Perjanjian Suci Manusia dengan Tuhan Sejatinya

Opini72 Views

 

Penulis: Dr H. J. Faisal | Dosen Sekolah Pacasarjana Prodi MMPI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekretaris Majelis Riset dan Digitalisasi PB Al Jam’iyatul Washliyah/ Anggota PJMI

 

RADARINDONESIANEWS.CIM, JAKARTA– Ketika sedang mengampu mata kuliah ‘Aqidah Islamiyah’ di kelas Starata 1 (S1) Prodi Pendidikan Bahasa Arab (PBA) dan Prodi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) Uversitas Djuanda (UNIDA) Bogor beberapa waktu yang lalu, saya mengajukan sebuah pertanyaan kepada para mahasiswa.

Pertanyaan yang saya ajukan adalah, apakah kita pernah ingat, bahwa sesungguhnya sebelum kita lahir dan besar di dunia ini, sesungguhnya kita pernah membuat sebuah perjanjian dengan Allah Ta’alla di alam ruh kita, dan perjanjian tersebut akan ditagih konsekuensinya oleh Allah Ta’aala ketika kita masuk ke alam kubur kita kelak.

Semua mahasiswa terdiam, namun dari raut wajah mereka, pastinya mereka ingin segera mendapatkan jawaban dari saya atas pertanyaan tersebut. Sama seperti rasa penasaran kita semua yang sedang membaca coretan sederhana ini, bukan?

Kemudian, saya beri penjelasan sederhana kepada para mahasiswa. Sebelum manusia dilahirkan ke alam dunia ini, sesungguhnya setiap ruh manusia telah membuat sebuah perjanjian suci dengan Allah Ta’aala sebagai Tuhan sejati manusia, dan bukan sebagai Tuhan buatan, apalagi sebagai Tuhan yang lahir dari hasil imajinasi manusia semata.

Benar, perjanjian suci ini dikenal sebagai Mitsaq atau Perjanjian Alastu, yang merujuk pada perjanjian antara Allah Ta’aala dan manusia sebagai hamba ciptaan-Nya, saat manusia masih berada dalam alam ruh mereka.

Hal ini sesuai dengan apa yang Allah Ta’aala katakan di dalam Al Qur’an, yang juga sesuai dengan apa yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam sabdakan dalam sebuah hadits yang artinya sebagai berikut:

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Surah Al-A’raf 7:172).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mengambil perjanjian dari anak keturunan Adam di Na’man (yaitu) di ‘Arafah. Allah mengambil perjanjian dari mereka dan mengeluarkan mereka dari tulang sulbi mereka sebagai ruh, kemudian berbicara kepada mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Benar, kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami.’ Maka, janganlah kamu mengatakan pada hari kiamat: ‘Sesungguhnya kami tidak mengetahui hal ini.” (HR. Ahmad dan Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).

Ini berarti bahwa setiap manusia dalam takdir azalli nya sesungguhnya ditakdirkan untuk terlahir sebagai seorang muslim. Pernyataan ini dapat merujuk kepada konsep fitrah dalam Islam, yang merupakan keadaan asal-muasal manusia ketika dilahirkan.

Menurut ajaran Islam, sesungguhnya setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini berada dalam keadaan fitrah, yaitu dengan potensi dan kecenderungan untuk mengenal dan menyembah Allah Ta’aala.

Berikut ini adalah ayat dan hadits yang mendasari hal tersebut, yang artinya:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); sesuai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Surah Ar-Rum 30:30).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Fitrah manusia itu sendiri adalah bersifat hanif, yang berarti selalu cenderung kepada kebenaran yang lurus, yaitu kecenderungan alami untuk kembali kepada jalan yang benar dan mengenal Tuhan sejatinya.

Artinya, Allah Ta’aala telah menciptakan manusia ke dunia ini disertai dengan naluri bawaan untuk mengenal, menyembah, dan mematuhi segala perintah-Nya.

Namun, perjalanan hidup manusia, pengaruh lingkungan, dan pilihan pribadi dapat mempengaruhi apakah seseorang akan tetap pada fitrahnya atau menyimpang darinya, karena dalam setiap diri dan hati manusia ada dorongan bawaan untuk mencari makna dan tujuan yang lebih tinggi, termasuk mencari Tuhan.

Dalam pencarian ini, ada kemungkinan bagi sebagian orang untuk mengalami kesalahan dalam interpretasi atau pemahaman mereka terhadap esensi dan eksistensi Allah Ta’aala sebagai Tuhan yang sesungguhnya.

