Penulis: Widya Hartanti, S. S. | Pemerhati Sosial
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Fatwa mengejutkan datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Melaui Sekretaris Komisaris Fatwa MUI Miftahul Huda, MUI menyatakan bahwa penggunaan gas elpiji 3 kilogram – termasuk pertalite- oleh orang-orang yang berkemampuan finansial tinggi adalah haram.
MUI beralasan bahwa kedua barang tersebut sejatinya ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Sedangkan dalam prakteknya, banyak kalangan mampu yang memanfaatkannya. Sehingga hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan. (TEMPO..co, 9 Februari 2025).
Potensi ketidaktepatan sasaran subsidi ini diungkap pula oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia . “Kurang lebih sekitar 20-30 persen subsidi BBM dan listrik itu berpotensi tidak tepat sasaran, dan itu gede angkanya. Kurang lebih Rp 100 triliun”, ujar Bahlil di Jakarta, Senin, 4 November 2024.
Lalu, apa sebenarnya yang menjadi batasan kaya dan miskin? Benarkah orang kaya haram memanfaatkan subsidi dan bila halal dan haram yang mejadi landasannya maka bagaimana pandangan Islam terhadap kepemilikan gas alam?
Kategori Kaya dan Miskin Tak Boleh Ambigu
Ketika ada pengkhususan produk bagi penduduk miskin seraya ada larangan bagi orang kaya untuk mendapatkannya produk tersebut maka hal yang wajib untuk diketahui adalah kriteria apa yang harus dipenuhi oleh keduanya. Kriteria kelayakan harus terdefenisi dengan jelas dan sesuai dengan fakta yang ada sehingga tidak menimbulkan kegaduhan.
Pada periode Maret 2024, BPS melaporkan bahwa garis kemiskinan berada pada level Rp582. 932 per kepala. Adapun garis kemiskinan secara nasional terbagi dalam dua komponen; garis kemiskinan makanan sebesar Rp433.906 per kepala per bulan dan garis kemiskinan bukan kebutuhan makanan sebesar Rp149.026 per kepala.
Masih menurut BPS, pada bulan Maret 2024, rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,78 orang anggota. Sehingga, garis kemiskinan per rumah tangga secara rata-rata adalah Rp2.786.415 dengan pengeluaran bulanan kurang dari angka tersebut dapat dikategorikan sebagai miskin.
Angka-angka inilah yang menjadi dasar kategori kaya-miskin di Indonesia. Jika memenuhi kriteria miskin maka ia berhak untuk mendapatkan subsidi, termasuk berhak menggunakan gas elpiji 3 kg. Sedangkan jika besaran pengeluarannya melebihi dari apa yang telah ditetapkan maka ia termasuk kategori kaya dan tak layak mendapatkan keistimewaan subsidi alias haram.
Secara realita, standard kemiskinan yang ditetapkan oleh negara melalui BPS sungguh menggelikan dan tak sesuai dengan realita yang ada. Bagaimana mungkin pengeluaran seseorang bisa dijadikan standart kaya dan miskin sedangkan pendapatan seseorang tidak dinilai sedikit pun.
Di Indonesia sendiri, besaran nominal minimal tersebut juga tak relevan lagi. Disaat nilai rupiah yang menurun dan ragam pajak serta pengeluaran wajib lain yang harus ditanggung oleh masyarakat adalah sangat memungkinkan jika jumlah pengeluaran perbulan menjadi berkali-kali lipat. Bukan karena kemampuan yang meningkat tapi karena paksaan sistemik yang tak dapat dihindari.
Rakyat terpaksa rela banting tulang dan diperas keringatnya demi memenuhi kebutuhan pokok hidupnya dan bukan untuk meningkatkan kualitas hidup atau untuk memenuhi kebutuhan sekunder apalagi tersier.
Menjadikan pengeluaran tanpa memperhatikan pendapatan seseorang -apakah terpenuhi atau tidak- adalah sesuatu hal yang zhalim. Terlebih lagi, satndart yang digunakan BPS tak lagi relevan bahkan menjadi standart kemiskinan terendah di Kawasan ASEAN.
Kekayaan Sumber Daya Alam Milik Negara?
