Banyak Pendidik Belum Sadar Pentingnya Gerakan Literasi di Sekolah

Berita477 Views
Yunus Abidin, Dosen UPI Bandung.[Dok/radarindonesianews.com]
RADARINDONESIANEWS.COM, MAKASSAR – Salah satu kendala menggerakkan literasi di Indonesia, adalah masih
banyak pendidik yang belum sepenuhnya menyadari pentingnya gerakan
literasi di sekolah. Setelah adanya
sertifikasi seharusnya pendidik lebih banyak mengalokasikan dana untuk
beli buku, dan bukan untuk memenuhi belanja konsumtif. “Kalau  sadar,
 alokasi dana untuk beli buku para pendidik meningkat signifikan, namun
sepertinya di lapangan tidak demikian,” ujar
Yunus Abidin, dosen Universitas Pendidikan Indonesia Bandung yang
datang ke Makassar dalam rangka menyusun modul literasi untuk sekolah
rujukan USAID PRIORITAS beberapa waktu yang lalu.
Menurut
dosen yang telah mengarang buku-buku tentang literasi ini, seperti 
Pembelajaran Membaca (2012), Pembelajaran Multi Literasi (2015) yang
diterbitkan oleh PT Refika Aditama Bandung,
selain  banyak guru belum sadar pentingnya gerakan literasi, beberapa
guru yang sudah sadar juga belum mengenal strategi-strategi membaca
efektif untuk para siswa “Pembinaan untuk guru dalam menggerakkan
literasi di sekolah  sangat diperlukan,” ujarnya.
Membaca Efektif
Menurutnya,
untuk guru sekolah dasar pada kelas tinggi yaitu kelas empat, lima, dan
enam,  sudah harus mampu memfasilitasi membaca efektif pada siswa.
“Untuk gerakan literasi sekolah,
para guru tidak lagi boleh sekadar menyuruh siswa membaca, lalu
meninggalkan begitu saja, atau hanya menyuruh siswa menjawab pertanyaan
di buku-buku itu sebagai tugas. Kegiatan membaca yang efektif memiliki
strategi tersendiri,” ujarnya.
Dia
membagi kegiatan membaca agar bisa efektif menjadi tiga fase. Pertama,
fase pra baca. Menurutnya, pada fase ini para siswa diajak dahulu oleh
guru mengenal buku dengan pertanyaan-pertanyaan
pemandu atau apersepsi, membuat prediksi atau perkiraan-perkiraan
tentang isi buku atau membuat pertanyaan-pertanyaan sendiri dan mencoba
dijawabnya sendiri, lewat prediksinya. 
Kedua, fase membaca. “Pada fase
membaca, siswa bisa menguji prediksinya, apakah
benar atau tidak, mendiskusikan isi dengan teman-temannya, menganalisis
informasi, dan kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan menggali
isi bacaan,” ujarnya.
Fase
ketiga yaitu fase pasca baca, siswa diajak untuk menulis hasil
bacaannya secara kreatif, dengan membuat beragam karya-karya kreatif,
seperti pamflet, poster, komik, resensi atau
rangkuman berdasarkan bahasanya sendiri. “Jangan menggunakan
pertanyaan-pertanyaan di teks, tapi meminta siswa secara kreatif
mengkreasi sendiri karya dengan bahasa sendiri dan disesuaikan
konteksnya sendiri,” ujarnya.
Dengan
cara demikian, siswa akan lebih mampu memahami isi bacaan, dan secara
kreatif memproduksi sendiri bacaan. “Jadi ketrampilan membaca dan
menulisnya terasah,” ujarnya.
Indonesia,
menurut menteri pendidikan dan kebudayaan Anies Baswedan, sedang dalam
kondisi darurat literasi.  Rendahnya minat baca penduduk Indonesia telah
mendorong kemdikbud mengeluarkan
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2015, yang salah
satu isinya tentang kewajiban sekolah menyelenggarakan jam membaca 15
menit sebelum pembelajaran.
“Sekolah-sekolah
sekarang menjadi tempat awal melakukan gerakan literasi. Agar siswa
rajin membaca,  guru harus bisa menjadi contoh. Oleh karena itu, tidak
hanya 15 menit itu saja guru
harus ikut membaca bersama siswa. Disela-sela pembelajaran atau di
saat-saat istirahat,  mereka mestinya memperlihatkan pada siswa bahwa
mereka  rajin membaca, sehingga siswa terpengaruh mencontoh,” ujar
Jamaruddin, Koordinator Provinsi USAID PRIORITAS Sulawesi
Selatan.[]

Comment