Konseling Spiritual-Teistik Berbasis Kelompok sebagai Solusi Alternatif Kasus Perundungan Pelajar

Opini148 Views

 

Penulis: Herni Martini | Mahasiswi Program Magister Pendidikan Islam IAIN Laa Roiba

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Fenomena perundungan atau bullying masih menjadi momok serius dalam dunia pendidikan Indonesia. Mirisnya, tindakan tidak manusiawi ini tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah umum, tetapi juga merambah ke berbagai lembaga pendidikan non-formal seperti pesantren, dan bahkan terjadi pula di jenjang pendidikan usia dini seperti TK dan PAUD.

Berdasarkan laporan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sepanjang tahun 2023 tercatat 30 kasus perundungan, meningkat dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 21 kasus.

Dari keseluruhan kasus tersebut, 50% terjadi di jenjang SMP, 30% di SD, dan sisanya di SMA serta SMK. Dua kasus di antaranya bahkan menelan korban jiwa. Fakta ini menjadi alarm keras bahwa ekosistem pendidikan kita belum aman dan sehat secara sosial dan psikologis (Katadata Media Network, 2023; Kompas TV, 2024).

Hal ini tentu bertolak belakang dengan semangat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 yang menegaskan bahwa pendidikan bertujuan membentuk insan beriman, berakhlak mulia, cerdas, dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Oleh karena itu, diperlukan strategi baru yang lebih menyentuh akar persoalan dan menyeluruh dalam penanganannya.

Salah satu pendekatan yang ditawarkan adalah melalui konseling spiritual-teistik berbasis kelompok. Model konseling ini merupakan bentuk layanan bimbingan yang mengintegrasikan pendekatan spiritual dan religius dengan dinamika kelompok. Tujuannya tidak hanya membantu siswa keluar dari masalah perundungan, tetapi juga membentuk kesadaran diri, karakter moral, dan kemampuan sosial secara utuh.

Akar Spiritualitas dan Pandangan Teistik

Konseling spiritual-teistik dilandaskan pada pandangan bahwa manusia merupakan makhluk jasmani dan rohani yang memiliki tanggung jawab spiritual terhadap Tuhan dan sesama.

Syamsu Yusuf (2009) menyatakan bahwa manusia sebagai homo religious memiliki kecenderungan untuk mencari makna hidup melalui nilai-nilai transendental. Oleh karena itu, pengembangan potensi spiritual menjadi bagian penting dalam proses penyembuhan psikologis dan sosial.

Richards dan Bergin (2004) menjelaskan bahwa perkembangan spiritual seseorang meliputi empat tahap, yaitu preawareness (belum sadar secara spiritual), awakening (kesadaran mulai tumbuh karena krisis), recognition (identitas spiritual mulai terbentuk), dan integration (keseimbangan hubungan dengan Tuhan, diri sendiri, dan orang lain).

Dengan memahami tahap-tahap ini, konselor dapat memandu siswa agar menemukan kekuatan dalam dirinya melalui pendekatan agama yang diyakininya.

Proses penyembuhan dalam model konseling spiritual juga mencakup dimensi multidisipliner, yakni melibatkan aspek kognitif, emosional, sosial, dan ritual keagamaan seperti ibadah, doa, membaca kitab suci, serta praktik taubat dan sedekah. Ini berbeda dengan konseling sekuler yang cenderung hanya menekankan aspek psikologis atau perilaku saja.

Dinamika dan Efektivitas Konseling Kelompok

Pendekatan kelompok dalam layanan konseling memiliki kelebihan dari sisi efisiensi, partisipasi aktif, dan dukungan sosial. Menurut Winkel (1991), konseling kelompok memanfaatkan dinamika interaksi antaranggota untuk menciptakan ruang aman dalam membahas isu pribadi dan sosial secara bersama-sama. Siswa tidak hanya merasa didengar, tetapi juga belajar dari pengalaman orang lain.

Dinkmeyer dan Muro (1978) menjelaskan bahwa dalam konseling kelompok, siswa dilatih untuk mengenal diri, mengelola emosi, mengembangkan rasa empati, serta menemukan solusi melalui dukungan kolektif.

Hal ini sangat penting bagi korban perundungan yang kerap merasa terisolasi atau tidak berdaya. Bahkan pelaku pun bisa diajak merefleksikan perilakunya secara lebih efektif melalui interaksi kelompok dibanding hanya melalui pendekatan individual.