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam melimpah. Selain wilayahnya yang luas keanekaragaman sumber daya alam seperti batu bara, minyak, gas alam, timah, nikel dan lainnya terkandung dalam jumlah yang menggiurkan.
Untuk gas alam sendiri Indonesia merupakan negara ketiga terbesar di Asia Pasifik, setelah Australia dan China. Kekayaan ini belum ditambah dengan hasil hutan dan laut. Jika dikelola dengan baik maka Imdonesia berpotensi besar untuk menjadi negara maju dengan kekayaan penduduk yang melimpah ruah.
Hanya saja, ada ketidak-jelasan dalam mengklasifikasikan jenis kepemilikan, Dalam undang-undang Dasar 1945 Pasal 3 ayat 3 disebutkan bahwa kekayaan sumber daya alam merupakan milik negara. Dengan status kepemilikan tersebut maka negara memiliki hak untuk mengelola atau menyerahkan kekayaan tersebut kepada siapa saja yang dikehendaki.
Dengan paradigma tersebut ditambah dengan kebebasan kepemilikan yang diadopsi negeri ini maka tak heran jika kekayaan sumber daya alam bisa dimiliki atau dikelola oleh individu.
Hal inilah yang menjadi biang kerok kemiskinan masyarakat dan minimnya ketersediaan sumber daya alam yang bisa digunakan masyarakat secara cuma-cuma.
Ketika sumber daya alam dikelola swasta maka yang menjadi orientasi adalah keuntungan. Sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak harus ditebus dengan biaya yang mahal.
Negara menghilangkan hak mengelolanya dan membelinya dari pihak swasta sementara dana negara defisit. Lalu muncullah alasan pihak yang diprioritaskan menadapat bantuan atau subsidi dari negara. Maka mengemukalah ‘keharaman’ menggunakan subsdi bagi orang kaya. Tentu saja ini merupakan pandangan yang keliru.
Sumber Daya Alam Adalah Milik Umum
Sebagai agama yang sempurna Islam turut membahas tentang tata kelola kekayaan negara. Syaikh Taqiyuddin An -Nabhani dalam kitab Al Amwal fii ddaulah khilafah menegaskan bahwa Islam membagi harta kekayaan salam tiga jenis kepemilikan.
Pertama, kepemilikan individu, yaitu benda -benda apa saja yang boleh dimiliki oleh individu. Hal ini seperti mobil, rumah, pakaian, atau harta benda lainnya. Islam tidak membatasi jumlahnya namun mengatur bagaimana cara perolehannya, yaitu harus diperoleh secara halal.
Kedua, kepemilikan negara, seperti Anfal, ghanimah, jizyah, barang temuan, harta orang murtad.
Ketiga, kepemilikan umum; seperti sarana-sarana umum yang diperlukan oleh rakyat -berupa jalan dan lapangan-, juga barang tambang (sumber alam) yang jumlahnya tak terbatas.
Masyarkat memiliki hak yang sama terhadap jenis kepemilikan ini. Negara hanya diberi wewenang untuk mengelolalanya sedangkan hasilnya harus diberikan dan dinikmati oleh seluruh rakyat tanpa ada pembatasan kategori kaya atau pun miskin.
Oleh karena ini kepemilikan umum maka negara tidak memiliki hak untuk memberikannya kepada pihak lain.
Dengan pengaturan sumber daya alam berdasarkan syariat Islam maka kekeyaan sumber daya alam yang ada akan tersedia dalam jumlah yang melimpah. Siapa saja berhak dan dapat dengan mudah mendapatkannya.
Untuk mengatasi kelangkaan atau terbatas jumlah gas elpiji 3 kg harus dilihat secara lebih teliti. Apakah kelangkaanya disebabkan karena jumlahnya yang terbatas atau karena kesalahan dalam mengelola sumber daya alam.
Untuk Indonesia, alasan jumlah pertama jelas tak dapat diterima. Mengharamkan ‘orang kaya’ menggunakan gas elpiji merupakan tindakan terburu-buru di tengah melimpahnya kekayaan gas alam di negeri ini. Wallahu A’lam bisshawab.[]
Comment