Nur Elmiati*: Pacaran, Realita Tak Seindah Ekspektasi

Opini459 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Tak ubahnya coronavirus, pacaran merupakan sebuah aktivitas yang juga mewabah di kalangan milenial dan dijadikan sebagai ajang untuk mencari pasangan.

Ditambah pula, pacaran menjadi jalan untuk saling mengenal dan saling mencari kecocokan antara satu sama lain.

Apabila sudah saling mengenal dan ada kecocokan antara keduanya maka hubungan berlanjut ke arah yang lebih serius dan berlanjut sampai pernikahan. Tetapi jika tidak ada kecocokan di antara keduanya maka kandas ditengah jalan, begitulah sistematika pacaran.

Kaum remaja dan milenial sekarang meyakini bahwa pacaran mempunyai banyak manfaat. Bagi mereka, selain menjadi jalan untuk mencari pasangan hidup, pacaran juga bisa menghadirkan kebahagiaan, dapat meningkatkan semangat dalam beraktivitas, memotivasi belajar, ada teman ngobrol dan curhat, mengisi waktu luang, agar tidak ketinggalan jaman, agar tidak dikatakan jomblo dan banyak hal positif lainnya.

Padahal realita tak seindah ekspektasi, aktivitas pacaran tidak hanya menyuguhkan persoalan kebahagiaan semu semata melainkan menambah problematika baru yang akan dihadapi oleh para pelakunya.

Hal ini terjadi akibat liberalisme yang membuat para milenial bebas melakukan apa saja dengan berdalih “HAM”.

Tidak hanya itu, liberalisme juga semakin masif digalakkan melalui tayangan-tayangan film bioskop seperti  Dilan, Dua Garis Biru dan The Santri yang diminati kalangan millenial.

Disamping liberalisme melalui dunia perfilman seperti ini, potret buram dan masa depan milenial saat ini akan semakin terpampang di depan mata.

Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai macam persoalan yang membelit milenial sekarang seperti kekerasan seksual, kriminalitas, maraknya pergaulan bebas, narkoba, miras, melakukan perzinahan hingga hamil, pembunuhan pada janin yang tidak berdosa (aborsi), hilangnya keperawanan perempuan, dan banyak hal lainnya.

Inilah akibat bercokolnya sekulerisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan, sehingga tidak ada andil agama dalam mengatur kehidupan termasul di dalamnya mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Seolah-olah agama tidak boleh dikorelasikan dengan kehidupan.

Mereka berdalih bahwa urusan kehidupan bukan domainnya agama. Tidak heran apabila banyak kerusakan-kerusakan generasi bangsa akibat tidak menjadikan agama sebagai pengatur kehidupan.

Sungguh sangat memprihatinkan melihat kondisi-kondisi milenial yang semakin cacat dan rusak

Berbagai solusipun dirumuskan oleh pemerintah dan diterapkan di tengah masyarakat. Alhasil dari tahun ke tahun angka kerusakan generasi bangsa makin bertambah. Pasalnya solusi yang dirumuskan hanya solusi parsial dan itupun hanya bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan cabangnya sedangkan problematika pokoknya tidak bisa diselesaikan.

Maka dari itu milenial harus segera sadar dan bangkit dari kondisi ini, bahwasanya pacaran merupakan buah penerapan dari sekulerisme dan liberalisme. Serta eksistensi dari sekularisasi liberasime itu sendiri akan merusak akidah dan citra generasi bangsa. Oleh karena itu kedua pemahaman tersebut harus dibumihanguskan sebab hanya mengundang duka lara bagi generasi bangsa.

Disamping itu juga milenial harus feadback ke islam, sebab islam mampu memberikan solusi tuntas atas semua problematika kehidupan yaitu dengan penerapan islam secara kaaffah.

Dengan menerapkan peraturan-peraturan atau syariat islam secara kaffah di segala lini kehidupan termasuk tata kelols pergaulan lawan jenis antara laki laki dan perempuan.

Mengatur bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berpakaian dan mengatur bagaimana pemenuhan gharizah (naluri) nau-nya laki-laki dan perempuan yaitu ditempuh dengan jalan ta’aruf menuju pernikahan.[]

*Mahasiswi Jurusan Tadris Fisika Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Kampus UIN Mataram

Comment