia. mereka yang tidak punya rekening patut diduga tidak memiliki kemampuan keuangan sama sekali untuk dapat berhubungan dengan sektor perbankkan,” tukas Salamuddin lebih lanjut.
Ini belum termasuk tabungan atau simpanan dalam mata uang asing (valas) yang notabene dimiliki oleh glongan atas seperti asing dan taipan dan simpanan dalam instrument surat berharga lainnya sepertu surat utang negara yang sudah pasti dimiliki oleh pemodal besar.
Sementara alokasi kredit perbankkan dalam bentuk rupiah dan valuta asing juga memperlihatkan struktur ketimpangan yang sangat dalam. Dari total kredit dalam bentuk rupiah dan valas yang dialokasikan oleh sektor perbankkan senilai Rp. 4.224 triliun, sebanyak 81,58 % dialokasikan bagi kegiatan usaha skala besar. Hanya senilai 781,90 triliun yang dialokasikan bagi usaha kecil menengah atau hanya 18,42% dari total kredit. Padahal usaha kecil menengah inilah yang selama ini memberikan kontribusi besar bagi perekonomian negara.
“Usaha besar hanya terkonsentrasi pada segelintir pihak asing dan para taipan,” ungkapnya, dimana kelompok usaha besar ini indikasinya sangat haus pada pinjaman dan seringkali pinjaman mereka tidak didasarkan pada stusi kelayakan yang baik.
“Inilah yang mengakibatkan sangat rentan pengaruh krisis, dimana saat krisis terjadi beban utangnya bakal dipindahkan pada negara dan menjadi tanggung jawab seluruh rakyat,” ucapnya khawatir.
Disamping itu dari sisi Kesenjangan Pendapatan, yang menurut Salamuddin dimana ketimpangan penguasaan tanah dan distribusi keuangan ujungnya bermuara terhadap ketimpangan dalam pendapatan.”Ketimpangan pendapatan secara kasat mata terlihat dalam kehidupan masyarakat sehari hari,” ungkapnya.
“Dapat ditunjukkan keadaan pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun terus mengalami pertumbuhan, namun saat bersamaan jumlah orang miskin alami peningkatan yang seringkali disebut pertumbuhan tidak berkualitas. Semakin kurang berkualitas dibandingkan dengan era sebelum reformasi,” bebernya.
Sepanjang orde baru berkuasa Ketimpangan ekonomi nasional yang ditunjukkan oleh gini coenfisien hanya 0,31 (Koefisien Gini tahun 1999) artinya 31% kekayaan nasional hanya dikuasai 1% orang.”Angka ketimpangan seringkali digunakan sebagai bahan argumentasi mengkritik kebijakan pemerintahan Soeharto dipandang memihak pada modal besar,” tukasnya.
Namun yang terjadi di era reformasi ternyata jauh lebih buruk lagi, dimana menurut Salamuddin dirasa sekarang sejak era reformasi ketimpangan pendapatan meningkat dari 0.31 tahun 1999 menjadi 0.41 pada tahun 2005, bahkan untuk daerah daerah seperti DKI Jakarta ketimpangan pendapatan dapat mencapai 0.43 menurut data resmi BPS.
“Ketimpangan dalam distribusi kekayaan jauh lebih besar. Beberapa survei independen menyebutkan ketimpangan kekayaan ini mencapai 0.70, artinya 70% kekayaan nasional dikuasai oleh 1% orang,” paparnya, seraya menjelaskan kondisi ini merupakan angka ketimpangan yang bersifat ekstrim dan tidak bisa ditoleransi.
“Siapa mereka yang menguasai kekayaan nasional tersebut? Mereka adalah minoritas modal asing dan taipan yang mengendalikan keuangan, perdagangan dan bahkan sekarang telah sanggup mengendalikan APBN. Sepanjang era reformasi APBN menjadi ajang bancakan oligarki penguasa bersama para taipan sebagai ajang bisnis mereka. Itulah mengapa APBN Indonesai tidak memiliki lagi kemampuan untuk mensubsidi rakyat,” jelasnya.
Lalu selanjutnya, yang menjadi persoalan untuk kedepan nanti, apakah ada solusi untuk jalan keluar ?, Salamuddin Daeng pun mengemukakan seraya penuh keyakinan dan harapan,”Tentu saja ada jalan keluar,” cetusnya.
“Ketimpangan pendapatan dan kekayaan bersumber dari kebijakan Pemerintah yang salah. Jika kebijakan pemerintah diubah orientasinya dari pertumbuhan pada pemerataan tentu ketimpangan dapat dikurangi,” ujarnya.
“Lalu, apabila kebijakan pemerintah diorientasikan bagi rakyat kecil, Ukm, petani dan buruh, maka ketimpangan akan dapat diatasi,” jelasnya.
“Perubahan kebijakan dapat dimulai dengan mengatasi masalah ketimpangan dalam penguasaan agaria yakni tanah,” kemukanya berpandangan.
Lalu kemudian, menurut Salamuddin seharusnya Pemerintah menunjukkan itikad baiknya dalam melakukan pembalikan struktur penguasaan tanah.”Tanah harus di redistribusi pada rakyat sebagai sumber produksi serta seluruh sumber produksi lain yang diperlukan,” paparnya.
Dimana Itikad baik ini, menurutnya sejauh ini dirasa belum terlihat dalam era pemerintahan Jokowi. “Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Tanah semakin dikonsentrasikan pada mega proyek skala besar yang mengorbankan rakyat,” tudingnya.
“Pemerintah harus membalikkan penguasaan sumber keuangan yang murah pada rakyat. Kebijakan sama sekali kurang dimengerti oleh pemerintahan Jokowi yang sangat agresif mencabut subsidi, menaikkan suku bunga kredit,” ungkapnya lagi.
Dimana menurut penilaian Salamuddin bahwa kebijakan ini yang mengurangi akses masayarakat terhadap sumber keuangan dari APBN dan lembaga keuangan lainnya, serta membelit rakyat dengan utang.
“Kebijakan strategis lainnya dalam mengatasi ketimpangan pendapatan dan kekayaan adalah dengan menaikkan upah buruh dan pendapatan petani,” cetusnya.
“Ini yang sama sekali tidak dilakukan secara baik oleh pemerintahan Jokowi. Padahal upah merupakan cara paling efektif agar pendapatan nasional yang sekarang sebanyak 41 % hanya dinikmati 1 % orang bisa dibalik menjadi pendapatan nasional yang lebih merata,” jelasnya.
“Pemerintah juga harus membagi pendapatan nasional itu kepada petani, dengan cara apa? Biaya produksi ditekan dan harga panen petani harus menguntungkan tingkat kenaikan dua sampai 3 kali lipat dari saat ini,” tutupnya.[Nicholas]
Comment