RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Bhima Yudhistira, pengamat ekonomi INDEF menyampaikan
terkait kebijakan negara dalam menangani APBN, hutang dan
sebagainya masih terjadi ‘gap’ pada tataran konsep dan
realitas. ” Dimana pertumbuhan ekonomi di daerah, nampak ada pelemahan
permintaan disini, seperti produk ekspor ekonomi ke China,” papar
peneliti INDEF itu saat menjadi narasumber Diskusi akhir tahun
Kaukus Muda Indonesia (KMI) bekerjasama dengan BRI dengan tema “Refleksi Bidang
Ekonomi 2016” di Hall Gedung Dewan Pers jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (15/12).
ekonomi dari INDEF tersebut menyampaikan bahwa Sumber Daya Alam bisa
menjadi bencana. “Mesti diingat. Apakah tidak belajar saat di era Suharto terkait Oil (minyak mentah)? Harga minyak tahun
2008 dirasa tenang saja komoditi akan terus berlanjut lalu bikin
smelter.” ungkapnya.
tahun 2015 sudah mulai, harga minyak saat di tahun 2015, senilai 20
U$/barrel. Memang kondisinya sekarang menjadi 50 U$/barrel. “Jadi bila
ditelusuri harga komoditas enjot-enjotan ini,” paparnya.
dan akibat perekonomian begitu cepat dan fatal. “Tampak
yang bermain ‘spekulan’ di bidang komoditas. Walau sempat ada pandangan OPEC bermain maka harga minyak akan terbantu, belum tentu,” ungkapnya.
Yudhistira mengulas pula, bila ditinjau dari situasi Global, efek ini
mulai kelihatan semenjak Brexit (British Exit dari Uni Eropa), ditambah
lagi sekarang akhirnya Donal Trumph menang pilpres AS bersaing dengan
Hillary Clinton.
“Sekarang sosok pemimpin di Perancis dari kaum
nasionalis juga didorong hingga fenomena deglobalisasi cukup besar. ”
Trumph selalu katakan ‘AS First, China aja tidak dianggap, apalagi Indonesia ?,” Imbuhnya lagi.
digaris-bawahi, Bhima menyebut kalau ketergantungan akan ekspor ke AS
dalam bentuk tekstil, alas kaki, CPO cukup besar dan bisa terganggu bila
tidak ada diversifikasi produk ini,” Tukasnya mengingatkan.
tidak hanya bisa ekspor CPO saja, Pengamat INDEF itu mengingatkan,
soalnya, di tahun 2017 ekonomi masih menantang dan cukup sulit.
“Pertumbuhan ekonomi 5%. Jangan sampai asumsinya ngaco lagi,
pertumbuhan ekonomi perhitungannya 5 dan atau 6%, malah ternyata hanya
mencapai angka 4,8 dan atau 4,9%.”Jelasnya.
sebelumnya, INDEF telah menyerahkan proposal ke
DPR, pertumbuhan ekonomi 5,3%, alhasil akhirnya tercapai 5,1%. “Namun
dari segi indikator manapun tidak bisa berbohong. MINUS,” paparnya.
ini, yang menjadi acuan ke depan, menurut Pengamat INDEF itu bahwa, apakah Indonesia mau shifting dari jasa, apa mau dagang semua(trader). Pilihan dimana ini? Mau manufaktur, trader, atau agraris ?” Ungkapnya tanda tanya.
diperhatikan, sambung Bhima ada yang bermasalah dari sisi penerimaan
negara walaupun di tahun 2015 ada kebijakan Tax Amnesty, ” Ada selisih
penerimaan pajak 200 Triliun. Itu saja sudah pakai TA.” Ujarnya.
dari sisi PDB saja kalah dibandingkan negara lain di Asean,” tukasnya.
diberitakan, Indonesia negara paling sukses melakuka TA di Dunia lebih
hebat dari India dan Chile. ” Uang diambil dari pihak ketiga masuk ke
pemerintah diambil 2%, Kering ini.Likuiditasnya bank di akhir tahun ini,
soalnya ada Repatriasinya, dimana situasinya sekarang mentok di
Singapura, dan Bahama. Karena tidak berbentuk Cash,namun bentuknya
barang (properti),” paparnya lagi.
belanja sektor Pendidikan, Infrastruktur, TOL laut dsb. Ditambah
penerbitan hutang dan segala macam. Dalam jangka panjang indikasinya
timbul dua (2) bahaya, yakni Crowded Out dan Over Hang,” Jelasnya.
Diskusi Akhir tahun KMI tersebut, selain Bhima Yudhistira, nampak juga
turut hadir selaku narasumber yakni, Sri Endang Novitasari perwakilan
BKPM, Rouf Qusyairi, Sekjen KMI moderator, Danang Giri
Wardhana, Kepala Kebijakan Publik APINDO (pelaku Ekonomi), serta Ketum
KMI, Edi Humaidi.[Nicholas]
Comment