Dengan demikian, jika ada manusia yang tidak mau mengenal, menyembah, dan mematuhi segala perintah-Nya, maka sesungguhnya manusia tersebut telah mengingkari fitrahnya sebagai seorang manusia.

Faktor-faktor seperti latar belakang didikan orang tua, budaya, pendidikan, pengalaman pribadi, dan pengaruh lingkungan semuanya dapat mempengaruhi bagaimana seseorang menginterpretasikan pencarian spiritual mereka. Oleh karena itu, penting untuk memiliki panduan dan bimbingan yang tepat agar tidak tersesat dalam perjalanan spiritual tersebut.

Mengapa Manusia Tidak Diberikan Ingatan Tentang Perjanjian di Alam Ruhnya dengan Allah Ta’aala?

Sama seperti sub judul di atas, maka pertanyaan yang akan muncul kemudian adalah, mengapa selama menjalani kehidupan di dunia ini, manusia tidak pernah diberi ingatan tentang perjanjian suci Alastu dengan Allah Ta’aala, ketika masih berada di alam ruh tersebut?

Pertanyaan ini sesungguhnya akan merujuk kepada hikmah dan kebijaksanaan Allah Ta’aala dalam menciptakan manusia dan menjalankan takdir mereka.

Ada beberapa penjelasan yang bisa diberikan berdasarkan esensi ajaran Islam, mengenai mengapa manusia tidak diberikan ingatan tentang perjanjian mereka dengan Allah Ta’aala di alam ruhnya tersebut, yaitu antara lain:

1. Sebagai bahan ujian kehidupan. Sesungguhnya kehidupan dunia ini adalah ujian untuk mengetahui siapa di antara manusia yang benar-benar beriman dan taat kepada Allah Ta’aala tanpa mengandalkan ingatan masa lalu di alam ruh. Allah Ta’alla menguji manusia untuk melihat siapa yang mencari dan mengikuti kebenaran dengan Ikhlas (mukhlis).

Hal ini sesuai dengan apa yang telah Allah Ta’aala firmankan dalam Surah Al-Mulk (67:2), yang artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”

2. Sebagai cara untuk menggunakan Akal berdasarkan petunjuk Wahyu. Allah Ta’aal memberi manusia kemampuan akal dan menurunkan wahyu sebagai petunjuk. Tanpa ingatan tentang perjanjian di alam ruh tersebut, manusia diajak untuk menggunakan akalnya dan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Allah Ta’aala dan para rasul-Nya.

Dalam Surah An-Nahl (16:78), Allah Ta’aala telah berfirman, yang artinya “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.”

3. Tanpa ingatan masa lalu tersebut, manusia diberi kebebasan untuk memilih jalannya sendiri, berdasarkan nafsu atau kebebasan memilih yang telah Allah Ta’aala berikan kepadanya. Ini memberi makna yang lebih besar terhadap pilihan yang dibuat oleh manusia dalam upaya mencari dan menjalankan kebenaran.

Seperti apa yang telah Allah Ta’aala firmankan dalam Surah Al-Kahfi (18:29), yang artinya: “Dan katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.”

Dengan demikian, tidak adanya ingatan tentang perjanjian di alam ruh ini sesungguhnya adalah bagian dari rencana Allah Ta’aala untuk memberikan manusia ujian, kebebasan memilih, dan kesempatan untuk menggunakan akal dan wahyu dalam menjalani kehidupannya.

Namun, Allah Ta’aala juga memberi manusia kebebasan untuk menolak semua wahyu dan petunjuk yang telah Allah Ta’alla sediakan tersebut, khususnya bagi manusia yang mempunyai sifat fasik, yaitu manusia yang melakukan dosa atau pelanggaran terhadap perintah Allah Ta’aala secara terbuka dan terus-menerus tanpa rasa penyesalan.

Dalam Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah (2:26), Allah Ta’aala berfirman, yang artinya: “Dan tidaklah Allah menyesatkan kecuali orang-orang yang fasik, yaitu orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah perjanjian itu diteguhkan.”

Akhirul kalam, yang menjadi pertanyaan pamungkasnya kemudian adalah sebagai berikut, setelah kita mengetahui dan memahami tentang perjanjian suci kita yang paling pertama dengan tuhan sejati manusia, Allah Ta’aala, masihkah kita akan mengingkarinya? Wallahu’allam bisshowab.[]

Comment