Tragedi Yuyun dan Lagi-lagi Soal Hukuman Kebiri

Berita451 Views
Aksi Solidaritas untuk Yuyun (ANTARA FOTO/Dewi Fajriani)
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Kematian Yuyun, siswi berusia 14 tahun
di Bengkulu yang menjadi korban perkosaan, memunculkan lagi wacana
hukuman suntik kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. seperti perkosaan
atau pencabulan. Hingga kini hukuman itu hanya jadi “pepesan kosong”
yang dibuka lagi setiap kali ada kasus kejahatan seksual yang mendapat
sorotan masyarakat.

Selama ini pula pemerintah dan para wakil rakyat hanya melontarkan
perlunya hukuman kebiri bagi pemerkosa agar ada efek jera. Namun, hingga
muncul Tragedi Yuyun, hukuman itu belum kunjung terlaksana dengan
alasan belum ada landasan hukumnya. Maka, media ini dan masyarakat pun
bertanya, sampai kapan itu terwujud dan butuh berapa banyak korban lagi
agar aparat berwenang benar-benar serius menjalankan hukuman yang berat
dan pantas bagi pemerkosa maupun pelaku kejahatan seksual bagi
anak-anak? 

Yuyun, yang diperkosa 14 remaja kemudian dibunuh dan mayatnya dibuang
ke jurang sedalam lima meter pada 4 April 2016, ibarat alarm yang
nyaring bunyinya sebagai penanda kedaruratan kejahatan seksual. Hukuman
bagi penjahat seksual dianggap masih terlalu ringan sehingga tiada efek
jera dan peristiwa serupa terus berulang.

Dalam kasus Yuyun, para tersangka pemerkosa dan pembunuh dijerat
Pasal 76 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
dengan ancaman 15 tahun penjara dan Pasal 338 KUHP tentang menghilangkan
nyawa orang dengan ancaman serupa 15 tahun. Itu hukuman maksimal, yang
berarti bisa saja berkurang saat di pengadilan kelak.

Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat tren peningkatan kekerasan
seksual di Indonesia sepanjang tahun 2010 sampai 2015. Tren menanjak
yang ditemukan berdasarkan hasil riset tentang pelanggaran hak anak itu
terjadi hampir merata di semua kota/kabupaten di Indonesia. Angkanya
fantastis: lebih 21 juta kasus pelanggaran hak anak, dan sebanyak 58
persen di antaranya mengandung kejahatan seksual.

Pemerintah sebenarnya telah merampungkan rancangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam
rancangan itu, pemerintah memasukkan hukuman kebiri sebagai salah satu
jenis pemidanaan. Hukuman kebiri yang dimaksud berupa suntik kimia agar
para pelaku kejahatan seksual tak mampu lagi menggunakan alat vitalnya
untuk bereproduksi.

Menunggu

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise,
menyebut bahwa draf rancangan perppu itu sebenarnya sudah selesai pada
Desember 2015. Draf itu pun sudah diserahkan kepada Menteri Koordinator
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani.

Menteri Yohana memasrahkan sepenuhnya keputusan menolak atau menerima
draf rancangan perppu itu kepada Menteri Puan, karena menyangkut pro
dan kontra di masyarakat. Kalangan yang mendukung menganggap hukuman itu
pantas diterapkan kepada penjahat seksual. Mereka yang menolak
beragumentasi bahwa hukuman itu dapat dikategorikan pelanggaran hak
asasi manusia (HAM).

“Kami dan Jaksa Agung cuma menunggu kabar dari Ibu Menteri (Puan
Maharani), sebab beliau yang meminta,” kata Menteri Yohana kepada
wartawan di Jakarta pada Rabu, 4 Mei 2016.

Menteri Puan, yang dikonfirmasi sehari sebelumnya, mengaku belum
mengetahui kasus yang menimpa gadis malang Yuyun. “Wah, saya belum tahu.
Apa, tuh, ya,” ujar Puan menjawab pertanyaan wartawan di Istana Negara,
Jakarta, pada Selasa, 3 Mei 2016.

Dia pun menolak menjawab dengan lugas tentang kemajuan pembahasan
rancangan Perppu yang berisi hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan
seksual itu. Rancangan Perppu, katanya, masih diproses agar secepatnya
bisa dilaksanakan.

