Penulis: Afifah Herliana | Mahasiswi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Raja Ampat yang dikenal sebagai “Surga Terakhir di Dunia” kini justru menghadapi ancaman kehancuran akibat aktivitas pertambangan nikel. Aktivitas tambang ini menuai berbagai kritik tajam, baik dari publik nasional maupun internasional.
Mencuatnya isu ini berumula dari aksi protes yang dilakukan oleh aktivis Greenpeace Indonesia bersama empat pemuda Papua saat konferensi Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Jakarta, 3 Juni 2025 (bbc.com).
Beberapa perusahaan tambang, seperti PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa diketahui beroperasi di pulau-pulau kecil yang masuk kawasan konservasi di Kepulauan Raja Ampat.
Aktivitas mereka telah menimbulkan dampak lingkungan yang serius, seperti pembukaan lahan secara semena-mena, deforestasi (penggundulan hutan) yang menyebabkan rusaknya vegetasi alami, serta pencemaran perairan pesisir akibat limpasan lumpur tambang.
Padahal, berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, penambangan mineral dilarang di wilayah seperti ini jika berpotensi merusak lingkungan dan merugikan masyarakat. Namun pada kenyataannya izin usaha pertambangan (IUP) tetap diterbitkan, bahkan di wilayah yang seharusnya dilindungi.
Melancir bbc.com, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun menemukan berbagai pelanggaran serius dalam aktivitas pertambangan di Raja Ampat.
Beberapa perusahaan tercatat tidak memiliki dokumen AMDAL, membuka lahan di luar izin lingkungan dan kawasan hutan (PPKH), serta membiarkan kolam penampungan limbah (settling pond) rusak hingga mencemari pesisir.
Aktivitas tambang telah menyebabkan kerusakan ekosistem, seperti kematian terumbu karang akibat sedimentasi dan limpasan lumpur, yang sangat mengancam kelangsungan hayati laut maupun pendapatan masyarakat lokal dari sektor pariwisata.
Kasus ini menunjukkan wajah asli dari sistem kapitalisme yang rusak dan merusak. Dalam sistem ini, kepemilikan sumber daya alam (SDA) kerap jatuh ke tangan segelintir pengusaha yang memiliki kuasa besar atas kebijakan negara.
Meski jelas-jelas melanggar Undang-Undang tentang Kelestarian Lingkungan dan Tata Kelola Pesisir, perusahaan tambang tetap mendapat izin dan terus beroperasi hingga akhirnya mendapat sorotan publik.
Hal ini mencerminkan bahwa dalam sistem kapitalisme, kekuatan modal bisa membeli regulasi dan menundukkan hukum. Kepentingan ekonomi jangka pendek lebih diutamakan daripada kelestarian lingkungan hidup dan kesejahteraan rakyat jangka panjang. Bahkan nilai-nilai etika dan keadilan kerap dikorbankan demi kepentingan dan keuntungan materi.
Berbeda dengan Islam dalam mengatur penggunaan sumber daya alam. Islam memandang sumber daya alam seperti tambang nikel sebagai milkiyyah ‘âmmah (milik umum) yang haram dikuasai oleh swasta maupun asing.
Negara bertindak sebagai pengelola dan wajib mengelola tambang demi kemaslahatan rakyat tanpa merusak alam. Dalam sistem Islam, pemimpin negara (khalifah) adalah ra’in (pengurus umat) yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan lingkungan hidup berdasarkan syariat.
Islam juga memiliki konsep konservasi alam yang disebut dengan “hima”, yakni suatu lingkungan alam tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan perseorangan dan dilindungi dari eksploitasi.
Dalam Islam juga ditegaskan bahwa merusak alam adalah bentuk kemaksiatan yang mendatangkan bencana, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Rum ayat 41.
Eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat adalah bukti lain dari kegagalan kapitalisme mengatur kehidupan manusia khususnya dalam menjaga kelestarian bumi. Sedangkan, sistem Islam jika diterapkan secara kaffah dalam semua aspek kehidupan maka memberikan kesejahteraan bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bishshawab.[]
Comment