Penulis : Nana Juwita Hasibuan, S.Si | Pendidik dan Aktivis Dakwah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Judol menjadi satu persoalan yang meresahkan umat. Akibat banyaknya situs judo beredar di dunia maya yang sangat mudah diakses oleh berbagai kalangan. Judol menimbulkan masalah baru bagi masyarakat di antaranya masyarakat terlilit hutang, kecanduan/ketergantungan judol, kerugian materi, hingga stres dan depresisi, tidak jarang judol juga dapat menimbulkan keretakan dalam rumah tangga.
Hal mengejutkan juga terlihat dari data yang dikeluarkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahwa sekitar 197.054 anak usia 10–19 tahun sudah terlibatnaktivitas judol dengan nilai deposit mencapai Rp50,1 miliar pada triwulan I-2025 (www.beritasatu.com/ 19/05/25).
Jawa Barat salah satu provinsi dengan jumlah transaksi judi online dan pengguna pinjaman online terbesar di Indonesia. Data dari PPATK menyebutkan ada lebih dari 535.000 pemain judi online di Jawa Barat, dengan nilai transaksi mencapai Rp3,8 triliun. Di mana sekitar 48% dari total 212 juta pengguna Internet Indonesia merupakan anak berusia di bawah 18 tahun.
Meutya Hafid selaku Menteri Komunikasi dan Digital Indonesia menyampaikan, dengan jumlah yang besar itu, platform digital juga menyasar anak-anak dengan mengeruk keuntungan hingga menyebabkan kecanduan. Meutya mengingatkan khususnya anak-anak SMA 2 Purwakarta, guru dan wali murid, tentang pentingnya penggunaan internet secara bijak untuk menghindari dampak negatif, termasuk ketergantungan (teknologi.bisnis.com, 14/05/25).
Sungguh sangat miris, fenomena judi online telah menyasar anak-anak bukan hanya kebetulan. Ekonomi kapitalisme menjadikan orang-orang yang hidup di dalamnya tidak memiliki standar halal dan haram, yang ada hanyalah bagaimana upaya untuk mendapatkan keuntungan sebagai tujuan utama, walau pun harus merusak generasi muda.
Industri ini memanfaatkan celah psikologis dan visual untuk menarik anak-anak. Inilah wajah asli kapitalisme yang rakus dan tidak mempertimbangan dampak buruk yang ditimbulkan dari judol tersebut.
Ada pun faktor-faktor yang menyebabkan generasi muda menjadi pelaku judi online di antaranya:
Pertama: penerapan ekonomi kapitalisme, yang menjadikan materi sebagai standar kebahagiaan, sehingga memotivasi manusia melakukan apa pun agar cepat mendapatkan uang atau keuntungan tanpa memperdulikan standar halal dan haram.
Ditambah terjepitnya masalah ekonomi menjadi alasan bagi generasi untuk mencari jalan pintas mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup. Tidak adanya kesejahteraan merupakan pemicu bagi mereka yang hidup di garis kemiskinan untuk melakukan judol karena dianggap ini merupakan cara mudah untuk dilakukan.
Ke-dua: hilangnya ketakwaan individu, akibat sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan menjadikan lemahnya iman diantara individu-individu sehingga umat merasa tidak takut ketika mereka sedang bermaksiat kepada Allah SWT, bahkan judol pun seperti dianggap sesuatu yang biasa saja, umat tidak malu-malu lagi ketika melakukan praktik judol.
Ke-tiga: liberalisasi penggunaan internet, banyak nya situs judol yang mudah diakses oleh semua kalangan memberikan kemudahan bagi generasi untuk menjadi pelaku judol, Hanya dengan ponsel dan internet, siapa saja dapat memainkan judi online kapan dan di mana pun. Selain itu cara bermain yang mudah, juga menambah faktor orang bisa ketergantungan judi online.
Ke-empat: kurangnya peran orang tua, orang tua termasuk ibu merupakan sekolah pertama bagi anak-anak mereka, tetapi hari ini, banyak perempuan yang disibukkan mencari nafkah, karena faktor ekonomi, sehingga fokus ibu yang seharusnya mendidik anaknya dengan pemahaman Islam menjadi terbengkalai, dan manjadikan generasi jauh dari nilai-nilai Islam.
Ke-lima: pendidikan sekuler, yang menjadikan generasi hari ini tidak memiliki pemahaman Islami, pendidikan sekuler hanya fokus pada bagaimana peserta didik memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, namun terkait pembentukkan karakter atau kepribadian yang Islami tidak terlalu ditargetkan, sehingga wajar generasi hari ini minim ilmu akhirat, bahkan ilmu dunia pun belum tentu mereka dapatkan.
Ke-lima: tidak adanya kontrol masyarakat. rakyat tidak membudayakan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, sehingga ketika mereka melihat aktivitas judol, umat cenderung membiarkan saja, karena menganggap bahwa itu bukan bagian tugas mereka, sehingga menjadikan pelaku judol ini semakin aman untuk terus berjudi online.
Ke-enam: minimnya peran negara, negara tidak memiliki upaya serius dan sistematis dalam upaya mencegah maupun mengatasi judi online.
Pemutusan akses dilakukan setengah hati dan tebang pilih, sementara banyak situs tetap aktif. Ini membuktikan bahwa demokrasi kapitalisme tidak memiliki solusi hakiki dalam menyelamatkan generasi muda dari jeratan judol.
Komdigi (Kementerian Komunikasi Digital Indonesia) ternyata juga tidak mampu menjauhkan rakyat khususnya generasi negeri ini dari praktik judol, bahkan lembaga yang diharapkan mampu menjaga generasi dan umat dari situs-situs judol malah mereka menjadi orang-orang yang melindungi situs atau web judol.
Sebut saja kasus yang menimpa ZA terkait perkara perlindungan laman situs online dimana Ia berperan sebagai penghubung antara jaringan judi online dan pejabat di Kemenkominfo. Selain Z, ada beberapa terdakwa lain, yaitu Adhi Kis, AJK, dan M alias A yang didakwa terkait penerimaan suap miliaran rupiah agar situs judi online tetap beroperasi (www.tempo.co, 05/06/25)
Pandangan Islam terkait judol
Islam jelas melarang praktik judi, baik dilakukan secara offline atau pun online, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt (QS, Al-Maidah:90), artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”
Oleh karena itu negara dalam konsep Islam bertugas menjaga rakyat dari segala bentuk kerusakan, termasuk judi online. Negara mampu menutup akses secara menyeluruh dan mencegah konten-konten merusak lainnya. Sistem digitalisasi akan diarahkan untuk mendidik umat secara keseluruhan menjadi individu-individu yang bertakwa, sehingga negara akan memastikan situs-situs yang tidak sesuai dengan aturan Islam akan dihapuskan dari peredaran.
Negara memberi sanksi tegas bagi mereka yang melakukan praktik atau pun pembuat situs judol dengan pertimbangan syariat, pelaku akan diberikan sanksi berdasarkan aturan Islam bukan kepentingan.
Selain itu negara juga berkewajiban menjamin setiap kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan papan, serta memastikan setiap laki-laki memiliki pekerjaan agar mereka jauh dari praktik judi.
Ini lah gambaran Islam terkait solusi permasalahn judol yang tengah melanda negeri ini. Wallahu alam bishawab.[]
Comment