Heni Andriani: Tepatkah, Kucuran Subsidi Untuk Pegawai Swasta?

Opini480 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pandemi Covid – 19 sudah hampir 6 bulan, sudah banyak peristiwa dan efek yang dirasakan masyarakat. Salah satunya yang terdampak adalah ekonomi. Banyaknya PHK yang dilakukan oleh perusahaan- perusahaan baik yang lokal maupun berskala nasional. Mereka tidak mampu menggaji akibat produk yang dipasarkan tidak bisa dijual dan daya beli masyarakat pun menurun.

Kondisi masyarakat yang semakin terpuruk dan perekonomian yang mengalami resesi hebat menjadi bahan perhatian pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yaitu program Bantuan Langsung Tunai kepada pegawai swasta yang berpenghasilan di bawah 5 juta.

Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Erick Thohir, mengatakan ada 13,8 juta pekerja yang akan mendapatkan bantuan ini. Datanya diambil dari BPJS Ketenagakerjaan, dengan kriteria mereka bukan PNS, pekerja BUMN dan memiliki iuran di di bawah Rp 150.000/bulan. Total anggaran uang dipersiapkan pemerintah mencapai Rp 31,2 triliun.

Lewat keterangan tertulis, berstatus Menteri BUMN, mengatakan bantuan ini untuk mendorong konsumsi masyarakat. Harapannya dengan demikian ekonomi Indonesia cepat pulih di tengah pandemi. Kamis,( 06/08/2020)

Dalam pembuatan program BLT ini, berdasarkan data BPS yang mana sekitar 13,3jt pekerja swasta yang berpenghasilan dibawah Rp 5jt, sehingga layak untuk mendapatkan BLT.

Namun, adanya BLT tersebut menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad (Tirtoid, 9/08/20). Menilai BLT untuk pegawai swasta yang bergaji dibawah Rp 5 jt adalah perbuatan yang sia-sia. Karena, alih-alih untuk konsumsi, BLT tersebut akan digunakan untuk keperluan di masa depan.

Bantuan senilai Rp 600.000 dinilai sangat kurang dalam memenuhi kebutuhan selama satu bulan, sedangkan konsumsi masyarakat Indonesia setiap bulannya sebesar Rp 1,3jt. Untuk konsumsi sendiri menghabiskan Rp 620.000/ bulan sedangkan Rp 729.000 untuk kebutuhan non pangan (detikfinance 7/8/20).

BLT yang tak Memberi Solusi

Berdasarkan data dari BPS rata-rata upah buruh sekitar 2,9jt dengan asumsi mereka jika tidak dirumahkan. Artinya ketika mendapatkan penambahan uang mereka akan mengalihkan selain dari kebutuhan pangan(makanan) seperti untuk kesehatan dan pendidikan.
Sementara pegawai yang berpenghasilan 2,3jt lebih banyak dan berhak membutuhkan.

Dana yang digunakan untuk program BLT ini sebesar Rp 31,2T. Menurut anggota komisi XI DPR RI Fraksi Gerinda Heri Gunawan, bantuan tersebut sebaiknya digunakan bagi mereka yang terkena PHK masal, siswa yang kesulitan PJJ, mereka yang kesulitan dalam mecari kerja. Jangan sampai quartal III pertumbuhan ekonomi positif secara nominal, tetapi masyarakat mengalami kesenjangan sosial.

Berdasarkan fakta di atas seharusnya BLT diberikan kepada mereka yang sangat membutuhkan seperti karyawan yang terkena PHK, para buruh lepas, petani, pedagang kaki lima dsb.

Ironisnya bantuan ini pun hanya diberikan kepada para peserta BPJS . Tentu kebijakan ini dinilai diskriminatif. Bagaimana dengan mereka yang tidak menjadi peserta BPJS yang masih banyak kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya?

Jika kita cermati adanya pemberian bantuan bukanlah murni dalam rangka meriayah rakyat tetapi justru berdasarkan asas manfaat. Inilah wajah buruk sistem Kapitalis yang mengukur segala sesuatu dengan untung dan rugi. Ketika tidak ada keuntungan yang diraup maka ditinggalkan sekalipun mengorbankan rakyatnya sendiri.

BLT nyatanya tidak dapat menjadi solusi di kala pandemi apalagi mampu mendongkrak ekonomi rakyat yang ada justru semakin meningkat kemiskinan secara sistemik.

Bahkan program ini menjadi timbulnya kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Bagaimana tidak yang menikmati program ini hanya segelintir orang saja tidak merata seluruh rakyat. Inilah akibat diterapkan sistem Kapitalis.

Islam Solusi Jitu

Di dalam sistem pemerintahan Islam negara sangat bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Negara berusaha menjamin kebutuhan pokok masyarakat tanpa ada timbangan untung rugi.

Berbagai kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan di sediakan oleh negara.
Dalam kondisi paceklik pun negara memastikan agar semua rakyat mendapatkan bantuan dengan sistem birokrasi yang tidak merepotkan apalagi jauh dari kata salah sasaran.

Jika kita menelusuri sejarah Islam kita akan mendapati para pemimpin Islam yang cinta kepada rakyatnya dalam memberikan bantuan saat di situasi wabah dan paceklik. Hal ini bisa kita telusuri dari sejarah bagaimana ketegasan Umar bin Khattab manakala rela memikul gandum untuk keluarga yang sedang kelaparan saat beliau melakukan ronda malam beserta asistennya Aslam. Ketika mendapati ada keluarga yang kelaparan yang hanya memasak batu demi anak-anaknya .

Amirul mukminin dengan penuh kesedihan beliau langsung memberikan bantuan dari Baitul Mal tanpa mau dibantu oleh siapapun.

Dikutip dari buku ‘Umar Ibn Al-Khattab His Life and Times Vol. 1, kekeringan dan kelaparan parah sempat terjadi pada tahun ke 18 setelah hijrah. Tahun ini disebut Ar-Ramadah karena angin menerbangkan debu seperti abu atau Ar-Ramad. Bencana ini mengakibatkan kematian hingga hewan-hewan ikut merasakan dampaknya.

Umar bertanggung jawab melakukan berbagai usaha untuk membantu rakyatnya, termasuk mendistribusikan makanan dari Dar Ad-Daqeeq. Makanan dari institusi yang menangani kebutuhan logistik masyarakat tersebut, Umar bagikan sendiri untuk masyarakat yang membutuhkan. Umar bin Khattab juga berdoa memohon pengampunan dan rizki dari Allah Swt, hingga akhirnya turun hujan dan mengakhiri bencana tersebut.

Betapa kita merindukan para pemimpin seperti Umar bin Khattab. Tipikal pemimpin ini sulit didapat dalam sistem demokrasi kapitalis. Hanya dalam Islam saja model pemimpin yang mampu memberi kesejahteraan, ketenangan dan keadilan.

Sudah saatnya manusia mencampakkan sistem buatan manusia yang tidak memberi kesejahteraan tetapi sebaliknya justeru mendatangkan kesengsaraan semata.

Wallahu a’lam bishshawab.

Comment