Liberalisasi, Pornografi dan Degradasi Moral Anak Anak Negeri

Opini122 Views

 

 

Penulis: Siti Aminah | Aktivis Muslimah Kota Malang

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Kejahatan seksual semakin merajalela bahkan pelakunya anak-anak di bawah umur. Teknologi semakin maju kejahatan seksual pun tak mau kalah. Pelaku rudapaksa kini bukan orang dewasa lagi tapi sudah sampai ke anak-anak.

Empat remaja di bawah umur di Sukarami, Palembang, Sumatera Selatan, memperkosa dan membunuh seorang siswi SMP berinisial AA (13). Jasad korban ditinggalkan keempat pelaku di sebuah kuburan Cina, pada Minggu (1/9) sekitar pukul 13.00 WIB. CNN Indonesia (06/09/2024).

Hari ini generasi semakin rusak. Liberalisme menggerus moralitas anak anak. Dekadensi moral yang sudah pada taraf mencemaskan masa depan bangsa.

Tidak ada kebijakan yang melindungi,  melayani dan mengayomi sehingga rakyat melakukan apa saja untuk mengisi perutnya termasuk membuat video porno yang bisa ditonton secara bebas oleh siapa saja termasuk anak-anak.

Potret generasi makin suram adalah realita hari ini. Hal ini tampak dari perilaku pelaku yang kecanduan pornografi dan bangga dengan kejahatan yang dilakukannya.

Fenomena ini juga menggambarkan anak-anak kehilangan masa kecil yang bahagia, bermain dan belajar dengan tenang, sesuai dengan fitrah anak dalam kebaikan.

Hal ini tentu juga berkaitan dengan media yang makin liberal, sementara tidak ada keseriusan negara menutup konten-konten pornografi demi melindungi generasi.

Gagalnya sistem pendidikan juga tampak dari kasus ini. Islam mewajibkan negara mencegah terjadinya kerusakan generasi melalui penerapan berbagai aspek kehidupan sesuai aturan Islam di antaranya pendidikan Islam, media islami, hingga sistem sanksi yang menjerakan.

Hukum saat ini tidak memberikan efek jera sehingga pelaku kejahatan semakin merajalela termasuk kejahatan seksual bahkan pelakunya anak-anak yang seharusnya masih belajar tapi sudah mampu melakukan kejahatan,dalam hukum saat ini anak-anak di bawah umur 17 tahun tidak bisa menerima hukuman yang sepadan dengan kejahatan yang dilakukan nya karena dilindungi undang-undang.

Polrestabes Palembang telah menyerahkan tiga pelaku pembunuhan siswi SMP di Palembang berinisial AA (13 tahun) ke panti rehabilitasi yang berada di kawasan Indralaya, Ogan Ilir.

Ketiga pelaku yakni, MZ (13), MS (12) dan AS dibina sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 32 dengan status Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).

Undang-undang melindungi mereka dari penahanan, mengingat usia dan status mereka sebagai anak-anak. KumparanNews (06/09/2024).

Dalam Islam hukuman untuk orang yang melakukan pemerkosaan cukup jelas,orang yang melakukan pemerkosaan berarti melakukan tindak pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual.

Ulama mengategorikan pemerkosaan sebagai tindakan zina. Hukumannya adalah had yang sudah ditetapkan dalam kasus perbuatan zina.

Jika pelaku belum menikah, hukumannya cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Jika pelakunya sudah menikah maka hukuman rajam bisa dilaksanakan. Dalam kasus pemerkosaan ada pengecualian bagi korban.

Korban pemerkosaan tidak dikenakan hukuman zina. Jika tindakan zina, maka dua pelakunya sama-sama mendapatkan hukuman had. Namun dalam pemerkosaan, sang korban terbebas dari hukuman. Dalilnya adalah Alquran surah al-An’am ayat 145.

“Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Imam Malik dalam Al-Muwatha’ berpendapat, orang yang memperkosa wanita selain dijatuhi hukuman had zina juga mendapat sanksi tambahan. Sang pelaku diharuskan membayar mahar kepada wanita. Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat, pemerkosa hanya mendapatkan had zina saja tanpa kewajiban membayar mahar.

Jika tindakan pemerkosaan dibarengi dengan tindakan penyiksaan atau perampasan harta maka hukumannya bisa ditambah. Beberapa ulama berpendapat, tambahan hukuman bagi pemerkosa yang menyiksa atau merampas harta sesuai dengan Alquran surah al-Maidah ayat 33.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.”

Pemerkosaan terdapat unsur paksaan. Sehingga hukuman yang dijatuhkan bukan hanya had zina namun juga takzir karena paksaannya. Takzir ditetapkan oleh Kholifah dan bisa saja lebih berat dari hukuman had seperti hukuman mati.

Perlu diketahui, anak di bawah umur dalam pandangan syariah adalah anak yang belum baligh (dewasa). Adapun jika pada seseorang sudah terdapat satu atau lebih di antara tanda-tanda baligh (‘alamat al bulugh) yang ditetapkan syariah, berarti dia sudah dianggap mukallaf dan dapat dijatuhi sanksi jika melakukan perbuatan kriminal. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 108; Abdul Qadir ‘Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, 1/602).

Tanda-tanda baligh adalah salah satu dari empat tanda berikut; pertama, ihtilaam, yaitu keluarnya mani dari laki-laki atau perempuan baik dalam keadaan tidur (mimpi basah/mimpi berhubungan badan) maupun dalam keadaan sadar (misal onani); Kedua, tumbuhnya rambut kemaluan baik pada laki-laki atau perempuan; Ketiga, sudah haid atau melahirkan, khusus bagi perempuan; Keempat, sudah mencapai umur baligh, baik pada laki-laki atau perempuan, yaitu 15 (lima belas) tahun menurut pendapat jumhur ulama, dihitung menurut kalender qamariyah, bukan kalender syamsiyah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/186 & 13/248; Imam Syaukani, Nailul Authar, 7/55-60, bab ‘Alamat Al Bulugh, kitab At Taflis).

Hukuman seperti ini hanya bisa diterapkan dengan sistem Islam karena negara memiliki peran besar – dalam hal ini, sebagai salah satu pilar tegaknya aturan Allah.[]

Comment