Oleh: Yulida Hasanah, Pemerhati Sosial dan Politik
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Belum hilang dari ingatan rakyat negeri ini soal jumlah fantastis anggaran dana untuk penggantian gorden di rumah dinas anggota DPR RI bulan Maret lalu. Rakyat kembali dibuat heran dengan hasil pengumuman pemenang lelang tender proyek penggantian gorden yang diikuti oleh 49 perusahaan. Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pengadaan proyek ini mengumumkan secara langsung melalui laman resminya.
Bagaimana tidak heran? Beberapa kejanggalan yang tak dapat diterima akal sehat terjadi di dalamnya. Pertama, dari sisi harga penawaran tender. Diketahui bahwa pemenang lelang tender adalah PT Bertiga Mitra Solusi (BMS) dengan harga penawaran Rp43,5 miliar.
Harga dari PT BMS ini adalah angka tertinggi, sebab dua perusahaan lain mengajukan harga penawaran lebih rendah. PT Panderman Jaya dengn Rp 42 miliar, dan PT Sultan Sukses Mandiri Rp 37,7 miliar. Sedangkan 46 perusahaan lainnya yang juga mengikuti lelang tender tersebut tidak tercantum harga penawarannya di dalam laman resmi Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) DPR. (katadata.co.id)
Inilah yang kemudian memunculkan misteri. Mengapa justru perusahaan yang mengajukan harga tawar dengan nilai paling tinggi yang bisa memenangkan tender ini? Bukankah normalnya pengadaan barang denga sistem tender itu memilih harga yang paling ekonomis dengan kualitas-kualitas yang tinggi? Inilah yang disebut misteri.
Kedua, kejanggalan juga terlihat dari sisi profil PT BMS sebagai perusahaan pemenang tender. Sebab secara profil di laman resmi perusahaan, tercantum bahwa PT BMS bergerak di bidang suplai interior dan kontraktor, serta integrator sistem dalam Teknologi Informasi(TI). Dengan keterangan, dari tujuh proyek yang ditampilkan, hanya satu yang berkaitan dengan interior, yaitu proyek gorden DPR.
Jadi, kualifikasi kelayakan dari segi profil perusahaan pemenang tender ini juga disangsikan oleh banyak pihak. Salah satunya adalah dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).
Ketiga, yakni terkait dengan alokasi dana anggaran proyek penggantian gorden dengan jumlah fantastis sebesar 48 M merupakan jumlah yang terlalu besar hanya untuk beli gorden. Bahkan, meskipun rakyat menolak adanya proyek ini karena cenderung mengabaikan kondisi ekonomi rakyat yang memprihatinkan. Namun, suara rakyat seakan hanya numpang lewat, dan proyek lanjut jalan terus.
Di sinilah kemudian muncul dugaan yang mengarah pada terjadinya kongkalikong antara politisi, birokrat dan pengusaha. Terlihat dari sikap diamnya anggota DPR terhadap berbagai kejanggalan yang dilakukan Sekjen DPR. Padahal jika mau, DPR bisa mengambil alih tanggung jawab Sekjen agar ada transparansi masalah proyek kontroversial tersebut. Bukan sekadar saling menyalahkan satu sama lain dan terkesan lempar batu sembunyi tangan. Demi ingin mengamankan nama masing-masing untuk kepentingan politik di tahun mendatang. Sungguh terlalu!
Dari ketiga kejanggalan di atas, makin jelas terbaca bahwa politik di negeri ini sebenarnya tidaklah baik-baik saja. Proyek dengan alokasi dana yang jumlahnya tak masuk di akal itu justru telah menyibak bukti baru tentang buruknya wajah politik demokrasi.
Padahal jelas, dana dengan jumlah fantastis tersebut jelas berasal dari kantong rakyat. Benarlah jika dikatakan bahwa demokrasi ini merupakan sistem politik yang akan membawa orang-orang yang terjun di dalamnya menjadi politisi yang minim empati, dan hanya mengejar obsesi diri sendiri.
Jadi masalahnya memang bukan sekadar siapa yang duduk di kursi demokrasi. Tapi kursi demokrasi sendirilah yang menjadi sumber awal buruknya pengaturan urusan rakyat. Karena secara prinsip, demokrasi bukan bersumber dari Pencipta manusia Yang Maha Adil, Maha Benar, Maha Bijaksana dan Maha segalanya. Demokrasi bersumber dari akal manusia yang terbatas. Bahkan sistem ini dicaci-maki di negeri asalnya, Yunani.
Aristoteles (348-322 SM) menyebut demokrasi sebagai mobocracy atau pemerintahan segerombolan orang. Sedangkan Plato menyebutkan di dalam bukunya The Republic, “Mereka adalah orang-orang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang di dalam sana boleh melakukan apa yang mereka sukai. Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan tidak terbatas. Akibatnya bencana bagi negara dan warganya. Setiap orang ingin mengatur diri sendiri dan berbuat sesuka hati sehingga menimbulkan kekerasan, ketidaktertiban atau kekacauan, tidak bermoral, dan ketidaksopanan. Di masa inilah, citra negara benar-benar rusak akibat penguasa korup.”
Islam, Pilihan Sistem Politik Terbaik
Setelah begitu jelas wajah buruk sistem demokrasi hari ini. Tentu saja, umat takkan mau berlama-lama hidup dalam kekuasaan demokrasi yang dipenuhi dengan berbagai penghianatan terhadap rakyatnya sendiri. Umat butuh alternatif sistem yang mampu melahirkan para politisi yang takut kepada Allah SWT. Sistem politik yang juga telah terbukti selama 14 abad lamanya mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Inilah sistem politik Islam. Bersumber dari Allah SWT, Sang Pencipta manusia. Penerapannya pun berlandaskan ketakwaan hanya pada Allah SWT saja. Jadi, aktivitas politik tertuju pada terlaksananya hukum syariat sebagai satu-satunya aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Saat Islam menjadi landasan dalam berpolitik, maka menjumpai potret para politisi salih yang pantang mengambil uang rakyat tanpa hak atau dengan jalan yang tidak dibenarkan syariat. Sebab standar politik dalam Islam adalah terikat dengan syariat Allah SWT, bukan sesuai keinginan dan hawa nafsu manusia.
Sebuah potret politisi yang luar biasa sepanjang sejarah kekhilafahan Islam yang menjadi bukti sejarah tak terbantahkan adalah Umar bin Abdul Aziz. Meski hanya memimpin dengan singkat, namun Umar bin Abdul Aziz berhasil membuat masyarakat yang hidup di bawah naungan Khilafah Bani Umayyah sejahtera. Dia juga dikenal sebagai seorang pemimpin yang takwa kepada Allah. Dan, taat kepada setiap ajaran agama Islam.
Umar bin Abdul Aziz sangat mencintai rakyatnya, sehingga ia rela menyerahkan gaji dan hartanya kepada rakyat yang membutuhkan. Langkah itu juga diikuti dengan melakukan pembersihan terhadap pejabat yang korup, sehingga harta yang diambil bisa dikembalikan lagi ke Baitul Mal. Umar juga menolak fasilitas mewah yang biasa diterima para khalifah. Ia memilih tinggal di rumahnya sendiri.
Inilah sebagian kecil potret seorang politisi di masa Khilafah. Ketika menjadikan Islam sebagai standar menjalankan aktivitas politik ,meriayah urusan rakyatnya. Tak salah jika dikatakan bahwa Islam merupakan pilihan sistem politik terbaik sebagai jawaban atas buruknya sistem politik demokrasi hari ini. Wallaahua’lam.[]
Comment