Suap dan Hakim Berkeadilan dalam Islam

Opini597 Views

 

Penulis: Luthfiah Jufri, S.Si, M.Pd | Anggota Dharmayukti Karini Cabang Polewali

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sangat memalukan! Kasus Suap menyuap kembali terjadi di Lembaga peradilan dan menyeret oknum penegak keadilan di PN Jaksel dan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

Suap itu diduga berkaitan dengan vonis lepas terhadap terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya periode Januari-April 2022 seperti ditulis cnnindonesia.com (14 April 2025).

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW),  Egi Primayogha mengungkap sejak 2011-2024 ada 29 orang hakim telah terjerat kasus suap dengan nilai mencapai Rp108 Miliar. Fakta ini menunjukkan bahwa uang telah mengubah integritas dan menghilangkan wibawa para penegak hukum.

Mereka yang seharusnya menjadi harapan semua pihak mendapatkan keadilan, diubah menjadi tempat para mafia kasus demi kepuasan materi. Dengan kasus ini, masih pantaskah gelar “Yang Mulia” disematkan kepada mereka?

Hal ini memperlihatkan bagaimana korporasi besar dari hulu hingga ke hilir dengan mudah menguasai aparat keadilan. Kekuatan oligarki melakukan praktik jual beli vonis untuk menentukan arah keadilan dengan uang sesuai kehendak mereka.

Inilah bukti nyata bahwa lembaga peradilan Indonesia takes lupus dari praktik suap-menyuap secara sistemik dan tumbuh subur. Korporasi terus-menerus mendapatkan keistimewaan dan perlindungan sedangkan penegak hukum telah kehilangan taringnya.

Kondisi yang menganut sistem  kapitalisme sekuler ini telah telah menjadikan masyarakat termasuk didalamnya para hakim seperti manusia yang kehilangan rasa takut kepada Penciptanya. Halal haram bukan lagi standar perbuatannya.

Demokrasi liberal ala kapitalisme memberikan kebebasan kepada anusia untuk berperilaku sesuai kehendaknya. Silakan berbuat apa saja selama itu ada manfaat. Sehingga, terbangunlah pemikiran bahwa suap menyuap bukan kesalahan besar karena bagi dirinya (hakim) juga bagi terdakwah sama-sama sepakat. Mereka bersembunyi dibalik ‘Saling menolong dan saling menguntungkan’.

Islam memiliki sistem peradilan yang sangat unik. Syarat menjadi seorang Hakim (QADHI) yaitu (1) Muslim, (2) Baligh, (3) Berakal,(4) Merdeka, (5) Adil, (6) Mampu, baik secara Keilmuan, emosional maupun Intekletual. (Abdul Al-Karim Zaidan, Nidzam Al-Qadha’fi al-Islam. Hal.29).

Para Fuqaha mengatakan bahwa Khalifah harus memilih dan mengangkat Qadhi yang kredibel dengan cara bertanya kepada para ulama yang kredibel tentang siapa kira-kira menurut mereka orang yang layak dipilih menjadi qadhi atau khalifah menunjuk langsung jika mengetahui kredibelitas orang tersebut.

Khalifah juga bisa melakukan fit and proper test. Tidak ada larangan bagi calon qadhi mengajukan lamaran atau membuat curiculum vitae yang lengkap tentang dirinya.

Menurut Imam Syafi’i dalam kitab Adab Al-Qadhi, Juz 1/237 karya Al-Qadhi Al-Mawardi bahwa Qadhi yang terpilih tidak boleh berbisnis. Meski demikian tetap diperbolehkan untuk melakukan aktivitas yang tidak menyita kesibukannya sebagai qadhi.

Qadhi juga tidak boleh menerima hadiah (gratifikasi) karena bisa mengganggu independensinya saat membuat dan menentukan kebijakan atau putusan. Sehingga, hadiah di sini adalah suap dan hukumnya haram.

Para ulama juga menyebutkan Akhlak Qadhi yaitu: (1) Berwibawa, (2) Tawadhu’, (3) Jauh dari sifat dan karakter yang bisa menodai kehormatannya, (4). Tidak banyak bergaul atau berinteraksi dengan orang-orang, agar tidak banyak terpengaruh oleh mereka, yang bisa mempengaruhi keputusannya dalam pengadilan. (5) Tidak hidup di tengah masyarakat yang tidak layak bagi dirinya. (6) Tidak banyak tertawa dan bergurau, (7) memiliki adab yang sopan dan santun. (Abdul Al-Karim Zaidan, Nidzam Al-Qadha’fi al-Islam. Hal.55).

Pemaparan di atas insyaa Allah kredibilitas pengadilan dan hakim bisa terwujud jika Negara mengambil Islam sebagai pengatur kehidupannya. Aqidah Islam sebagai landasannya akan meringankan hisab qadhi di akhirat dan bisa sebaliknya. Taruhannya adalah surga dan neraka. Rasulullah saw bersabda :

“Hakim itu ada tiga: dua di neraka dan satu di surga. Hakim yang memutuskan hukum dengan tidak benar, sedangkan ia mengetahuinya, maka ia di neraka. Hakim yang tidak mengetahui kebenaran (jahil), sehingga ia menghilangkan hak orang lain, maka ia pun di neraka. Hakim yang memutuskan hukum dengan kebenaran, maka ia di surga”. (HR. At-Tirmidzi).

Dengan kesadaran aqidah seperti ini, seorang hakim dan semua aparat penegak hukum tidak akan berani bermain api, mempermainkan keputusan ataupun jual beli kasus. Wa’allahu ’alam bisshowab.[]

Re!f:

antikorupai.org

cnnindonesia.com

 

Comment