World Children’s Day : Retorika Kosong Barat di Balik Hari Anak Sedunia

Opini67 Views

 

Penulis: Azizah Nur Fikriyyah | Mahasantriwati Cinta Quran Center

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Hari Anak Sedunia diperingati setiap tanggal 20 November. Peringatan ini merupakan momen penting untuk merayakan hak-hak anak di seluruh dunia. UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Fund) merupakan organisasi yang mengawali peringatan Hari Anak Sedunia.

Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran akan perlindungan anak dan mendorong tindakan global untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak. (Detik.com)

Dilansir situs UNICEF, peringatan ini pertama kali ditetapkan pada tahun 1954 dengan nama Hari Anak Sedunia. Peringatan ini kemudian diperingati setiap tahun pada tanggal 20 November untuk meningkatkan kesadaran masyarakat internasional terhadap kesejahteraan anak-anak.

Tanggal 20 November sendiri dikaitkan dengan saat Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Deklarasi Hak-Hak Anak pada tahun 1959. Dimana pada tanggal yang sama tahun 1989, Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa telah mengadopsi Konvensi tentang Hak-Hak Anak.

Sejak itu, tanggal 20 November dipilih untuk memperingati Hari Anak Sedunia karena dikaitkan dengan diadopsinya Konvensi Hak Anak. Konvensi ini merupakan perjanjian internasional pertama yang sepenuhnya melindungi hak-hak anak.

Perlindungan ini mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari hak untuk bertahan hidup dan berkembang hingga perlindungan terhadap kekerasan dan eksploitasi. Hak anak adalah hak asasi manusia. Hak ini tidak dapat dinegosiasikan dan bersifat universal.

Ucapan-ucapan hari anak pun banyak dibagikan di media sosial seperti, “Tanpa anak-anak, dunia akan kekurangan sinar matahari, tawa dan cinta. Inilah sebabnya saya percaya bahwa anak-anak adalah ciptaan paling berharga di dunia. Kita harus melindungi, membimbing dan mencintai dengan segenap kekuatan kita, karena mereka adalah harta terbesar kita.

Hingga ucapan dan kalimat harapan, “Jika uang bisa membeli kebahagiaan, semua orang akan kembali ke masa kanak-kanak dengan semua uang yang mereka miliki, masa kanak-kanak sungguh luar biasa, seperti semua anak-anak. Selamat Hari Anak Internasional!”

Dalam laman resmi UNICEF, “Pelajari tentang hak-hak anak. Apakah semua anak mempunyai hak? Apakah hak anak sama dengan hak asasi manusia? Mempelajari hak-hak anak adalah langkah awal untuk menjadi pembela hak-hak anak.”(Unicef.org)

Hari Anak Internasional yang diperingati setiap tanggal 20 November oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kerap dipuji sebagai momen refleksi untuk mempromosikan hak-hak anak di seluruh dunia.

Namun pasca perayaan tersebut, terlihat jelas adanya standar ganda dalam pengakuan dan implementasi hak-hak anak, terutama jika mengingat situasi anak di zona konflik, seperti Palestina.

Hari Anak Sedunia seolah menjadi kedok bagi Barat dan institusi dunia untuk menyembunyikan ketidakpeduliannya terhadap anak-anak yang hidup dalam kondisi sulit akibat perang, kolonialisme, dan kebijakan ekonomi yang tidak adil. Nasib tragis anak-anak Palestina: pengkhianatan terhadap hak asasi manusia.

Anak-anak Palestina adalah contoh nyata pengkhianatan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak anak. Dalam konflik berkepanjangan dengan rezim Zionis, mereka tidak hanya kehilangan akses terhadap pendidikan, kesehatan, pangan dan perlindungan dari kekerasan, namun juga hak paling dasar untuk hidup.

Hanya sedikit anak-anak Palestina yang menjadi korban serangan udara, penyiksaan atau bahkan dibunuh sebelum mereka mempunyai kesempatan untuk melihat dunia. Jumlah korban anak terus bertambah, namun perhatian dan tindakan nyata dari dunia internasional sangat minim.

Ketidakpedulian Barat terhadap penderitaan anak-anak Palestina menunjukkan adanya standar ganda yang mencolok. Ketika negara-negara Barat mengaku sebagai pembela hak asasi manusia, pada kenyataannya mereka tetap mendukung rezim Zionis secara finansial dan politik, meskipun mereka mengetahui dampak kolonialisme tersebut terhadap generasi muda Palestina.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa hak asasi manusia dan kesejahteraan anak seringkali diabaikan jika bertentangan dengan kepentingan ekonomi atau geopolitik negara-negara besar.

Nasionalisme dan Kapitalisme: Akar Ketidakadilan bagi Anak-anak Dunia

Situasi anak-anak yang tinggal di zona konflik tidak hanya mencerminkan pengkhianatan internasional, namun juga menunjukkan kegagalan sistem nasionalis dan kapitalis dalam melindungi hak-hak anak. Sistem nasionalis yang mengutamakan kepentingan negara seringkali menjadikan anak-anak sebagai korban kebijakan politik dan ekonomi.

Dalam konflik bersenjata misalnya, keselamatan warga sipil, termasuk anak-anak, seringkali diabaikan demi mencapai tujuan politik tertentu. Kapitalisme memperburuk situasi ini. Sistem ini menjadikan kekayaan dan keuntungan sebagai prioritas utama, sehingga anak-anak dari keluarga miskin atau tinggal di daerah tertinggal seringkali kekurangan akses terhadap pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya.

