Hak Ulayat Masyarakat Adat, Antara Pengakuan Konstitusional dan Tantangan Implementasi di Indonesia

Opini193 Views

Penulis: Agnes Floramenia Sarumaha | Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Secara umum, sistem hukum pertanahan di Indonesia masih mengacu pada prinsip-prinsip hukum adat. Hal ini tercermin dari pengakuan terhadap hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat, yang keberadaannya telah ada sejak sebelum Indonesia merdeka dan secara turun-temurun melekat pada tanah-tanah adat.

Istilah “hak ulayat” dapat berbeda-beda di tiap daerah sesuai dengan karakteristik masing-masing komunitas adat. Namun secara mendasar, hak ini dianggap sebagai bentuk penguasaan tertinggi atas tanah oleh masyarakat adat, karena tanah tersebut dimiliki secara kolektif oleh komunitas hukum adat yang bersangkutan.

Pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat dalam Pasal 18B UUD 1945 yang pada intinya bahwa Negara mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, serta masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, selama masih hidup dan sesuai dengan prinsip NKRI, sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Meskipun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) tidak secara eksplisit mendefinisikan apa itu hak ulayat namun pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat dapat ditemukan dalam Pasal 3 UUPA yang menyatakan;

”Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dam 2 pelasanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari Masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Mengacu pada ketentuan di atas, hak ulayat dipahami sebagai bentuk hak atas tanah yang memiliki karakteristik tersendiri. Oleh karena itu, tanah ulayat tidak dapat dikategorikan sebagai Tanah Negara. Hak ulayat merupakan jenis hak atas tanah yang unik dan berdiri sendiri, berbeda dari hak-hak atas tanah lainnya. Keunikan utama terletak pada subjek serta kewenangan yang melekat padanya.

Jika hak atas tanah pada umumnya dimiliki oleh individu, maka subjek dari hak ulayat adalah masyarakat hukum adat. Selain itu, hak ini bersifat komunal dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain.

Selanjutnya, Pasal 5 UUPA menegaskan, ”Hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat diakui sepanjang dalam kenyataannya hak-hak tersebut masih ada. Namun, pelaksanaannya harus disesuaikan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan pada semangat persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam konteks hak menguasai negara atas tanah, maka kedudukan menguasai tersebut termasuk hak menguasai berdasar di atas hak ulayat masyarakat adat.

Hak ulayat sejatinya merupakan bentuk kedaulatan kolektif masyarakat adat atas wilayah mereka, mencakup tanah yang telah dikuasai secara individu maupun yang belum dikelola. Sayangnya, masih banyak yang keliru memahami konsep ini dengan menganggap tokoh adat sebagai pemilik tunggal atas tanah adat. Padahal, tokoh adat hanya menjalankan mandat yang diberikan oleh komunitas sebagai pelaksana kewenangan adat, bukan sebagai pemilik.

Dalam kerangka hukum adat, masyarakat hukum adatlah yang menjadi subjek utama hak ulayat, karena merekalah yang menjaga, merawat, dan melestarikan hubungan spiritual dan sosial dengan tanah leluhur mereka.

Mengabaikan hal ini bukan hanya bentuk pengaburan makna hak ulayat, tetapi juga bentuk pengingkaran terhadap eksistensi masyarakat adat itu sendiri.

 

Lebih lanjut berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999, hak ulayat diartikan sebagai kewenangan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat tertentu, menurut ketentuan hukum adat, untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk tanah yang berada dalam wilayah mereka demi keberlangsungan hidup dan kehidupan komunitas tersebut.

Sementara itu, keberadaan suatu masyarakat hukum adat diakui selama memenuhi beberapa syarat: pertama, adanya sekelompok orang yang secara nyata masih merasa terikat oleh hukum adat dan hidup sebagai bagian dari suatu persekutuan hukum. Kedua, mereka memiliki tanah ulayat yang menjadi bagian penting dari lingkungan hidupnya. Ketiga, masih terdapat sistem hukum adat yang mengatur pengelolaan, penguasaan, serta penggunaan tanah ulayat, yang secara nyata masih ditaati oleh para anggotanya.

Prosedur keseluruhan untuk menetapkan komunitas hukum adat dan hak atas tanah ulayatnya kini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (“Permendagri 52/2014”).

Dalam peraturan tersebut, digunakan istilah ‘wilayah adat’, yaitu tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.

Oleh karena itu berdasarkan penjelasan di atas, terdapat kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat:

Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat; adanya tanah atau wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan obyek hak ulayat; dan adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu sebagaimana diuraikan di atas.

Dengan dipenuhinya keseluruhan kriteria tersebut maka dapat menentukan apakah hak ulayat dalam suatu masyarakat hukum adat masih ada atau tidak. Apabila masih terdapat masyarakat hukum adat dan terdapat tanah atau wilayah, namun jika masyarakat hukum adat tersebut tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan, maka hak ulayat pada masyarakat hukum adat itu dianggap tidak ada lagi. Hak ulayat yang dianggap tidak ada lagi dan tidak bisa dihidupkan kembali. Hak ulayat terdapat dalam Hukum Adat.