Konseling kelompok juga menciptakan suasana yang menyerupai miniatur masyarakat. Di dalamnya, siswa dapat melatih keterampilan sosial, seperti komunikasi, kerja sama, mendengar aktif, dan mengelola konflik secara sehat. Dengan suasana yang hangat, penuh penerimaan, dan bebas menghakimi, setiap anggota kelompok diberi ruang untuk tumbuh dan berubah secara alami.

Struktur dan Tahapan Konseling Kelompok

Corey (1985) membagi proses konseling kelompok ke dalam empat tahap, yakni tahap awal (initial stage), tahap peralihan (transition stage), tahap kerja (working stage), dan tahap akhir (final stage).

Di tahap awal, anggota kelompok membangun kepercayaan dan mengenal dinamika kelompok. Di tahap peralihan, muncul resistensi atau konflik yang dikelola dengan bijak oleh konselor. Tahap kerja menjadi inti proses konseling, di mana anggota mulai terbuka membahas masalah personal. Terakhir, tahap penutup digunakan untuk merangkum pengalaman, mengevaluasi perubahan, dan memberi semangat melanjutkan pertumbuhan diri.

Model tahapan ini juga diadopsi oleh Jacobs dkk (1994) yang menyederhanakan menjadi tiga fase: awal (beginning), tengah (middle), dan akhir (closing). Sementara Gazda (1984) lebih fokus pada fungsi eksplorasi, transisi, aksi, dan terminasi sebagai tahapan psikologis yang harus dilalui oleh anggota kelompok. Perbedaan istilah ini menunjukkan bahwa model konseling kelompok bersifat fleksibel namun tetap terstruktur.

Peran konselor sangat krusial dalam keberhasilan proses ini. Seorang konselor perlu memiliki keterampilan mendengarkan aktif, memfasilitasi diskusi, mengamati dinamika kelompok, serta mampu menciptakan ruang yang aman dan suportif. Sukardi (1994) dan Masdudi (2003) menegaskan bahwa kemampuan interpersonal, empati, dan penguasaan teknik konseling adalah kunci dalam memimpin kelompok yang dinamis dan produktif.

Relevansi dan Implementasi di Sekolah

Meskipun konseling kelompok telah dikenal di dunia pendidikan, penerapannya masih terbatas pada tingkat menengah dan perguruan tinggi. Di banyak sekolah dasar dan menengah pertama, layanan ini belum menjadi program rutin.

Padahal, menurut Prayitno (1995), konseling kelompok sangat efektif sebagai langkah preventif dan kuratif, khususnya dalam menangani masalah interaksi sosial yang menjadi akar perundungan.

Melalui konseling spiritual-teistik berbasis kelompok, siswa diajak mengenali potensi fitrah religiusnya, memperkuat moralitas, serta menumbuhkan empati dan kepedulian sosial. Dengan pendekatan ini, upaya membangun budaya anti-perundungan tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga proaktif dan transformasional.

Lebih jauh, pendekatan ini sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai agama dan kebersamaan. Oleh karena itu konseling spiritual-teistik berbasis kelompok mulai diintegrasikan dalam layanan bimbingan konseling sekolah secara lebih sistematis.

Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan konselor sekolah, kolaborasi dengan tokoh agama, serta penguatan kurikulum karakter yang berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan.

Perundungan pelajar bukan sekadar masalah perilaku, tetapi mencerminkan krisis nilai dalam proses pendidikan. Konseling spiritual-teistik berbasis kelompok hadir sebagai pendekatan holistik yang menggabungkan dimensi psikologis, sosial, dan spiritual.

Dengan pendekatan yang tepat, konselor yang kompeten, serta dukungan sistem pendidikan yang inklusif, pendekatan ini dapat menjadi salah satu jawaban atas keresahan dunia pendidikan hari ini.[]

Referensi:

* Yusuf, L.N. Syamsu. (2009). Konseling Spiritual Teistik. Bandung: Rosydakarya.
* Corey, Gerald. (1985). Theory and Practice of Group Counseling. California: Brooks/Cole.
* Dinkmeyer, Don & Muro, James J. (1978). Group Counseling. Itasca: F.E. Peacock.
* Ohlsen, Merle M. (1977). Group Counseling (2nd ed.). New York: Holt, Rinehart and Winston.
* Prayitno. (1995). Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok. Jakarta: Ghalia Indonesia.
* Sukardi, Dewa Ketut. (1994). Landasan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Usaha Nasional.
* Masdudi. (2003). Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan Islam.
* Richards, P. Scott & Bergin, Allen E. (2004). A Spiritual Strategy for Counseling and Psychotherapy.

Comment