Maraknya Oknum Dokter Cabul: Tanggung Jawab Menkes, Mendiktisaintek atau Kegagalan Sistem?

Opini128 Views

 

Penulis: Siti Nurhalizah, M.Pd., Gr. |
Pendidik.

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Profesi dokter dan nama baiknya kembali ternodai akibat kelamnya tindakan segelintir oknum tak bertanggung jawab. Belum reda luka akibat budaya perundungan dan kekerasan yang dilakukan para oknum dokter senior terhadap rekan-rekan mudanya, kini publik kembali diguncang oleh kabar yang jauh lebih kelam.

Seorang dokter yang seharusnya menjadi penjaga nyawa dan pelindung martabat manusia justru mencoreng sumpah sucinya dengan tindakan bejat, mencabuli bahkan memperkosa anak dari pasien yang ditanganinya. PA, dokter anestesi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjajaran (Unpad) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, Jawa Barat (Kompas.com).

Berikutnya terkuak kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dokter kandungan MSF alias Iril kepada pasiennya yang viral pasca tersebarnya video rekam CCTV memperlihatkan pelecehan yang dilakukan saat proses USG, menjadikan ruang pemeriksaan berubah menjadi medan ketakutan bagi pasien.

Kemudian disusul oleh beberapa laporan serupa pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dokter-dokter berbeda di berbagai daerah, di antaranya dugaan pelecehan oleh dokter AY dari RS Persada Hospital seperti ditulis kompas.com (19/04/2025) dan tindakan tak senonoh oleh seorang oknum dokter PPDS yang merekam mahasiswi saat mandi, mengingkari setiap prinsip kehormatan yang seharusnya mereka jaga sebagaimana dilaporkan Pos.Kupang (20/04/2025).

Merespon maraknya oknum dokter cabul di lingkup pendidikan kedokteran, Menkes & Mendiktisaintek seperti dilaporkan kompasTV (21/4/25) melakukan konferensi pers sebagai upaya pembenahan terhadap persoalan ini. Pernyataan Menkes menjadi sorotan, beliau menyampaikan perlunya upaya terstruktur sistematis, khusunya perihal kesehatan psikologis para calon dokter spesialis.

Hal yang beliau soroti di antaranya adanya tekanan jam kerja yang membebani, kedisipinan yang berlebihan, dan beban finansial yang dialami karena ketiadaan penghasilan bagi para dokter residen yang mengabdi di rumah sakit. Hal tersebut menyebabkan dokter residen kerap tergelincir dalam kondisi psikis yang tidak baik.

Fakta tersebut merupakan realitas yang tak terelakkan. Mirisnya, fenomena serupa tidak hanya dialami oleh pendidikan profesi dokter, namun juga menjadi bagian dari dinamika keras di berbagai pendidikan profesi lain, seperti guru dan psikolog misalnya.

Demikian pula perilaku asusila, tak hanya mendera dunia medis semata, aksi cabul merayap di berbagai ruang kehidupan, di sekolah, di fasilitas umum, bahkan di balik pintu rumah yang notabene diyakini sebagai tempat paling aman bagi keluarga.

Dalam data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), tercatat 6.980 kasus kekerasan sejak 1 januari hingga 22 April 2025, yang didominasi oleh kekerasan seksual. Ini menunjukkan bahwa gelombang kekerasan dan pencabulan ibarat gunung es—yang tampak di permukaan hanyalah sebagian kecil dari kenyataan kelam yang jauh lebih besar dan tersembunyi.

Sedikit yang viral, namun ribuan kasus yang tercatat, mungkin saja lebih besar lagi kasus-kasus yang terkubur sunyi. Hal ini dipertegas dengan sikap korban yang cenderung enggan melaporkan kasusnya akibat kekhawatiran dan putus asa. Hampir 80% korban kekerasan seksual tidak melaporkan kasusnya ke kepolisian (asumsi.co)

Namun di luar ranah kriminalitas, muncul pertanyaan lain yang tak kalah penting: bagaimana dengan perilaku seksual suka sama suka atau dikenal dengan sexual consent, yang tak tercakup dalam definisi kekerasan seksual di Indonesia?

