Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya
Novel Karya Athfah Dewi
Bab 2. Izinkan Indhira Menikah
__________
“Apa?” Dhimas melirikku sekilas. Lalu, memalingkan wajahnya ke samping. “Kamu jangan bercanda, Indhira. Mana mungkin aku melakukan hal itu sama kamu?” tanyanya sambil kembali menatapku. Keningnya tampak berkerut.
“Lho, siapa yang nuduh kamu?” tanyaku dengan dahi berkerut juga. Kenapa Dhimas berpikir kalau aku menuduhnya?
“Terus, maksud kamu apa barusan?”
“Aku cuma bilang ….”
“Dhira!” Suara seseorang menghentikan kalimatku.
Aku melirik ke arahnya.
Tampak istri Papa sedang berjalan ke arah kami. Aku pun berdiri.
“Kamu jagain papa, ya. Mama mau pulang dulu ambil barang-barang. Karena tadi, kan gak sempat,” ucapnya.
Aku hanya mengangguk.
“Ruangan papa di sana. Di ujung lorong itu.” Dia menunjuk ke suatu tempat, dan mataku mengikuti arah telunjuknya.
“Ya sudah, mama berangkat dulu.” Perempuan yang selalu kubenci itu berlalu dengan lesu.
“Dhim, aku mau lihat papa dulu,” ucapku sambil beranjak.
Namun, setelah beberapa langkah, tidak terdengar kalau Dhimas mengikutiku atau mengatakan sesuatu. Aku pun membalikkan tubuh dan melirik ke arahnya.
“Dhim! Dhimas!” panggilku agak keras.
“Eh, apa Ra?” tanyanya seperti orang bingung.
“Kamu kenapa? Aku yang punya masalah, malah kamu yang frustasi begitu?” tanyaku.
Aku tahu, Dhimas sangat perhatian kepadaku. Dia pun selalu melakukan segalanya untukku. Namun, aku tidak mau kalau dia terlalu memikirkan masalahku sampai seperti itu.
Aku juga memang merasa sangat bingung dan frustasi. Namun, apa yang sedang menimpaku saat ini, harus tetap dihadapi.
Hidupku sudah hancur. Dengan kejadian ini akan lebih hancur. Rasanya, aku mulai tidak peduli.
“Ra, aku balik dulu, ya? Maaf, gak bisa nemenin kamu jaga oom. Besok, aku ke sini lagi,” ucap Dhimas sambil cepat-cepat pergi.
Aku menarik napas dalam-dalam sambil menatap punggung sahabatku itu. Karena terlalu memikirkan masalahku, dia jadi tampak aneh sekarang.
**
Kutatap wajah Papa yang tampak sangat letih dan lemah. Ada yang menelusup ke sela-sela hati. Rasa sakit yang memang selalu berada di sana.
Dahulu, Papa sangat perhatian dan menyayangiku. Aku merasa, jadi anak perempuan paling beruntung di muka bumi ini. Memiliki orang tua yang sempurna.
Cinta yang menggenggamku begitu erat, membuat aku tidak tahu apa itu rasa kecewa. Semua yang aku inginkan, selalu terwujud dengan mudahnya.
Aku sangat menyayangi Mama. Namun, kenapa Allah begitu tega merampasnya dariku? Cintaku pergi begitu saja, membuat hati ini patah dan tidak mungkin bisa utuh kembali.
Andai Mama masih ada. Apa yang menimpaku sekarang pasti tidak akan terjadi. Karena, aku tidak akan berada di luar rumah sendirian. Mencari tempat untuk mengeluarkan sesak di dada ini.
Papa pun pasti masih akan seperti dulu. Tidak membagi cintanya dengan perempuan itu dan anaknya.
Aah! Aku sangat benci mereka. Kehadiran orang-orang tak tahu malu itu, lebih menghancurkan lagi kehidupanku.
“Papa … apa yang terjadi?” Tiba-tiba seseorang masuk dan langsung memeluk Papa yang sedang tertidur.
“Arini! Lu, apa-apaan?” tanyaku sambil menarik lengannya.
“Kakak yang apa-apaan? Ini semua pasti karena ulah Kakak, kan?” Adik tiriku itu malah balik bertanya sambil menatapku.
“Kurang ajar!” geramku. “Itu bukan urusan lu!”
“Urusan aku, lah. Karena Kakak, papa jadi sakit kaya gitu.”
“Dia papa gue!”
“Papa aku juga! Buktinya, papa lebih sayang sama aku dibanding Kakak,” ucapnya sambil tersenyum meledek.
“Lu!” Kuangkat tangan kananku dan bersiap melayangkannya ke wajah Arini yang tampak sangat menyebalkan itu.
“Indira!” seru Papa tiba-tiba dengan suaranya yang serak dan tertahan.
“Papa ….” Dengan manjanya, Arini langsung menghampiri Papa dan memeluknya. “Papa jangan sakit …,” ucapnya kemudian.
Tampak Papa mengusap rambut Arini lembut. Usapan yang seharusnya hanya menjadi milikku. Namun, sekarang sudah dirampas manusia licik itu.
