Akibat Moderasi Beragama, Ruang Nikah Beda Agama Makin Luas

Opini681 Views

 

Oleh : Luthfiah Jufri, S.Si, M.Pd, Pemerhati Sosial Asal Konawe

_________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA –Arus moderasi agama di negeri ini semakin menguat, bak gelombang yang siap menghantam masyarakat dari sisi aqidah. Setiap agama pasti menginginkan ‘kebaikan’ bagi penganutnya. Ketika penganutnya tidak cermat menanggapi issue moderasi ini maka siap-siap saja benteng pertahanan keluarga akan roboh. Pernikahan adalah wadah untuk meraih banyak kebaikan (pahala).

Jika pernikahan adalah pondasi utama bagi generasi, maka pastilah pondasi tersebut harus dibangun oleh pasangan yang sevisi misi dalam membangun mahligai rumahtangganya. Sungguh, kita dikagetkan dengan sepasang suami istri di Surabaya, Jawa Timur yang permohonan pernikahannya dikabulkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Permohonan pernikahan beda agama ke PN Surabaya diajukan tanggal 13 April 2022 lalu. Kemudian, permohonan dikabulkan oleh hakim tunggal Imam Supriyadi pada 26 April 2022. Dengan Nomor penetapan 916/Pdt.P/2022/PN Sby. (cnnindonesia.com, 21/6/2022)

Sebelumnya permohonan nikah agama ini ditolak oleh Dispenduk Capil Surabaya. Agar bisa dicatatkan di Dispendukcapil mereka mengajukan ke PN Surabya. PN Surabaya pun memberikan izin dengan pertimbangan demi hindari kumpul kebo. Hakim pun memerintahkan agar Dispendukcapil mencatatkan pernikahan RA dan EDS. Sebagaimana putusan pengadilan. Perintah ini harus dilakukan dan tak bisa ditolak.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) seperti dikutip merdeka com (22/6/2022) menyayangkan keputusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang mengesahkan pernikahan tersebut.

Menurut Sekjen MUI Amirsyah Tambunan dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (22/6) bahwa kedua pasangan berbeda agama dan berbeda keyakinan bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1974 pasal Pasal 2 ayat 1, perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Sepintas ini tampak solusi yang baik untuk pasangan sejoli yang sedang mabuk cinta, beda agama pun tak masalah yang penting sama-sama suka. Adanya faham kebebasan berekspresi sehingga cinta itu boleh kepada siapa saja dan siapa pun tak boleh melarang itu.

Kemunduran yang dialami masyarakat saat ini khususnya umat islam merupakan fakta yang sangat kentara diseluruh aspek kehidupan. Keluarga yang menjadi benteng umat Islam kini sudah runtuh karena perilaku manusia dan sikapnya terhadap sesuatu bertolak dari akal.

Akal adalah kaidah manusia untuk menetukan jalan hidupnya. Akal digunakan untuk memutuskan sesuatu dengan Standar keyakinan yang dianutnya. Jika dia seorang muslim yang beriman maka Islam lah menjadi standar kehidupannya.

Kehidupan seorang mukmin adalah kehidupan yang bahagia dan tentram. Adalah mustahil hidup bahagia dan tentram jika tak dibangun dengan Iman karena tempat kembali seorang mukmin adalah surga. Bagaimana bisa akan menuju surga bersama pasangan jika tak seiman?

Akal sehat pun menilai harus seiman jika ingin bersama sesurga kelak jika sebaliknya berarti hanya untuk bersama di dunia saja, hanya kebahagiaan di dunia saja.

Namun, faham moderasi beragama membuat kita maklum atas fakta ini. Cinta kepada manusia sudah di atas segalanya dibanding kepada Allah swt, termasuk dalam memilih pasangan. Sikap moderat harus ditunjukkan bagi siapa saja sekalipun itu bertentangan dengan akal sehat (red: Islam).

Islam sebagai risalah sempurna mengajarkan tentang tujuan sebuah pernikahan yang harus dipahami oleh kaum muslim. Apa lagi pasangan suami istri, tentu agar pernikahan dan kehidupan berkeluarga menjadi berkah, bernilai ibadah dan memberikan ketenangan bagi suami istri serta anggota keluarga lainnya, sehingga langgeng dan bahagia.

Menggapai ridha Allah sebagai tujuan tertinggi adalah hal yang harus ada dalam setiap keluarga. Ridha Allah akan terwujud jika diniatkan secara ikhlas sesuai syariah.

Jika pernikahan beda agama diberikan ruang luas, apa lagi pelaksanaannya tidak sesuai aturan Islam. Paginya menikah mengikuti agama A dan siangnya menikah mengikuti agama B, maka tunggu saja murka Allah swt karena sama saja mempermainkan setiap agama khususnya agama Islam.

Islam telah memilah orang kafir menjadi dua, yaitu ahli kitab dan musyrik. Ahli kitab adalah penganut Yahudi dan Nasrani, karena sama-sama memperoleh kitab suci dari Allah SWT. Sedangkan musyrik dalam konteks Islam, adalah para penganut agama, selain Yahudi dan Nasrani.

Meski musyrik dan ahli kitab sama-sama disebut kafir, tetapi ketentuan hukum terhadap keduanya berbeda. Itu didasarkan pada penegasan Allah SWT yang artinya:

“Janganlah kamu nikahi wanita musyrik, hingga mereka beriman.. dan janganlah kamu nikahkan orang (pria) musyrik (dengan wanita beriman), hingga mereka beriman’. (TQS al-Baqarah: 221).

Tegas, ayat ini melarang kaum Muslim menikahi wanita musyrik, begitu juga wanita Muslimah menikahi pria musyrik. Dengan begitu, pernikahan yang dilakukan dengan orang yang haram dinikahi (muharramat), ‘jasanya’ pun haram dinikmati. Sehingga status pernikahan demikian menjadi batil dan bisa dihukumi zina.

Dampak dari perzinaan adalah status pernikahannya tidak sah. Jika sampai melahirkan anak, maka status nasab anaknya tidak bisa dinisbatkan kepada bapak biologisnya termasuk hak perwalian (jika anak yang lahir adalah perempuan) dan pewarisan.

Maka dari itu, di sinilah peran penting negara jika menerapkan hukum Islam. Dengan cara itu, Islam tidak hanya menjaga kehormatan dan kesucian setiap manusia, tetapi juga mewujudkan hikmah pernikahan yang menjadi dambaan tiap pasangan. Terwujudnya sakinah (ketenangan jiwa), mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) di antara mereka. Wa’allahu’alam.[]

Comment