BKKBN mencatat bahwa 59% remaja perempuan dan 74% remaja laki-laki pernah melakukan hubungan seksual di usia 15-19 tahun sebagaimana ditulis Jatim Times (04-02-2025).

Sungguh disayangkan bila tanggung jawab besar ini hanya dipikul oleh dua kementerian—Kesehatan dan Pendidikan—sementara persoalannya begitu kompleks dan lintas sektoral.

Problem ini tak hanya berkaitan dengan pendidikan dan kesehatan, melainkan juga menyentuh ranah media, hukum, budaya, keamanan, HAM, ekonomi, bahkan hubungan internasional. Sebab, tidak bisa dimungkiri bahwa kebebasan tanpa batas yang merasuki masyarakat hari ini banyak dipengaruhi oleh budaya asing—melalui industri film, platform digital global, maupun sarana-sarana transfer nilai lainnya bebas tanpa filter.

Harus diakui bahwa ini adalah masalah sistemik yang menuntut perhatian menyeluruh dari semua lini. Jika kita mampu jujur melihat kedalamannya, maka kita pun harus siap menerima bahwa pelaku asusila hari ini bisa jadi adalah korban dari sistem liberal yang berkembang subur di negeri ini.

Mungkin secara de jure, kita menyangkal telah menganut liberalisme. Tapi secara de facto, kebebasan tanpa batas hidup dan tumbuh dengan subur, bahkan dilindungi.

Liberalisme dalam sistem demokrasi menjunjung kesetaraan hukum, namun pada saat bersamaan membiarkan budaya permisif merajalela. Tontonan vulgar tak lagi tabu dan aturan yang lahir tak lagi bersandar pada hukum Allah, melainkan pada suara mayoritas yang mudah dipengaruhi hawa nafsu.

Berbeda dengan sistem islam, Islam mengatur kebebasan bukan untuk mengekang, tapi untuk memberikan kemaslahatan bagi manusia secara utuh, sesuai dengan fitrahnya yang mulia. Media berfungsi sebagai edukasi, bersih dari tontonan yang tak senonoh dan mengandung pelanggaran syariat.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Nidhom al-Ijtimaiy fil Islam (sistem pergaulan Islam) menjelaskan bahwa sistem islam telah memberikan pedoman yang jelas, dengan perintah menundukkan pandangan, menutup aurat di hadapan non mahram kecuali wajah dan telapak tangan.

Wajibnya menutupi batas perhiasan yang dibatasi lengan, leher, dan di bawah lutut di hadapan mahram. Sehingga sekalipun di hadapan orang tua, tidak berarti berpakaian bebas, tetap ada batasan.

Demikian pula ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan) hanya diperbolehkan dalam muamalah ekonomi, pendidikan, haji, politik, hukum, dan kesehatan.

Perihal khalwat (interaksi berduaan laki-laki dan perempuan) dengan non mahram diharamkan dengan tegas. Tidak peduli apakah bertemu dokter, guru, bos, siapapun tetap harus disertai mahram sebagai orang ketiga. Sehingga menutup celah bagi perilaku pemerkosaan maupun zina dengan persetujuan.

Dalam islam tidak membedakan hukum berdasarkan sexual consent, zina tetaplah zina, hubungan seksual hanya boleh dilakukan melalui ikatan pernikahan. Islam memberikan hukuman berupa hudud dan takzir sesuai dengan kasus pelanggarannya, apakah zina pra atau pasca menikah, pemerkosaan, maupun penyimpangan seksual.

Demikian kuatnya penjagaan islam yang melahirkan rasa aman bagi masyarakat. Sekalipun terjadi satu dua kasus, maka tidak akan marak seperti hari ini.

Karena tameng negara dan masyarakat telah bekerja secara optimal, tinggal dikembalikan kepada tameng individu untuk berupaya menjalankan hukum-hukum tersebut baik melalui keimanan (bagi muslim) maupun tidak dengan keimanan (bagi non-muslim).

Sekarang ini, yang pertama dijadikan tameng langsung kepada masing-masing individu sedangkan tameng masyarakat dan negara telah luntur. Saatnya seluruh lapisan masyarakat di negeri ini mulai berbenah, agar kehidupan kembali sesuai fitrah. Wallahu a’lam bishawab.[]

Comment