Manakah yang Menjadi Solusi atasi Kemiskinan Pengelolaan Wisata Halal atau Pengelolaan Sumber Daya Alam?

Opini353 Views

 

 

 

Oleh: Sarah Ainun, M.Si, Pegiat literasi

________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Di tengah munculnya pembahasan kemiskinan ekstrem, setelah Indonesia masuk ke dalam peringkat ke-73 dari 100 negara termiskin di dunia beberapa waktu yang lalu,  sebahagian orang seperti ditulis katadata.co.id (03/06/2023), mendapat angin segar dan berbangga ria dengan dinobatkannya Indonesia menjadi surga wisata halal dunia dengan meraih predikat Top Muslim Friendly Destination of The Year 2023 dalam Mastercard Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2023 di Singapura.

Pasalnya, sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, sektor pariwisata halal berpotensi menyumbang devisa negara yang cukup besar. Sejak 2019 yang lalu, pemerintah telah meramalkan atau memperkirakan potensi penerimaan devisa dari destinasi pariwisata halal tahun ini mencapai sekitar US$ 5,5 miliar US$ 10 miliar atau setara Rp 77 triliun hingga Rp 140 triliun (kurs Rp 14 ribu per dollar Amerika Serikat), (cnnindonesia.com,09/04/2019).

Sementara itu, mayoritas penduduk muslim yang ada di negeri ini bukanlah satu-satunya potensi yang dapat menyumbang pendapatan negara. Namun ada potensi lain yang jauh berlipat-lipat kali lebih besar dari sektor pariwisata halal, yaitu kekayaan sumber daya alam (SDA) yang berlimpah baik tambang, laut, hutan, dan hasil bumi lainnya, merupakan sektor strategis yang jika ini dikelola dengan benar, maka Indonesia akan menjadi negara yang kaya-raya.

Seperti dikutip dari CNBCIndonesia,07/02/2023, salah satu tambang emas-tembaga dari sekian banyak tambang yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, berada di provinsi Papua. Timur Indonesia ini, telah sejak lama dikuasai oleh perusahaan tambang raksasa Amerika Serikat. PT Freeport-McMoran Inc yang encatatkan pendapatan US$ 22,78 miliar atau setara Rp 341,70 triliun (asumsi Kurs Rp 15.000/US$) sepanjang tahun 2022.

Tidak bisa kita pungkiri dan abaikan begitu saja, bahwa keberadaanya SDA yang nyata-nyata keberlimpahanya, memiliki potesi besar dalam menyumbang pendapatan negara yang dapat dipergunakan untuk kepentingan pengelolaan negara. Jika kita menghitung mundur dari hari ini sampai masa orde baru berapa banyak sudah keuntungan yang bisa didapat dari hasil SDA tambang negeri ini.

Namun sangat disayangakan, pendapatan atau keuntungan yang diperoleh dari SDA seperti tambang emas, tembaga, batu bara, nikel, minyak bumi, gas alam dsb. serta jenis kekayaan alam lainnya seperti hutan, hasil laut yang berlimpah mengalir begitu saja kekantong-kantong asing maupun pihak swasta karena pengelolaannya diserahkan kepada para korporat baik asing maupun lokal.

Sementara peran negara dalam pengelolaan SDA hanya sebatas pembuat kebijakan atau regulator untuk memudahkan kepentingan para kapitalis dengan dalih mengelola dalam kebijakan investasi. Namun pada dasarnya menguasai dan terus mengeruk kekayaan SDA negeri ini.

Negara pun tidak memiliki kedaulatan untuk mengelola SDA secara mandiri, karena tersandra oleh aturan sistem sekuler kapitalis, yang meniscayakan kebebaskan kepemilikan apapun oleh individu maupu kelompok. Meskipun SDA yang dikuasai sifatnya dapat dipergunakan untuk hajat hidup orang banyak tetapi dikuasai hanya oleh segelintir orang.

Alhasil, negara mengais-ngais rupiah dari sektor non strategis seperti wisata, yang tujuannya untuk pengentasan kemiskinan yang sudah terjadi secara sistemik dan berdampak pada sistem perekonomian negara ini. Jika mayoritas penduduk muslim menjadikan konsep wisata halal memiliki potensi besar terhadap pemasukan negara, maka seharusnya umat muslim juga mengkaji bagaimana kedudukan wisata dalam Islam.

