Seribu Jiwa Dievakuasi: Kemanusiaan atau Kompromi Kolonialisme?

Opini114 Views

 

Penulis: Sarah Ainun, M.Si | Pegiat literasi

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Evakuasi 1.000 jiwa warga Gaza merupakan wujud kepedulian dan langkah dukungan pemerintah Indonesia di tengah agresi brutal penjajah Zionis Israel serta penderitaan rakyat Palestina yang tak kunjung usai. Namun, dibalik niat mulia ini, apakah langkah ini tepat dalam konteks mendukung dan membantu perjuangan rakyat Palestina untuk meraih kemerdekaan penuh atas tanah air mereka?

Rencana evakuasi 1.000 jiwa warga Gaza dalam gelombang pertama disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Rabu, 9 April 2025. Indonesia siap menjemput dan menampung warga Palestina yang terluka, mengalami trauma, anak-anak yatim piatu, serta mereka yang membutuhkan perawatan darurat akibat serangan Israel.

Pernyataan ini disampaikan sesaat sebelum keberangkatan Presiden Prabowo ke Uni Emirat Arab, Turki, Mesir, Qatar, dan Yordania untuk melakukan konsultasi diplomatik terkait rencana kemanusiaan tersebut.

Namun, wacana ini turut memantik respons beragam dari berbagai kalangan, mengingat sensitivitas serta dinamika geopolitik Timur Tengah yang terus berkembang dengan cepat dan dipengaruhi oleh berbagai kepentingan regional maupun global.

Terlebih, wacana ini menyentuh jantung dari sebuah perjuangan yang telah berlangsung puluhan tahun: perang panjang untuk membebaskan tanah Palestina dari cengkeraman penjajahan Zionis Israel.

Banyak kalangan yang menganggap dibalik wacana evakuasi ini, justru memuluskan niat jahat khususnya Israel dan Amerika Serikat sebagai pendukung utama rezim Zionis. Ada asumsi bahwa evakuasi dapat menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk mengosongkan Gaza, sehingga mempercepat upaya pengusiran dan penguasaan penuh atas tanah Palestina.

Sebab, selama ini berbagai cara telah ditempuh—mulai dari serangan brutal, teror sistematis, hingga pembantaian puluhan ribu warga sipil—namun semuanya belum berhasil menggoyahkan tekad rakyat Palestina untuk bertahan dan mempertahankan tanah airnya.

Sejarah mencatat, perlawanan terhadap penjajahan tidak hanya dilawan dengan senjata, tetapi juga melalui keteguhan berada di atas tanah yang diperjuangkan.

Sejak terpilih kembali sebagai Presiden Amerika Serikat, Donald Trump bersama dengan pemerintahan Israel semakin aktif melakukan berbagai manuver politik terkait konflik di Gaza yang kembali memanas sejak 7 Oktober 2023.

Pasca tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara otoritas Zionis Israel dan rakyat Palestina—terutama kelompok-kelompok pejuang perlawanan dari berbagai fraksi di Gaza—Presiden Trump mulai merancang strategi baru yang disebut-sebut sebagai upaya menyelesaikan perang secara damai.

Strategi tersebut mencakup rencana rekonstruksi Gaza, yang salah satu komponennya adalah relokasi sementara warga Gaza ke luar wilayah mereka, dengan dalih memberikan ruang aman selama proses pembangunan kembali berlangsung.

Seiring dengan langkah tersebut, kebijakan perdagangan luar negeri Amerika Serikat juga menunjukkan arah yang semakin proteksionis. Presiden Trump menerapkan kebijakan perang dagang terhadap sejumlah negara dengan menaikkan tarif impor, termasuk terhadap Indonesia yang terkena dampak berupa kenaikan tarif ekspor sebesar 23% ke pasar Amerika.

Kebijakan ini oleh sejumlah pihak dan pengamat dipandang bukan semata-mata sebagai langkah ekonomi, melainkan juga sebagai bentuk tekanan dan intervensi politik yang lebih luas.