Namun, menurutnya, andai Perppu benar-benar diterbitkan, hukuman
kebiri tidak bisa langsung diterapkan, karena perlu penyelarasan
peraturan perundang-undangannya. “Apakah bentuknya perppu, ini yang
sedang disinkronkan (diselaraskan),” katanya.

Sehari kemudian, Menteri Puan memperbarui pernyataannya tentang
perppu itu, tetapi tak disebut dengan terang tentang klausul hukuman
kebiri. “Pemerintah telah menyiapkan draf Perppu terhadap Undang-Undang
Nomor tentang Perlindungan Anak dengan menambahkan hukuman tambahan
maksimal bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.” Tidak dijelaskan
frasa “hukuman tambahan maksimal” itu adalah hukuman kebiri atau
tambahan hukuman penjara.

Mendesak

Satu di antara pejabat negara yang lugas mendukung penerapan hukuman
kebiri ialah Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa. Tujuan utamanya
demi efek jera: pelaku tidak mengulangi perbuatannya atau mencegah orang
lain berbuat serupa. “(hukuman kebiri) ini untuk efek jera,” ujarnya di
sela kunjungan kerja ke sejumlah panti jompo di Gorontalo pada Rabu, 4
Mei 2016.

Khofifah pernah menyampaikan pendapatnya tentang hukuman kebiri saat
wacana itu dimunculkan lagi akibat banyak kekerasan seksual pada Oktober
2015. Pengebirian itu secara teknis memang menurunkan libido orang yang
disuntik. Lewat sejumlah obat kimia yang disuntikkan ke dalam tubuh,
gairah seks akan menurun.

Khofifah bahkan mengusulkan juga hukuman lain tetapi bersifat sosial
dan bukan pidana, yakni menyebarkan foto wajah pelaku kekerasan seksual
kepada publik, misalnya, melalui media sosial. Hukuman sosial itu sudah
dilakukan di berbagai negara dan dianggap cukup efektif untuk menekan
tingkat kejahatan seksual.

Dia berpendapat bahwa model hukuman semacam itu akan membuat jera
pelaku atau orang yang berniat melakukan hal serupa. Soalnya bukan hanya
pelaku yang menanggung malu tetapi juga seluruh keluarganya, sehingga
diharapkan dapat saling menjaga.

Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) setuju
dengan hukuman kebiri itu. Tetapi Polri tetap menunggu keputusan
pemerintah yang sedang mengkaji perppu itu.

“(Kebiri) itu bagus. Semuanya sedang dibahas, kita tunggu saja nanti
bagaimana hasilnya,” kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri,
Brigadir Jenderal Polisi Boy Rafli Amar, di Jakarta pada Rabu, 4 Mei
2016.

Tak menjamin

Pada Februari 2015, Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, mengaku
mempertimbangkan pilihan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual.
Tetapi dia belum memiliki gambaran tentang lembaga yang akan diberi
kewenangan untuk melaksanakan suntik kebiri itu jika perppu diterbitkan.

“Iya, betul. Saya sendiri agak bingung. Tapi beliau (Menteri Sosial
Khofifah) bilang di luar negeri ada obat yang dapat langsung menurunkan
(libido) itu,” katanya.

Tetapi Menteri Nila meminta para pemangku kebijakan harus
berhati-hati kalau mau menerapkan hukuman kebiri itu. Soalnya itu
berkaitan dengan dampak sosial yang bersifat jangka panjang.

Pemerhati Anak, Seto Mulyadi, menolai bahwa hukuman kebiri meski di
beberapa negara telah diterapkan, tetap harus dipertimbangkan dengan
matang. “Kebiri bisa menjadi dendam ke negara. Pelaku bukan tidak
mungkin tambah korbannya. Ini mengkahwatirkan,” katanya.

Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel, juga menyerukan hal serupa.
Menurutnya, sanksi kebiri tidak akan mengubah kondisi. Hasrat seksual
muncul bukan hanya karena faktor hormonal, tetapi juga fantasi.
“Predator yang sudah lumpuh bisa memakai cara non-persetubuhan dan
mendorong orang lain untuk menyalurkannya,” katanya.

