Penulis: Atika Nasution, S.E | Guru
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kawasan Parapat, yang terletak di kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, mendadak lumpuh akibat banjir bandang pada Minggu, 16 Maret 2025.
Air bercampur lumpur datang dari pebukitan Bangun Dolok, meluncur deras ke pusat kota hingga merendam terminal Sosor Saba Parapat dan sepanjang jalan Sisingamangaraja.
Banjir yang terjadi akibat curah hujan tinggi itu mengakibatkan 55 rumah warga rusak. Akibatnya, aktivitas di Parapat lumpuh total. Beberapa pihak seperti diberitakan laman Top Metro News menduga bahwa adanya alih fungsi lahan di kawasan hulu memperparah terjadinya banjir bandang ini.
Terjadinya banjir berulang bukan semata karena curah hujan tinggi namun, akar masalahnya adalah kebijakan pembangunan kapitalistik yang condong mengabaikan lingkungan dan dampaknya pada masyarakat.
Atas nama pertumbuhan ekonomi, para pengusaha melakukan alih fungsi hutan menjadi permukiman dan tempat wisata. Hal ini terjadi terus-menerus dan masif sehingga menurunkan kemampuan tanah untuk menyerap air hujan.
Alih fungsi hutan dan pembangunan yang merusak lingkungan, pemerintah sejatinya tidak mudah memberikan izin Pembangunan secara massif. Pemerintah dituntut lebih serius mengawasi penebangan kayu di Kawasan Hutan Wilayah Sitahoan yang menjadi bagian dari Daerah Tangkapan Air (DTA) .
Meskipun demi mengejar peningkatan pendapatan daerah, pemerintah tetap harus mempertimbangkan izin alih fungsi lahan.
Dengan alasan apapun, pemerintah tidak boleh memihak pada pengusaha tanpa memperhatikan dampak bencana yang menimpa rakyat.
Cara pandang kapitalistik merupakan dampak dari penerapan sistem sekuler kapitalistik. Akibatnya, persoalan banjir tidak kunjung usai. Ini sungguh berbeda dengan pengaturan dalam sistem Islam.
Penyelesaian banjir dalam Islam dilakukan secara sistemis, yaitu dengan menerapkan sistem Islam kafah. Dalam konsep Islam mitigasi bencana banjir dilakukan sebelum (pencegahan) dan sesudah terjadi bencana.
Untuk mencegah banjir, islam menjalankan politik pembangunan dan tata kota yang memperhatikan pelestarian lingkungan. Daerah resapan air dijaga dan dilindungi sehingga fungsinya terjaga secara optimal. Negara melarang penebangan hutan secara liar, tempat wisata, maupun yang lainnya.
Alih fungsi hutan dilakukan dengan cara saksama berdasarkan perhitungan para ahli sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Negara juga melakukan pengawasan terhadap keoptimalan fungsi sungai, saluran air, dan sarana lain yang merupakan jalur aliran air.
Selain menempatkan petugas pemantau, Negara mengedukasi masyarakat untuk turut bertanggung jawab terhadap lingkungan. Hal yang sama akan dilakukan pada perusahaan-perusahaan. Jika ada yang melanggar, sanksi tegas dan menjerakan akan diterapkan.
Negara mencetak para pejabat yang amanah sehingga tidak akan memperjual-belikan izin pembangunan yang merusak lingkungan. Jika setelah upaya pencegahan dilakukan maksimal ternyata tetap terjadi banjir, negara segera mengevakuasi warga dengan kekuatan optimal dan melibatkan seluruh komponen.
Selanjutnya warga akan ditempatkan di pengungsian yang layak dan negara mencukupi kebutuhan mereka yang meliputi makanan, minuman, obat-obatan, keperluan ibadah, kebersihan, pendidikan, kesehatan, keamanan, transportasi untuk pulang ke rumah, dan lainnya.
Jika terjadi kerusakan infrastruktur, negara akan memperbaiki dan membangunnya kembali dengan dana dari baitulmal.
Di dalam baitul mal ada anggaran untuk bencana. Selain aspek tata kota, negara juga gencar melakukan penelitian dan pengembangan terhadap alat dan teknologi untuk mengatasi banjir.
Upaya ini dibiayai negara dari baitulmal sehingga bisa berjalan secara berkelanjutan. Wallahu alam bissawab.[]
Comment