Tidak sedikit pihak yang menafsirkan kebijakan ini sebagai cara Amerika Serikat untuk membuka ruang negosiasi dengan negara-negara tertentu, termasuk Indonesia, agar bersedia menjadi bagian dari skema relokasi warga Palestina—khususnya dari wilayah Gaza—ke negara-negara yang telah ditentukan bersama oleh AS dan Israel.

Sehingga langkah evakauasi yang diambil oleh pemerintah Indonesia, yang bersamaan waktunya dengan inisiatif/rencana Presiden AS Trump yang berambisi mengosongkan Gaza dengan narasi “rekontruksi Gaza” yang sebenarnya membantu sekutunya Israel mengambil alih Gaza serta kebijakan baru AS menaikan tarif impor menuai tanggapan dari berbagai pihak baik di tinggkat nasional maupun internasional.

Dalam konteks ini, keputusan Indonesia untuk membuka ruang negosiasi terhadap kebijakan tarif impor yang baru diberlakukan oleh Amerika Serikat dinilai oleh sebagian pengamat sebagai potensi alat tekanan diplomatik. Tekanan ini diarahkan agar Indonesia bersedia menerima relokasi warga Gaza ke Indonesia.

Situasi ini seperti buah simalakama bagi negeri yang tergantung pada negara lain. Di satu sisi, evakuasi tersebut dinilai sebagai bukti nyata kepedulian Indonesia terhadap penderitaan rakyat Palestina. Namun di sisi lain, mencul kekhawatiran bahwa langkah ini sama saja dengan memuluskan agenda penjajah dalam mengusir warga Gaza dari tanah air mereka.

Karena itu, setiap kebijakan besar dalam misi kemanusiaan memerlukan kesiapan yang menyeluruh serta strategi yang matang. Agar niat mulia tersebut tidak justru menimbulkan dampak yang kontraproduktif atau bahkan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai bagian dari agenda politik yang lebih besar, termasuk oleh Israel dan sekutu utamanya, Amerika Serikat yang menjadi bencana ketidakadilan bagi rakyat Palestina yang tengah berjuang mempertahankan hak dan tanah airnya di tengah tekanan agresi dan kolonialisme modern.

Indonesia bukanlah negara yang asing terhadap pengalaman penjajahan. Sejarah panjang perjuangan bangsa ini menunjukkan bahwa satu-satunya jalan yang ditempuh oleh rakyat dan para pejuangnya adalah mengusir penjajah dari tanah air secara penuh, tanpa kompromi wilayah, apalagi melalui skema seperti Two-State Solution.

Tidak pernah ada preseden dalam sejarah Indonesia di mana korban perang dari negeri ini dievakuasi ke luar wilayah, justru sebaliknya: perjuangan dilakukan dari dalam tanah sendiri, dengan keberanian dan keteguhan mengeluarkan dan mengusir penjajah dari tanah jajahannya.

Hal serupa juga tercermin dalam sejarah Palestina, yang selama lebih dari 77 tahun berada di bawah penjajahan dan agresi militer Zionis Israel. Dalam konteks ini, gagasan evakuasi warga Palestina sebagai korban perang justru dinilai sebagai langkah yang kontraproduktif.

Hal ini bertentangan dengan sikap politik kawasan, termasuk yang disampaikan oleh Liga Arab, yang secara tegas menolak segala bentuk kompromi terhadap hak-hak dasar rakyat Palestina. Baik melalui pemukiman ilegal, penggusuran paksa, maupun upaya pengosongan wilayah atas nama alasan kemanusiaan ataupun justifikasi strategis lainnya (The Begin-Sadat Center for Strategic Studies, 13 Februari 2025).

Terlebih lagi, seruan jihad kini telah menguat dan disuarakan oleh berbagai kalangan, baik dari Majelis Ulama Indonesia maupun Majelis Ulama Dunia, yang memandang jihad sebagai solusi mendasar dan satu-satunya terhadap penjajahan atas tanah Palestina.

Hal ini muncul dari kenyataan bahwa berbagai upaya diplomatik dan kemanusiaan yang telah dilakukan sejauh ini belum mampu menghentikan praktik penjajahan dan genosida yang terus berlangsung.

