Riana Oktaraharti, S.E*: Resesi Teknikal Memukul,  Perempuan Yang Memikul

Opini498 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pendemi covid-19 membuat berbagai sektor kian terpukul, tak terkecuali tentu yang sangat terpukul adalah sektor ekonomi. Akhir-akhir ini, perbincangan bahwa Indonesia masuk ke dalam resesi teknikal kian terdengar dan resesi tengah menjadi ancaman di depan mata.

Dilansir dari Detik.com – Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekonomi Indonesia minus 5,32% di kuartal II-2020 dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy). Jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya (q to q) maka ekonomi nasional minus -4,19%. Realisasi ini juga membuat ekonomi Indonesia dua kuartal berturut-turut terkontraksi, pada kuartal I-2020 secara kuartalan sebesar -2,41%.

Pengamat Ekonomi Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi mengatakan dengan pertumbuhan ekonomi yang sudah pasti negatif pada kuartal II 2020, Indonesia sudah otomatis masuk ke dalam resesi teknikal. Ia menjelaskan resesi teknikal merupakan kondisi pertumbuhan ekonomi dua kuartal berturut-turut mengalami kontraksi. (Katadata.co.id , 04/08/2020)..

Lantas, apa yang menyebabkan ekonomi indonesia mudah memasuki jurang resesi, apakah hanya karena disebabkan hadirnya pandemi covid-19 saja ataukah ada penyebab selainnya?

Biang penyebab resesi ekonomi

Hadirnya pandemi Covid-19 hanya menambah bumbu yang semakin tajam atas resesi ekonomi Indonesia. Penguasa bisa saja mengatakan bahwa dengan adanya pandemi mengakibatkan ekonomi semakin terpuruk, sehingga menjadi sebuah pemakhluman saja atas penyebab resesi ini.

Padahal, nyatanya tidak ada pemenuhan kebutuhan pokok masyaraka yang membuat jurang kemiskinan semakin tajam, sebelum hadirnya pandemi pun persoalan ekonomi semakin tinggi.

Roy Davies dan Glyn Davies, 1996 dalam buku The History of Money From Ancient time to Present Day, menguraikan sejarah kronologi krisis secara komprehensif. Menurut mereka, sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 kali krisis besar melanda banyak negara. Fakta ini menunjukkan secara rata-rata, setiap lima tahun terjadi krisis keuangan hebat.

Hal ini menunjukkan bahwa kerapuhan sistem ekonomi kapitalisme yang menyebabkan mudah tergoncangnya perekonomian dalam negeri maupun skala global.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, krisis ekonomi selalu terjadi mengikuti siklus sepuluh tahunan. Pada 1998 terjadi krisis moneter. Sepuluh tahun kemudian yakni pada 2008, dunia mengalami krisis finansial yang diawali kejatuhan Lehman Brothers.

Kini di tahun 2020 krisis ekonomi datang kembali. Pandemi corona hanya saja memperparah krisis yang ada.

Atasi Resesi dengan Solusi Paripurna

Sektor ekonomi adalah sektor sangat penting dan berpengaruh pada berjalannya pelaksanaan kenegaraan. Namun, kiranya kita berkaca bahwa solusi yang dihadirkan sampai hari ini masih bertumpu pada ekonomi kapitalistik, inilah yang menjadi akar persoalannya.

Oleh karena itu, solusi atas resesi ekonomi semestinya haruslah solusi fundamental lagi paripurna. Solusi ini tentu haruslah diatas pijakan paradigma yang benar (shohih). Islam merupakan agama sekaligus melahirkan aturan shohih yang langsung berasal dari Al -Khaliq Mudabbir Allah SWT.

Dalam perspektif ekonomi islam, penyebab utama dan solusi krisis ekonomi dan keuangan dapat diringkas dalam lima kelompok, yaitu : Pertama, kelakuan buruk pelaku ekonomi. Di antaranya adalah keserakahan, curang. Perilaku buruk lainnya adalah monopoli, penimbunan, mematok harga, sehingga semua ini dapat memicu krisis keuangan.

Maka, islam mensolusikannya dengan mengubah pola pikir dan pola sikap pelaku ekonomi dengan memperkenalkan dan menanamkan pada dirinya Akidah Islam, yang menjadi landasan berpikir dan bersikap ketika menjalani kehidupan termasuk dalam melakukan aktivitas ekonomi. Kedua, ketidakstabilan sosial dan politik. Adanya siklus bisnis, bencana alam, wabah penyakit, sistem moneter internasional, ketidakstabilan politik dan sosial yang mengakibatkan juga krisis keuangan.

