Penulis: Rantika Nur Assiva | Mahasiswi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara dan menjadi faktor utama dalam menciptakan sumber daya manusia yang unggul. Sejak diberlakukannya sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis zonasi, muncul berbagai tantangan seperti ketimpangan kualitas sekolah, manipulasi domisili, dan kurangnya transparansi dalam seleksi siswa.
Sebagai respons terhadap permasalahan tersebut, pemerintah mengganti sistem PPDB dengan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang mulai diterapkan pada tahun 2025. Perubahan ini bertujuan untuk menciptakan sistem penerimaan yang lebih inklusif, transparan, dan berkeadilan, serta mengatasi praktik-praktik curang yang kerap terjadi dalam sistem sebelumnya.
Meskipun perubahan ini membawa harapan baru, muncul berbagai tantangan dalam implementasi SPMB. Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa sistem baru ini masih berpotensi menimbulkan ketimpangan, terutama bagi sekolah dengan kualitas pendidikan yang belum merata di seluruh daerah.
Selain itu, masih ada kekhawatiran terkait kemungkinan celah kecurangan dalam jalur prestasi dan afirmasi, yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan.
Dilansir dari tirto.id, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menilai tidak terjadi perubahan yang signifikan antara sistem SPMB dengan PPDB. Perubahan sistem zonasi menjadi sistem domisili juga dinilai masih menyisakan satu celah masalah yang sama.
Parahnya, sekolah juga sering kecolongan atau bahkan sengaja meloloskan siswa dengan data fiktif. Tentu saja , itu bisa berjalan mulus dengan adanya uang pelicin atau gratifikas. Jika praktik ini tidak dibasmi, Rakhmat menilai centang perenang penerimaan siswa baru akan kembali terulang.
“Nah, apa yang menjadi penting di sini adalah, menurut saya, kontrol mekanismenya dan verifikasinya. Itu yang lemah karena orang masih banyak melakukan manipulasi lolos,” kata Rakhmat seperti ditulis Tirto, Jumat (31/1/2025).
Sekadar perubahan nama tidak ada artinya jika tanpa upaya nyata mewujudkan pemerataan sarana pendidikan. Apalagi dalam sistem kapitalisme hari ini, kecurangan dan akal-akalan serta kerja sama dalam keburukan mudah dilakukan.
Kebijakan ini tidak hanya sekadar pergantian nama dan sistem pendidikan, tetapi harus diikuti dengan perbaikan teknis, prosedur, dan sistem penerimaan secara holistik. Tanpa pembenahan yang mendasar, dikhawatirkan masalah lama akan tetap muncul dalam bentuk yang berbeda.
Sebagaimana halnya dalam Islam, yang memandang pendidikan adalah hak setiap warga negara baik kaya maupun miskin, pintar atau tidak. Pendidikan termasuk layanan publik yang menjadi tanggung jawab negara. Dari sisi kurikulum tentu harus berasas akidah Islam, yang bertujuan membentuk kepribadian Islam.
Layanan pendidikan juga harus gratis dan berkualitas terbaik. Pada masa kegemilangan Islam, memiliki sumber dana yang besar dan beragam dari pengelolaan kekayaan alam, sehingga mampu mewujudkan layanan terbaik, gratis dan dapat diakses setiap individu rakyat. Wallahu a’llam Bishawab.[]
Comment