Wisata dalam sistem Islam bukan sebagai pemasukan negara, melainkan sebagai sarana (uslub) dalam dakwah. Dalam banyak ayat-ayat Kauniyah yang terkandung dalam Al-Qur’an, Allah Swt mengajak dan mengarahkan manusia untuk berfikir dengan menggunakan akalnya untuk melihat, mengamati, mentadaburi tanda-tanda keberadaan dan kebesaran Allah Swt – melalui fenomena alam serta keberadaan alam yang terbentang luas, laut, gunung, padang rumput, sungai, langit dsb. untuk mengenal dan menguatkan iman kepada Allah Swt.

Karena setiap manusia diberikan atau memiliki potensi Gharizah al-tadayyun (naluri beragama) yang akan muncul atau bangkit ketika berfikir tentang ayat-ayat Allah Swt yang berkorelasi dengan melihat keindahan ciptaan Allah Swt baik di langit maupun di bumi. Begitupun dengan tempat-tempat bersejarah sebagai bukti bisu yang tersimpan dari peradaban Islam.

Selain wisata sebagai sarana dakwah, ternyata dalam sistem Islam wisata juga sebagai sarana di’ayah (propaganda). Di mana selama beberapa periode atau ribuaan tahun manusia hidup dan tinggal di atas muka bumi ini, dalam aktivitas dan keberlangsungan hidupnya membangun sebuah peradaban, salah satunya peradaban Islam yang pernah memimpin peradaban umat manusia di 1/3 dunia selama kurang lebih 1300 tahun.

Peradaban Islam tersebut banyak meninggalkan jejak atau bukti-bukti sejarah, destinasi wisata Islam akan menjadi syiar Islam bagi mereka yang langsung melihat peninggalan sejarahnya akan muncul keyakinan akan keagungan dan kemuliaan Islam, begitupun bagi mereka yang sudah yakin dengan Islam namun belum menyaksikan langsung bukti-bukti keagungan dan kemuliaan tersebut, akan semakin mengokohkan keyakinnan mereka setelah melihatnya.

Jadi, sangat jelas dalam sistem Islam, tujuan pengelolaan sektor wisata adalah sebagai sarana syiar Islam/dakwah, bukan sebagai sumber utama devisa atau pendapatan negara. Kekayaan SDA yang dimiliki negsra menjadi sember utama pemasukan negara melalui pengelolaan yang diatur berdasarkan syariat.

Dalam Islam pemasukan negara berasal dari tiga sektor. Pertama, pemasukan yang berasal dari pos kepemilikan negara, berasal dari pengelolaan harta kepemilikan negara seperti harta fai’, kharja, unsyur, jizyah, ghanimah, ghulul, dan dharibah. Harta ini akan dikeluarkan untuk keperluan negara seperti biaya jihad, pembangunan infrastruktur, menggaji pegawai negara dsb.

Kedua, pemasukan yang berasal dari pos kepemilikan umum, berasal dari pengelolaan harta kepemilikan umum, yakni sumber daya alam. Harta ini akan dikeluarkan untuk keperluan kebutuhan warga khilafah. Seperti membiayai kebutuhan Pendidikan, Kesehatan, dan keamanan, sehingga rakyat yang hidup di dalam daulah Islam terjamin dan terjaga kesejahteraanya.

Dan yang ketiga, pendapatan yang besasal dari pos zakat, dari harta zakat fitrah, zakat maal, wakaf, shadaqah, dan infaq. Harta ini akan dikeluarkan sesuai peruntukanya berdasarkan ketetapan syariat. Ketiga sumber utama pendapatan negara akan masuk ke Baitul mal, dan setiap pos memiliki sumber pemasukan dan pengeluaran masing-masing.

Dengan demikian, Islam bukan hanya sebagai agama yang hanya mengurusi perkara ibadah individu saja, namun syariat Islam yang diturunkan oleh Allah Swt secara lengkap telah mengatur setiap sektor kehidupan manusia.

Negara sebagai pengurus rakyatnya akan menjadi aktor tunggal yang secara langsung melakukan pengelolaan berbagai sektor kehidupan dengan meletakan masing-masing pada koridor syariat.

Maka, untuk keluar dari jerat kemiskinan, karena pengeloalaan SDA yang salah, satu-satunya solusi adalah negara kembali menerapkan Islam rahmatan lil’alamin. Waullahu a’lam bishawab.[]

Comment