Hasni Tagili, M.Pd: Harga Migas Kembali Memanas

Berita597 Views
Hasni Tagili, S.Pd, M.Pd
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Naiknya harga minyak mentah dunia dan terkaparnya nilai rupiah di hadapan dolar ditengarai sebagai alasan pemerintah menaikkan harga sejumlah BBM nonsubsidi per 1 Juli lalu. Hal tersebut diungkapkan VP Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito (iNews.id, 01/07/2018). Padahal, kenaikan tersebut cenderung menjadi penyebab melambungnya harga-harga.

Harga minyak mentah di dunia memang terus naik. Pada penutupan perdagangan Jumat (29/6/2018), harga minyak mentah yang menjadi patokan harga internasional, Brent berada pada harga 79,44 dolar AS per barel. Sementara harga minyak AS West Texas Intermediate (WTI) juga diperdagangkan di level 74,15 per dolar AS.

Harga rata-rata minyak mentah Indonesia pada Mei 2018 juga tercatat mencapai 72,46 dolar AS per barel. Angka ini jauh lebih tinggi daripada asumsi harga minyak dalam APBN 2018 sebesar 48 dolar AS per barel.
Selain itu, depresiasi kurs rupiah terhadap dolar AS menjadi pemicu lain memanasnya (baca: naik) harga migas. Adiatma mengatakan bahwa keputusan menaikkan harga BBM ini juga sudah sesuai aturan dan sudah disampaikan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 

Dikutip dari laman resmi Pertamina, Minggu (01/07/2018), harga Pertamax naik sebesar Rp600 per liter dibandingkan harga sebelumnya Rp8.900 per liter. Pertamina menaikkan harga Pertamax terakhir kali pada 24 Februari 2018. Tidak hanya Pertamax, BBM nonsubsidi lainnya juga naik seperti Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamax Dex. 

Sementara itu, Presidium Persatuan Pergerakan, Andrianto mempertanyakan kebijakan yang diambil oleh Pertamina secara tiba-tiba pada 1 Juli 2018 lalu. Pasalnya, berdasarkan RAPBN TA 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah menyatakan tidak akan ada kenaikan harga BBM, elpiji 3 kg, dan listrik pada tahun ini (Rmol.com, 03/07/2018).

Di tengah naiknya harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, Andrianto menduga kenaikan harga BBM itu berkaitan erat dengan defisit APBN yang kian melebar. Meski demikian, ia menyayangkan pilihan pemerintah yang memberikan pembebanan pada rakyat. Padahal, rakyat sudah begitu menderita akibat kebijakan yang sangat neoliberalis.

Ditegaskan Andrianto lagi, kebijakan kenaikan BBM itu menunjukkan bahwa rezim semakin panik. Rezim menjilat ludah sendiri dengan kenaikan harga yang bertubi-tubi, BBM, elpiji dan listrik.
Benar saja, kebijakan ekonomi kapitalis yang sangat liberal menjadi akar dari permasalahan ini. Sudah menjadi rahasia umum jika SDA Indonesia sebagian besar telah dikapitalisasi dan diprivatisasi oleh asing dan swasta. Bahkan, sejak masa orde baru sampai sekarang pun kekayaaan alam Indonesia telah diserahkan dengan harga yang sangat murah melalui berbagai produk undang-undang, seperti Undang-undang Migas, Undang-undang Minerba, Undang-undang Penanaman Modal dan sebagainya. Semua Undang – undang yang memberikan peranan besar kepada swasta dan kapitalis asing ini, di sahkan oleh DPR (Mediaoposisi, 08/07/2018).

Eksplorasi Migas hampir 90 % dikuasai oleh asing dan swasta di antaranya Chevron 45% (AS) total 10 % (Prancis) Conaco 8 % (AS) Medco 6%, kemudian tambang emas sebagian besar dikuasai PT Freeport (AS) PT New mont Nusa tenggara (AS) Tembaga juga di kuasai Freeport (AS) dll. Semua ini terjadi lantaran Negara telah menjadikan sistem kapitalisme sebagai basis dalam pengelolaan ekonomi.
Jika dalam ekonomi kapitalis, berlaku kapitalisasi dan privatisasi migas, maka dalam sistem ekonomi Islam, hal tersebut tidak akan ditemukan. Pasalnya, SDA termasuk ke dalam kategori kepemilikan umum. Sehingga, seyogyanya dikuasai oleh negara untuk semata-mata kepentingan umat, bukan kepentingan asing atau swasta.

Rasulullah SAW bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Dalam hadits ini ditegaskan bahwa milik umum, termasuk migas, yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah semua kekayaan alam yang sifat pembetukannya menghalangi individu atau pihak asing untuk mengekploitasinya.

Dengan demikian, pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada individu, swasta, atau asing. Melainkan harus dikelola sepenuhnya oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada umat dalam berbagai bentuk pelayanan publik.
Untuk pengelolahan barang tambang, dijelaskan dalam hadits riwayat Imam At-Tirmizi dari Abyadh Bin Hamal bahwa dirinya pernah meminta izin pada Rasulullah SAW untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasulullah pun meluluskan permintaan itu. Namun, tidak berselang lama, Rasul menarik kembali pemberian izin tersebut.
Apa sebabnya? Seorang sahabat mengingatkan Rasulullah. Kisahnya sangat tersohor dalam HR. at-Tirmidzi. “Wahai Rasullulah, taukah engkau apa yang engkau berikan padanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Mendengar itu, Nabi kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut dari dia.”
Yang menjadi fokus dalam hadits ini tentu saja bukan si garam, melainkan tambangnya. Terbukti, ketika Rasullulah SAW mengetahui bahwa tambang garam jumlahnya sangat banyak, beliau menarik kembali pemberian itu. Hal inilah yang menjadi ‘ilat dari larangan individu untuk memiliki sesuatu yang seharusnya menjadi milik umum.
Termasuk, barang tambang yang kandunganya sangat banyak. Sebab, menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, berbagai barang tambang yang jumlahnya sangat banyak seperti migas, batu bara, emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya termasuk milik umum yang tercakup dalam pengertian hadits di atas. Sehingga, tidak boleh diprivatisasi dan kapitalisasi seperti yang saat ini terjadi. Wallahu ‘alam bisshawab.[]

Penulis adalah Praktisi Pendidikan Konawe

Comment