Maka, Islam memberikan solusi bahwa ketika negara melaksanakan, memantau perkembangan pembangunan dan perekonomian dengan menggunakan indikator-indikator yang menyentuh tingkat kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya bukan hanya pertumbuhan ekonomi.

Negara akan memastikan pemenuhan kebutuhan primer (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan) terpenuhi, mensolusikan persoalan kemiskinan, pengangguran, ketenagakerjaan dan kriminalitas. Ketiga, tata kelola yang buruk. Adanya tata kelola seperti ini terjadi di lembaga-lembaga publik dan swasta, termasuk administrasi yang buruk, korupsi, memotok harga, kurangnya regulasi, kurangnya pengungkapan dan kejujuran dalam menjalankan aktivitas ekonomi ini. Maka dalam Islam, tata kelola pemerintah haruslah sesuai syariah.

Dengan mengelola dan memenuhi kebutuhan pokok individu hanyalah pada persoalan individu bukan pada tingkat masyarakat atau negara. Keempat, sistem moneter/keuangan yang tidak stabil. Ketidakstabilan tersebut termasuk sistem bunga ribawi, uang kertas, sistem perbankan cadangan fraksional, sistem leverage, derivasi produk dan penciptaan kredit melalui kartu kredit.

Maka, islam dalam menstabilkan sistem moneter dengan menjadikan mata uang berbasis dinar dan dirham (emas/perak) yang nilainya tetap (tidak berubah) dan mengganti perputaran kekayaan di sektor non riil dengan mengubahnya ke arah sektor riil.

Sebab sektor ini diharamkan dalam Islam karena ada unsur ribawi (QS. Al-Baqarah: 275) dan perjudian (QS. Al-Maidah: 90-91) didalamnya juga menyebabkan sektor riil tidak berjalan secara optimal.

Kelima, sistem fiskal yang tidak berkelanjutan. Diantaranya termasuk defisit fiskal yang tidak berkelanjutan, pajak yang berlebihan, utang negara yang berlebihan, pengeluaran yang berlebihan, managemen persediaan komoditas strategis yang buruk dan sistem fiskal yang tidak efektif. Maka, dalam hal ini Islam menstabilkan kebijakan fiskal dengan adanya Baitul Maal. Baitul maal yang mengelola bagaimana pendapatan dan pengeluaran negara sesuai Syariah Islam, dan sistem ekonomi islam pun yang dikenal dengan tiga jenis kepemilikan seperti kepemilikan individu (pribadi), kepemilikan umum dan kepemilikan negara yang dikelola sesuai syariah islam.

Namun, sayangnya penguasa tidak menggunakan solusi islam dalam menuntaskan persoalan terlebih ekonomi negri ini. Kerapkali solusi yang dihadirkan masih tambal sulam dan tidak menyentuh asas dasar persoalan utamanya yakni ekonomi kapitalistik. Sedari awal muncul wabah corona enggan untuk melakukan lockdown dengan alasan menyelamatkan ekonomi dan bahkan adanya PSBB hingga New Normal ini nyaris membuat ekonomi tidak makin tumbuh, malah semakin terpuruk ditambah penyebaran virus makin merebak.

Alhasil, kegagalan dalam menyelamatkan perekonomian ini kemudian dilempar pada perempuan yang seharusnya tidak menanggung ini. Perempuan pada akhirnya terjun untuk berdagang, berbisnis, dengan dipaksa melakukan ekonomi kreatif. Mereka hanya bisa menambal belanja rumah tangga namun hasilnya jauh dari harapan terbangunnya kesejahteraan hidup.

Perempuan dijadikan sebagai bamper ekonomi, untuk mendongkrak ekonomi kapitalis yang pada akhirnya tersadra perannya sebagai ummu wa rabiyatul bayt.

Maka, masihkah kita berharap pada sistem kapitalis? Dan Enggan untuk berpindah pada solusi islam kaffah yang paripurna? Wallahu ‘alam bishowab. []

Referensi :

Ascarya and D. Iskandar, “The Root Cause of Financial Crisis in Islamic Economic Perspective, “no. November, 2013, doi: 10.13033/isahp.y2013.086.

A. Mirakhor and N. Krichene, “Recent Crisis: Lessons for Islamic Fiance, ” J. Islam. Evon. Bank. Financ., vol. 5, no I , pp. 9-57, 2009.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Sistem Ekonomi Islam, edisi mu’tamadah. Dar al-Ummah, Beirut, cet. VI, 1425 H/2004 M.

https://tsaqofah.id/cara-khilafah-mengatasi-krisis-ekonomi-global/

Comment