Dalam sistem kapitalis, anak tidak dipandang sebagai suatu amanah yang harus dijaga, namun hanya sebagai angka statistik yang dapat dimanipulasi untuk kepentingan ekonomi. Islam adalah visi sejati anak-anak.

Dalam Islam, anak dianggap sebagai amanah besar yang harus dilindungi, baik oleh keluarga maupun oleh masyarakat dan negara. Islam memandang anak sebagai calon generasi penerus peradaban yang hak-haknya harus dilindungi.

Menurut pandangan Islam, hak-hak anak meliputi hak untuk hidup, berkembang, memperoleh pendidikan, rasa aman, penghidupan dan perlindungan keluarga. Berbeda dengan sistem kapitalis dan nasionalis yang gagal menjamin hak-hak anak secara komprehensif, Islam menawarkan solusi global melalui penerapan hukum Islam secara global.

Negara akan memainkan peran sentral dalam melindungi dan menghormati hak-hak anak. Negara tidak hanya berfungsi sebagai pengambil kebijakan, namun juga sebagai pelaksana langsung yang menjamin setiap anak, tanpa kecuali, mendapatkan hak-haknya.

Islam Kaffah sebagai solusi akhir

Islam memandang kesejahteraan anak tidak lepas dari peran negara yang berlandaskan hukum Islam. Dalam sistem institusi Islam, negara berfungsi sebagai Rain (administrator) dan Junnah (pelindung). Negara bertanggung jawab menyediakan kebutuhan dasar setiap anak, seperti pendidikan, kesehatan dan perlindungan dari segala ancaman. Sumber daya negara digunakan sepenuhnya untuk kepentingan penduduk, termasuk anak-anak, tanpa terkecuali. Berikut beberapa langkah konkrit yang dapat dilakukan negara-negara Islam untuk melindungi hak-hak anak:

Kepuasan kebutuhan dasar
Setiap anak terpenuhi kebutuhan dasarnya, seperti pangan, sandang, papan, dan pendidikan, tanpa dibatasi oleh status sosial atau ekonomi keluarga. Hal ini memerlukan pemerataan distribusi kekayaan dan pengelolaan sumber daya alam demi kepentingan masyarakat.

Pendidikan gratis dan berkualitas

Pendidikan merupakan hak yang dijamin oleh negara. Negara menyelenggarakan pendidikan secara cuma-cuma dan bermutu, yang bertujuan untuk menghasilkan generasi berakhlak mulia, cerdas, dan berkemampuan. Program pendidikan juga dirancang untuk membentuk kepribadian Islami pada anak.

Perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi

Penerapan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan terhadap anak. Selain itu, negara juga melindungi anak-anak dari eksploitasi ekonomi atau seksual dan memastikan bahwa mereka tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung.

Terpeliharanya kelahiran dan identitas anak

Islam secara tegas melindungi kekerabatan dan identitas anak melalui pengaturan hukum perkawinan dan pengakuan hak anak terhadap orang tuanya. Hal ini memberikan rasa aman dan perlindungan sosial bagi anak sejak lahir.

Peran keluarga dan masyarakat

Dalam Islam, keluarga memegang peranan besar dalam pendidikan dan perlindungan anak. Negara mendukung keluarga melalui kebijakan yang memperkuat peran orang tua, seperti memberikan bantuan ekonomi kepada keluarga miskin dan pola asuh Islami. Menghadapi standar ganda dengan hukum Syariah Islam. (Muslimahnews.id)

Ketika negara-negara Barat dan lembaga-lembaga global tidak dapat memberikan perlindungan penting bagi anak-anak, Islam menawarkan solusi yang terbukti menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan, termasuk anak-anak. Sistem pemerintahan Islam berdasarkan hukum Islam telah ada dalam sejarah peradaban Islam selama lebih dari 13 abad. Anak tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, dan penuh kasih sayang, dengan dukungan penuh dari negara, keluarga, dan masyarakat.

Dalam konteks modern, penerapan Islam akan menjadi jawaban atas permasalahan anak-anak dunia saat ini. Negara yang menerapkan sistem Islam tidak hanya melindungi anak-anak di wilayahnya, tetapi juga memperjuangkan keadilan bagi anak-anak di dunia, termasuk Palestina.

Sebagai pemimpin komunitas Muslim, khalifah mempunyai tanggung jawab untuk memastikan tidak ada anak yang dianiaya atau dirampas hak-haknya, baik di dalam maupun di luar negeri.

Kesimpulan

Hari Anak Sedunia harus menjadi momen refleksi global untuk mendukung keadilan dan melindungi hak-hak anak tanpa kecuali. Namun kenyataan menunjukkan bahwa peristiwa tersebut seringkali hanya sekedar simbol tanpa tindakan nyata, terutama bagi anak-anak yang tinggal di zona konflik seperti Palestina.

Standar ganda Barat dalam perlakuan terhadap hak-hak anak mencerminkan kegagalan sistem kapitalis dan nasionalis yang mendominasi dunia saat ini. Islam melalui penerapan syariat Islam secara komprehensif menawarkan solusi menyeluruh dan adil bagi anak.

Negara yang berlandaskan Islam  mampu melindungi, mewujudkan dan menjamin hak-hak anak secara utuh.

Oleh karena itu, eksistensi sebuah negara dengan konsep Islam merupakan kebutuhan mendesak untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan manusiawi, khususnya bagi generasi penerus umat manusia.

Pada hakikatnya hanya islam yang dapat menjamin hak-hak anak, tanpa kompromi dengan kepentingan politik dan ekonomi.[]

Comment