Oleh: Revista Rizky, Mahasiswi Pascasarjana Universitas Negeri Malang
___________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Baru-baru ini Prancis mengalami kerusuhan yang dipicu aksi penembakan terhadap seorang remaja bernama Nahel M. yang berusia 17 tahun oleh polisi hingga tewas. Aksi penembakan itu dikarenakan Nahel melanggar aturan lalu lintas.
Berdasarkan bukti video di media sosial yang diautentikasi oleh AFP menunjukan dua petugas polisi mencoba menghentikan kendaraan Nahel. Salah satu polisi tampak menodongkan senjatanya, lalu melepaskan tembakan tepat melalui jendela pengemudi dan mengenai lengan kiri dan dada remaja laki-laki itu.
Satu tembakan inilah yang membuatnya tewas seketika. Usai insiden penembakan remaja oleh polisi tersebut, pada Selasa (27/6/2023) malam, terjadilan kerusuhan. Aksi unjuk rasa di Nanterre diwarnai menyalakan api, membakar mobil, dan menghancurkan halte bus saat ketegangan meningkat antar polisi dan penduduk setempat.
Menurut laporan AFP, Sabtu (1/7/2023), bentrok imbas insiden penembakan remaja 17 tahun oleh polisi itu masih berlanjut meski telah dikerahkan 45.000 petugas kepolisian. Unit-unit dari polisi dan pasukan genderme paramiliter dikerahkan pada Jum’at. Kementerian Dalam Negeri Prancis melaporkan sebanyak 994 penangkapan secara nasional telah terjadi dalam semalam. Bahkan Presiden Prancis melaksanakan rapat dadakan bersama beberapa menterinya, sebab menurutnya kerusuhan ini tidak dapat dibenarkan karena telah melakukan pembakaran mobil dan penyerangan terhadap kantor polisi dengan kembang api. Sehingga Kedutaan Besar Indonesia untuk Prancis menyampaikan beberapa imbauan kepada warga negera Indonesia (WNI) ditengah kondisi kerusuhan di Paris agar WNI tetap waspada.
Sebuah studi pada tahun 2020 dilakukan oleh harian Arab News bekerja sama dengan sebuah firma riset berbasis internet yaitu YouGov menunjukan bahwa mayoritas muslim Prancis keturunan Arab menderita citra buruk yang menempel selama bertahun-tahun. Masih dari hasil studi yang sama, ada sekitar tiga dari 10 responden mengatakan agama atau asal ras memiliki dampak negative pada karier mereka.
Hal ini sesuai dengan hasil survei dari Institut Montaigne (2015) yang menunjukan bahwa di Prancis nama Mohammed empat kali lebih kecil kemungkinannya untuk direkrut dalam satu pekerjaan daripada Michel. Sehingga jika melihat dari kisruh yang terjadi di Prancis yang menewaskan Nahel keturunan Aljazair-Maroko ini berimbas pada persoalan Islamofobia dan rasisme.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Prancis termasuk negara dengan rekam jejak Islamofobia terburuk, tidak hanya di Eropa, tetapi juga di dunia. Prancis juga acap kali menjadikan status “muslim” sebagai sasaran rasisme, diskriminasi oleh warga kulit putih, dan Islamofobia.
Tidak heran, beragam kasus islamofobia begitu pekat di Prancis. Pelarangan hijab, misalnya, adalah bentuk narasi yang tidak kunjung usai terlontar di Prancis, pelarangan burkini, dan bahkan baru-baru ini pembakaran Al-Qur’an yang dilakukan oleh Salwan Momika, seorang ateis sekuler asal Irak. Dengan bangganya membakar salinan Al-Qur’an tepat saat Hari Raya Idul Adha di depan Masjid Stockholm pada Rabu (28/6/2023).
Sungguh hipokritnya HAM di Barat, khususnya terhadap komunitas muslim. Di satu sisi teriak toleransi, di sisi lain penistaan terhadap Islam dibiarkan terus terjadi. Mereka berkoar-koar tentang kebebasan, tetapi mereka pula yang kerap kali melakukan diskriminasi dan intoleran terhadap Islam dan pemeluknya. Katanya kebebasan beragama, nyatanya islamofobia di Barat malah merajalela. Katanya kebebasan berbicara, nyatanya hanya topeng untuk melegalkan pelecehan terhadap agama. Pada saat yang sama pula, Barat menghalalkan dirinya untuk membombardir negeri-negeri muslim sehingga muslim terjajah baik di negerinya sendiri maupun di negeri-negeri non muslim.
Parahnya lagi, para penguasa negeri-negeri muslim justru mengaruskan moderasi beragama dengan dalih mengadang Islam radikal. Itulah hipokrit Barat.
Intinya mereka sama-sama berupaya untuk membenci dan meminggirkan Islam dari kehidupan sehingga tidak segan-segan Barat akan terus menyerang kaum muslim bahkan menghilangkan nyawa seorang muslim sekalipun. Seperti yang telah terjadi pada remaja laki-laki tersebut Nahel M.
Sungguh tertumpahnya darah seorang muslim tanpa alasan yang hak adalah sesuatu yang diharamkan oleh Islam. HAM yang katanya selama ini melindungi hak asasi setiap individu manusia, termasuk hak hidupnya, nyatanya hanya berpihak pada Barat. Sebaliknya, HAM hanya memberikan harapan kosong untuk umat Islam. Harapan warga muslim untuk migrasi ke negeri Barat akibat pekatnya kezaliman penguasa di tanah air mereka sendiri di negeri-negeri muslim, ternyata khayalan mereka semata.
Dengan demikian makin jelas bahwa ide HAM versi Barat memiliki standar ganda yang setiap saat dapat mereka gunakan untuk menyerang umat Islam.
Allah Taala berfirman, “Siapa saja yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya” (QS. An-Nisa:93).
Rasulullah saw. juga bersabda, “Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim yang bersaksi tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan bersaksi bahwa aku (Muhammad) adalah Rasulullah, kecuali dengan salah satu dari tiga alasan, nyawa dibalas nyawa (kisas), seorang lelaki beristri yang berzina, serta orang yang memisahkan agama dan meninggalkan Jemaah (murtad).” (HR. Bukhari-Muslim).
Nasib miris kaum muslim yang hidup di negara-negara Barat semestinya menjadi pelajaran berharga bahwa tidaklah layak kaum muslim bernaung di bawah ideologi sekuler kapitalisme.
Kondisi tersebut akan berbeda jauh ketika umat Islam hidup di bawah ideologi Islam. Sebab Islam memiliki peran untuk melindungi jiwa kaum muslim maupun yang non muslim.
Dalam Islam, jiwa manusia sangatlah berharga. Oleh sebab itu, di sinilah peran penting Khilafah sebagai institusi politik yang menerapkan aturan Islam kaffah dalam upaya menjaga jiwa manusia, khususnya umat Islam. Wallahu’alam bissawab.[]
Comment