Hal ini disebabkan karena penyelenggaraan dan pengelolaan hak ulayat sesuai dengan hukum adat dari masing masing daerah di mana hak ulayat itu berada. Hal ini kemudian menyebabkan hak ulayat antara daerah yang satu dengan daerah lainnya pengaturannya berbeda-beda.

Keadaan ini kemudian melahirkan keragaman dalam Hukum Adat yang secara tidak langsung berpengaruh pula bagi hukum pertanahan, karena hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah hak milik adat.

Permasalahan hak ulayat di Indonesia merupakan isu yang kompleks dan menyangkut banyak aspek, mulai dari hukum, sosial, hingga lingkungan.

Meskipun konstitusi dan beberapa undang-undang telah mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya, implementasi di lapangan masih sangat lemah.

Banyak wilayah adat belum mendapatkan pengakuan formal dari negara, karena proses administrasi yang rumit dan mahal, serta kurangnya peraturan daerah yang mendukung. Akibatnya, terjadi banyak konflik antara masyarakat adat dan pihak ketiga, seperti perusahaan tambang, perkebunan, dan hutan tanaman industri, yang mendapatkan izin konsesi atas tanah adat tanpa persetujuan masyarakat setempat.

Konflik ini seringkali berujung pada kriminalisasi masyarakat adat yang hanya berusaha mempertahankan tanah leluhur mereka. Selain itu, perubahan tata guna lahan dan eksploitasi sumber daya alam menyebabkan hilangnya akses masyarakat adat terhadap hutan, air, dan tanah yang menjadi sumber kehidupan mereka selama berabad-abad.

Lemahnya penegakan hukum membuat pelanggaran terhadap hak ulayat sering tidak ditindaklanjuti secara adil.

 

Di sisi lain, masyarakat adat juga kerap diabaikan dalam proses pengambilan keputusan pembangunan, padahal keterlibatan mereka sangat penting untuk menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sosial. Masyarakat Hukum Adat (MHA) kerap kali menghadapi perampasan sumber daya alam dan wilayah adat miliknya.

Salah satu penyebab, karena ketentuan pengakuan bersyarat yang memberatkan dan sarat politis di tingkat daerah. Hal ini berdampak pada lemahnya pengakuan wilayah adat sehingga terjadi tumpang tindih dengan izin konsesi di dalamnya.

Contoh konflik yang sampai saat ini masih terjadi adalah anntara masyarakat adat Amungme dan Kamoro yang hidup di sekitar kawasan tambang Freeport di Papua. Mereka telah mendiami wilayah tersebut jauh sebelum tambang beroperasi. Sejak lama, kedua kelompok ini hidup dari alam secara berkelanjutan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual dan budaya terhadap tanah dan lingkungan sekitar mereka.

Tanah bagi mereka bukan hanya aset ekonomi, tapi juga tempat yang dianggap sakral tempat roh leluhur bersemayam. Namun sebagian besar tanah adat mereka digunakan untuk kepentingan pertambangan tanpa persetujuan yang layak.

Selama bertahun-tahun, mereka kehilangan akses ke tanah, pegunungan sakral, dan sumber daya alam yang menjadi dasar kehidupan dan kepercayaan mereka.

Masyarakat Amungme dan Kamoro telah berulang kali menyuarakan penolakan terhadap aktivitas tambang tersebut. Mereka menuntut pengakuan hak ulayat, ganti rugi yang layak, dan perlindungan terhadap lingkungan. Namun, respons negara dan perusahaan seringkali minim, dan bahkan represif.

Aktivis adat yang menyuarakan aspirasi masyarakat sering diintimidasi, bahkan dituduh melakukan tindakan makar. Upaya hukum juga sulit ditempuh karena belum ada pengakuan hukum formal atas wilayah adat mereka. Meskipun telah melakukan berbagai upaya advokasi, pengakuan penuh atas hak ulayat mereka masih terbatas.

Masalah ini pada dasarnya berkaitan dengan belum jelasnya status hukum dan jaminan perlindungan hak bagi masyarakat adat di Indonesia.

Pengelolaan terhadap tanah ulayat masih jauh dari maksimal karena belum tersedia data yang menyeluruh mengenai keberadaannya, dan belum ditetapkan prosedur yang jelas untuk mengidentifikasi serta menetapkan wilayah tanah ulayat tersebut.

Semua permasalahan ini menunjukkan bahwa perlindungan dan pengakuan terhadap hak ulayat masih menjadi pekerjaan besar yang harus diselesaikan demi keadilan dan keberlanjutan di Indonesia.

Oleh karena itu, pengakuan dan perlindungan terhadap hak ulayat perlu ditempatkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari upaya mewujudkan keadilan agraria dan perlindungan hak asasi manusia. Proses pengakuan terhadap masyarakat hukum adat seharusnya tidak hanya bersifat administratif, melainkan juga substantif, dengan menekankan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal yang hidup dalam komunitas.

Hanya melalui pendekatan yang inklusif dan berkeadilan inilah, hak ulayat dapat berperan sebagai landasan keberlanjutan hidup masyarakat adat serta menjadi penyeimbang atas kekuasaan negara dalam pengelolaan sumber daya alam.[]

Comment