Aku membalikkan tubuh. Berniat keluar ruangan, daripada harus melihat adegan menyebalkan itu dan membuat hati ini semakin teriris.
“Dhira!” panggil Papa.
Aku menghentikan langkah.
“Papa sedang sakit saja kamu masih berbuat ulah? Kenapa kalian gak bisa akur? Papa hanya ingin melihat kalian akur seperti saudara yang lain.”
“Dia bukan saudaraku,” gumamku.
Namun, sepertinya Papa bisa mendengar hal itu.
“Sampai kapan kamu kaya gini? Belum cukup membuat papa hampir mati?”
Aku tidak menjawab, tetapi melanjutkan langkah ke luar ruangan. Mengabaikan panggilan Papa yang diselingi suara Arini yang so’ menenangkan.
Aku duduk di bangku tunggu. Memikirkan nasib diri yang sangat tidak beruntung ini.
Kembali teringat hasil diagnosa dokter. Mungkinkah dua orang dokter itu salah? Namun, dua bulan ini aku memang tidak mendapat tamu bulanan.
Aahh! Apa aku bunuh diri saja? Papa pasti akan lebih tenang kalau aku tidak ada. Selain itu, aku juga akan bertemu dengan Mama.
Namun, katanya orang yang mati bunuh diri tidak akan masuk surga. Bagaimanapun, aku masih merasa takut jika harus masuk neraka.
Apa aku pergi saja ke tempat yang sangat jauh? Melahirkan dan membesarkan anak ini.
Aishh …! Benarkah semua itu akan aku alami dalam waktu dekat? Melahirkan dan merawat seorang anak yang entah datang dari mana. Duh Gusti … apa salah dan dosaku sehingga harus mengalami ini?
**
Satu minggu berlalu. Papa sudah kembali ke rumah. Meski masih terlihat lemas dan pucat, tetapi katanya kondisi dia sudah membaik.
“Sekali lagi papa tanya, siapa laki-laki yang sudah melakukan itu?” tanya Papa keesokan harinya. Kali ini, suaranya agak lembut.
“Dhira gak tahu, Pa. Benar-benar gak tahu,” jawabku.
“Mana mungkin gak tahu, sih, Kak? Atau, bukan satu orang yang melakukannya?” tanya Arini tiba-tiba dengan entengnya.
“Lu!” Aku memelototi manusia tidak punya hati itu. Gigiku langsung bergemelutuk.
“Arini, kamu masuk. Biarin papa ngomong sama kakak kamu berdua saja,” ucap Papa.
“Tapi, Pa ….” Arini tidak langsung beranjak.
“Sana lu! Kompor!” Aku pun memelototinya.
Arini malah mencebik, tetapi kemudian masuk ke kamarnya.
Setelah tinggal aku dan Papa di ruangan ini, dia kembali menatapku.
Papa menarik napas dalam-dalam. Sepertinya ada beban yang begitu berat mengimpit dadanya. “Coba, ceritakan apa yang sudah terjadi?”
“Seperti yang udah aku ceritain, Pa. Aku benar-benar gak tahu. Sumpah demi Allah. Aku juga gak ngerti, kenapa semua ini bisa terjadi.”
“Oke. Kamu pernah pergi sama siapa saja. Bermalam dan ….”
“Aku gak punya teman cowok selain Dhimas, Pa,” selaku. “Aku cuma pernah pergi dan menginap sama dia. Tapi, gak mungkin kalau dia yang sudah melakukannya.”
Papa terdiam. Dia tampak sedang berpikir keras.
“Aku curiga, Pa.”
“Curiga apa?”
Saat itu, ketika aku dan Dhimas berkemah. Sekitar pukul sembilan, tiba-tiba aku merasa sangat pusing. Dhimas pun menyuruh supaya aku beristirahat lebih dulu dan melupakan rencana kami untuk menyaksikan api unggun.
Lalu, dia pergi ke parkiran, karena katanya ada barang yang tertinggal.
Menjelang Subuh, aku terbangun dan merasakan ada yang aneh dengan organ kewanitaanku. Terasa sakit dan agak ngilu.
Saat itu, aku pikir karena siang harinya kami pergi ke air terjun dengan kondisi jalanan yang turun lumayan terjal. Selain itu, jarak yang jauh juga.
Disebabkan kondisi itu, aku pun tidak terlalu memikirkannya. Ah, entahlah. Aku ini mungkin terlalu bodoh untuk urusan seperti ini.
Namun, sekarang aku jadi curiga. Mungkin saja, ada orang jahat yang melakukan hal itu kepadaku. Aku yang tidak ingat apa-apa dan Dhimas sedang ke parkiran yang terletak di atas area perkemahan.
“Kenapa saat itu kamu diam saja?” tanya Papa.
“Mana aku ngerti, Pa. Aku pikir karena habis jalan jauh dan naik turun tangga.”
“Kalau kaya gitu. Kita sulit mencari siapa pelakunya,” gumam Papa.
Aku menunduk. Merasa sangat menyesal kenapa saat itu tidak pergi ke dokter untuk memeriksakannya. Seharusnya aku bertanya kepada ahlinya.
