Hanif Kristianto: Perang Total Atau Lawan Total?

Berita374 Views
 Hanif Kristianto
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Rematch Jokowi dan Prabowo pada pilpres 2019 membawa alur cerita tersendiri. Politik perebutan kursi Indonesia satu mudah dan sulit ditebak. Alurnya terkadang merendah. Sesekali meninggi dengan eskalasi yang memukul mundur. Tak heran survey menjelang pencoblosan dilakukan jor-joran. Siapakah yang lebih unggul: Jokowi atau Prabowo?
Hal yang unik dan mencemaskan justru dari kubu petahana. Perang total digencarkan di awal untuk menghadapi gempuran dari oposisi. Perang total pun menjadi polemik tak berkesudahan. Pemilu yang digadang-gadang damai dan berjalan lancar tampaknya sekadar cita-cita. Faktanya pihak yang ingin melanjutkan di periode kedua melakukan segala cara. Apapun dianggap absah.
Sementara itu, oposisi tidak hanya diwakili oleh tim sukses Prabowo. Ada oposisi ideologis lain dan kelompok pergerakan rakyat yang begitu massif menyerang petahana. Tak ayal, pertahanan petahana sering kedodoran. Akhir-akhir ini pun sering blunder dan hampir memasukan bola ke gawang sendiri. Koalisi petahana sedikit goyah. Ada yang tampak serakah dan membebek saja. Ada yang jenaka dengan terus menyebar sindiran sinis, meski partai itu baru lahir seolah manis. Ada juga yang bermain di dua kaki dan memilih amankan posisi. Koalisi politik demokrasi seperti ini menjadi rumus baku dalam setiap perebutan kursi.
Perang atau Lawan?
Satu bulan menjelang pemilihan, kubu petahana juga sudah menggunakan kata lawan. Khususnya bagi siapa pun yang sering menyudutkan Jokowi. Ngeri dan penuh dengan ritmik ajaib. Gimick politik dimainkan. Kekuatan disusun untuk menggeser penantang.
Istilah perang atau lawan dari sisi politisi bisa dimaknai beberapa hal:
Pertama, kedua istilah itu digunakan sebagai wujud kedigdayaan petahana. Maklum, meski mencalonkan lagi tapi tidak mengajukan cuti jabatan. Alhasil ada kekhawatiran pemanfaatan fasilitas negara untuk mendukung petahana. Seperti persoalan yang terjadi di setiap pemilu, selalu ada ASN, pejabat, atau aparat yang tidak netral.
Kedua, kemiskinan kosa kata untuk menggambarkan kesantunan berpolitik dalam demokrasi. Politik demokrasi kerap diwarnai keculasan, kecurangan, dan kebohongan. Banyak trik untuk membungkus kebohongan menjadi sesuatu yang absah di mata konstitusi.
Ketiga, ada ketakutan dan phobia yang berlebihan jika kalah. Hal ini mengonfirmasi jika kekuasaan dalam politik demokrasi tidak untuk kepentingan rakyat. Sudah tahu kebijakannya sering menyengsarakan rakyat, malah sibuk bercitra.
Keempat, pilpres 2019 ini hakikatnya tidak hanya perang kata-kata, tapi juga berpotensi perang fisik. Di satu sisi banyak peristiwa ketika menguntungkan petahana dibiarkan saja meski berpotensi melanggar perundangan. Di sisi lain ketika pihak yang mencoba merapat pada kubu oposisi, tak perlu menunggu waktu lama ditindak dengan hukuman. Mata rakyat tidak bisa lagi ditipu dengan alasan-alasan yang seolah bermutu.
Perang atau lawan yang digaungkan petahana akan dijawab kubu oposisi. Sudah banyak amunisi yang bisa melemahkan pihak Jokowi. Sisi paling krusial yaitu ekonomi, hukum, dan kegaduhan nasional. Rakyat saat ini sesungguhnya dalam siaga satu. Mereka tidak ingin terjebak dan kembali terkungkung dalam kehidupan yang terpuruk. Sebaliknya rakyat juga akan menjawab dengan perang dan lawan total yang mematikan. Sadis![]

Penulis adalah Analis Politik dan Media

Berita Terkait

Baca Juga

Comment