Kemanusiaan dan perlindungan

Wacana pengebirian pelaku kejahatan seksual sebenarnya sudah berembus
kuat pada 2014, saat terkuak kasus pelecehan anak di sebuah sekolah
internasional, Jakarta International School (JIS). Sejak itu, Indonesia
hendak mengikuti Korea Selatan, Polandia, Rusia, Estonia, dan beberapa
negara bagian di Amerika Serikat yang menerapkan hukuman kebiri.

Di India, sejak terungkap kisah tragis seorang gadis yang diperkosa
beramai-ramai di dalam sebuah bus, desakan pemberian hukuman tambahan
bagi pelaku kejahatan seks pun semakin kencang. Lalu, kebiri dianggap
paling memungkinkan dan tepat untuk menekan kejahatan seksual.

Di berbagai belahan dunia, kebiri memang banyak diberlakukan. Ada
yang berbentuk hukuman paksa seperti penjara atau berupa pilihan untuk
mendapatkan pengurangan hukuman.

Di Jerman, misalnya, negara itu memberlakukan hukuman kebiri dengan
prosedur yang ketat. Terpidana umumnya akan diberi tahu terlebih dulu
tentang dampak dan efek kebiri. Namun kebiri itu akhirnya ditiadakan
pada 1960. Sejumlah aktivis HAM mengecamnya sebagai tindakan yang
merusak fisik dan psikologis orang yang dihukum.

Kritik terhadap perppu

Sejumlah aktivis HAM di Indonesia mengkritik wacana hukuman kebiri,
yang mereka lihat dari draf rancangan perppu. Pegiat HAM yang tergabung
dalam Aliansi 99 Tolak Perppu Kebiri menilai rancangan Perppu hanya
menambahkan pemberatan pidana dalam beberapa pasal tertentu dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak. Namun, perubahan kebijakan itu sama
dengan saat perubahan pertama Undang-Undang Perlindungan Anak pada tahun
2014.

Rancangan Perppu itu tampaknya ditujukan untuk menghukum secara keras
dan memberikan efek jera. Namun rancangan dalam naskah justru tidak
menyasar residivis, yang berarti arah Perppu hanya pemberatan pidana,
bukan rehabilitasi.

Selain itu, draf Perppu tidak dibarengi analisis mengenai dasar
peningkatkan hukuman dan pemberatan terhadap pasal-pasal yang dimaksud.
Penempatan hukum kebiri juga dikategorikan sebagai pidana tambahan,
namun penjatuhannya menjadi pidana pokok, wajib dan kumulatif, seolah
hakim dipaksa memberikan pidana penjara sekaligus kebiri. 

“Dalam konteks hukum pidana, hal ini menyalahi esensi pidana tambahan
dan dapat mengakibatkan kerancuan hukum nasional,” kata Direktur
Eksekutif ICJR, Supriyadi Widodo Eddyono, yang juga anggota Aliansi 99,
pada 19 Februari 2016.

Supriyadi menilai, skema hukuman kebiri kimia yang diperkenalkan
bersifat represif, sehingga menghasilkan konsep penghukuman badan karena
ada pemaksaan dalam bentuk fisik. Menurutnya, hal itu adalah bentuk
penghukuman primitif dan bertentangan dengan konvensi antipenyiksaan
yang telah ditandatangani Indonesia. Hal itu juga dikhawatirkan merusak
skema pemidanaan yang sudah dikonsep dalam rancangan KUHP.

Dalam hukum kebiri itu, penyuntikan akan diberikan secara terus-menerus
selama terpidana dipenjara. Aliansi meragukan jaminan efek hukuman itu
bisa bertahan setelah terpidana keluar penjara. Masalah lain adalah
besaran jumlah biaya yang harus dikeluarkan negara. Berdasarkan
pengalaman beberapa negara, suntik kebiri secara kimiawi harus diberikan
rutin sekali tiap dua minggu.

Draf Perppu itu, kata Supriyadi, tidak menyinggung mengenai pemulihan
korban. “Pemerintah sama sekali tidak membicarakan akses pemulihan,
penyediaan layanan atau memperkenalkan konsep kompensasi terhadap anak
korban.”

Rancangan Perppu, dalam penilaian Aliansi 99, adalah langkah mundur
yang diambil negara. Biaya besar yang dikeluarkan untuk pelaku harusnya
bisa dialihkan untuk mengambil langkah strategis dalam pemulihan korban.(ren)

Comment