“Eh, tapi Pa. Apa mungkin dia, ya?” tanyaku ketika teringat sesuatu.
“Siapa?”
Selain kejadian waktu berkemah dengan Dhimas, aku pun teringat sesuatu. Waktu itu, aku dan seseorang terjebak hujan di kampus. Hanya berdua saja. Kemudian, aku tertidur karena kelelahan. Ketika terbangun, dia sedang duduk di sampingku sambil memainkan ponsel.
Mungkinkah dia pelakunya? Namun ….
“Dhira, siapa?” tanya Papa lagi.
“Enggak, Pa. Aku salah ingat.”
“Oke. Sambil menunggu kamu bisa mengingat semuanya. Untuk sementara, kamu akan papa ungsikan ke kampung. Sampai anak itu lahir, dan kamu bisa melanjutkan kuliah lagi di sini.”
“Tapi, Pa ….”
“Tapi apa? Kamu punya solusi lain?” Papa menatapku. “Kamu jangan berpikir akan menggugurkannya Indhira!” Tatapan Papa terasa semakin tajam menusuk jantungku.
Sial! Jika aku pergi dari sini, Arini dan ibunya pasti akan semakin berkuasa. Hanya saja, memang tidak ada jalan lain. Kalau aku tetap memilih tinggal di sini, Papa pasti akan merasa malu oleh orang-orang.
“Anak itu gak berdosa. Dia juga tidak mau lahir dengan cara seperti ini. Jadi, dia berhak memiliki kesempatan,” ucap Papa.
Aku tidak menjawab. Memang sempat terpikirkan untuk menggugurkannya. Namun, kemudian urung karena membaca beberapa artikel tentang itu dan sangat mengerikan.
“Sudah. Untuk sementara, kamu ke kampung dulu.” Papa berdiri dan perlahan berjalan menuju kamarnya. Aku pun membantunya.
“Kamu bersiap-siap. Beberapa hari ini, kamu akan berangkat,” ucap Papa.
“Lho, kenapa cepet banget? Gak nanti saja, Pa. Kalau udah kelihatan?” tanyaku kaget.
“Biar kamu terbiasa dulu tinggal di sana.”
“Tapi, Pa ….”
“Ehemm …!” Papa berdeham, sepertinya tidak mau mendengar bantahanku lagi.
Aku merasa, tadi Papa sudah mulai berubah lagi seperti dulu. Tidak membentak atau menyalahkanku. Justru, memberiku solusi meski terasa berat jika harus kulakukan.
Jadi, lebih baik aku menurut saja. Siapa tahu, Papa akan bertambah baik lagi kepadaku.
**
Benar saja, baru mendengar rencanaku yang akan tinggal di desa untuk sementara saja, Arini dan ibunya tampak sangat senang. Si Arini terlihat tersenyum. Senyum penuh kemenangan.
Untuk sementara, aku harus melupakan dulu dua orang parasit itu dulu. Aku harus fokus kepada kondisi sendiri.
“Sudah siap semuanya?” tanya istri Papa.
Aku tidak menjawabnya.
“Kamu baik-baik di sana, ya? Mama sudah titipkan kamu sama Mbah Uti. Jangan khawatir, si Mbah baik, kok,” sambungnya.
“Sebentar. Siapa Mbah Uti? Memang, aku mau dikirim ke mana?” Aku melirik Papa.
“Kamu ke kampung mama,” jawab Papa.
“Kampung mama …?” tanyaku lagi masih belum mengerti.
“Iya, kampung mama Rossi.”
“Enggak! Apa-apaan?” Aku melempar tas yang kupegang. “Kenapa ke kampung dia? Kenapa gak ke kampung Papa atau mama aku?”
“Dhira, kalau kamu ke sana. Nanti sodara-sodara kita bakal tahu. Papa gak mau kalau hal itu sampai terjadi.”
“Papa bener-bener, ya? Tega mau buang aku? Mereka itu gak suka sama aku. Bagaimana kalau mereka jahat? Apa Papa gak peduli?”
“Indhira! Kamu jangan kaya anak kecil. Mbah Uti juga nenek kamu. Mana mungkin dia jahat!”
“Pokoknya aku gak mau! Lebih baik jadi gelandangan dibanding harus tinggal di sana!”
“Kamu pergi ke sana atau papa tidak akan pedulikan lagi?” tanya Papa dengan gemetar.
“Aku tetep gak mau ke sana! Lagian, sekarang juga papa gak peduli sama aku, kan?”
“Indhira ….” Istrinya Papa meraih lenganku. Namun, aku langsung menepisnya.
“Indhira, kamu bicaranya yang pelan. Takut papa sakit lagi,” ucap perempuan itu so manis.
“Baik, terserah saja kamu mau bagaimana. Asal gak tinggal di rumah ini!” ucap Papa semakin gemetar tetapi tegas.
“Izinkan Indhira menikah sama aku saja, Oom!” ucap seseorang tiba-tiba.
Bersambung (Insya Allah)
Comment