Dalam konteks ini, wacana evakuasi warga Gaza justru dinilai semakin menjauhkan dari solusi hakiki. Sebab, yang menjadi akar persoalan bukanlah keberadaan warga Palestina di tanah mereka, melainkan pendudukan dan perampasan wilayah yang dilakukan oleh rezim Zionis.

Maka, secara prinsipil, bukan rakyat Gaza yang seharusnya dipindahkan dari tanah mereka, tetapi penjajah yang harus diusir dari tanah Palestina. Sebagaimana ajaran Islam yang termaktub dalam firman Allah Swt;

“Dan bunuhlah mereka dimana kamu temuai mereka, dan usirlah mereka darimana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang kafir (QS. Al-Baqarah: 191).

Ayat ini dengan jelas dan tegas memerintahkan kaum muslimin untuk angkat senjata memerangi orang kafir yang membunuh, memerangi dan mengusir kaum muslimin dari tanah-tanah mereka. Lebih jauh lagi, Al-Qur’an juga menyingkap tabiat sebagian dari kaum yang berulang kali mengingkari perjanjian, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

“Setiap kali mereka membuat perjanjian, segolongan dari mereka melanggarnya; bahkan kebanyakan dari mereka tidak beriman.” (QS. Al-Baqarah: 100).

Al-Hasan Al-Bashri menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa kaum yang dimaksud—Yahudi—yang disebut dalam ayat ini dicela oleh Allah Swt, karena tiada suatu perjanjian pun di muka bumi ini yang me­reka lakukan melainkan mereka pasti melanggar dan merusaknya.

Mereka mengadakan perjanjian di hari ini, dan besoknya mereka pasti merusaknya. ayat ini menjelaskan sisi lain dari keburukan orang-orang Yahudi (pendengki, keras kepala, licik dan selalu mengingkari janji).

Dalam konteks Palestina saat ini, bukanlah hal yang mengejutkan jika berbagai upaya damai dan kesepakatan kerap kali gagal menghasilkan solusi nyata dalam mengakhiri penjajahan.

Hal ini terjadi karena solusi mendasar yang diajarkan oleh syariat Islam telah tergantikan oleh pendekatan-pendekatan yang ditanamkan dan dipaksakan oleh negara-negara penjajah melalui pengaruh politik internasional di negeri-negeri Muslim.

Melalui sistem politik sekuler dan kapitalistik, mereka mempertahankan struktur kolonialisme yang justru melanggengkan penjajahan, yang tidak hanya mewujud dalam bentuk penjajahan fisik, tetapi juga dalam dominasi politik dan ekonomi yang mengekang kedaulatan bangsa-bangsa Muslim.

Sehingga tidak mengherankan, kaum Muslimin—khususnya para penguasa negeri-negeri Muslim—yang telah tersandera oleh kepentingan politik negara-negara penjajah seperti Amerika Serikat dan Israel dengan sistem yang mereka ciptakan melalui hukum internasional yang menjadi instrumen pengikat negeri-negeri kaum muslim.

Hingga hanya mampu merespons dengan pernyataan kecaman, kutukan, dan seruan diplomatik yang tak berdampak nyata, dengan retorika kemanusiaan tanpa keberanian mengambil langkah strategis yang lebih mendasar dan solutif.

Padahal, realitasnya perang Palestina tidak akan berhenti hanya dengan pernyataan sikap, bantuan kemanusiaan, atau negosiasi yang terus-menerus dimanfaatkan oleh penjajah untuk melanggengkan cengkeramannya.

Solusi tuntas yang sejati membutuhkan keberanian politik yang dibangun di atas kesadaran pentingnya bersatu dalam sebuah institusi politik global melalui penerapan sistem Islam secara menyeluruh dan sempurna.

Sehingga akan mengikat dan mengebalikan umat Islam pada prinsip perjuangan yang diajarkan oleh syariat—yakni mengusir penjajah dari tanah yang mereka rampas, bukan berkompromi dengan keberadaan mereka.

Tetapi dengan satu seruan yang sama yaitu mengirim tentara-tentara kaum muslimin untuk menolong saudara-saudaranya di palestina dari penjajah dengan jihad fii sabilillah, sebagai bentuk pembelaan nyata terhadap tanah suci dan kehormatan umat. Wallahu a‘lam bish-shawab.[]

Comment