Potret Demokrasi Liberal, Hukum dan Kekuasaan di Indonesia

Opini66 Views

 

Penulis; Summi Nafziah Wahid | Mahasiswi Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Indonesia di tahun 2024 kembali memasuki fase kepemimpinan baru, yakni pemilihan Presiden dan wakil Presiden. Namun pemilu kali ini justru mendatangkan kritikan yang tajam dari berbagai pihak. Bukan tanpa alasan pemilihan presiden dan wakil presiden kali ini dianggap memanipulasi hukum dan nepotisme.

Kritikan tajam dari berbagai pihak itu menyoroti adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang merevisi syarat presiden-wakil presiden yang awalnya berusia minimal 40 tahun menjadi berusia paling rendah 40 tahun, atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’. Hasil revisi dari MK ini dianggap mendorong terjadinya nepotisme di negara ini.

Aidul Fitri Ciada Azhari, guru besar Fakultas Hukum UMS mengatakan, hal ini diperburuk lagi dengan praktik politik dari penyelenggara negara yang tidak netral dalam kontestasi pemilihan umum yang berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan secara massif.

Hal ini tentu kembali mengingatkan bagaimana kilas sejarah tahun 1998, di mana banyak kampus dan elit politik melakukan aksi besar-besaran menyuarakan dihentikannya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang berujung diturunkannya Presiden Soeharto dari kedukannya.

Mengapa Nepotisme baik dulu maupun saat ini menjadi permasalahan? M. Hilal Tri Anwari seperti ditulis Sabili, (24/01/2024) mengatakan, nepotisme merupakan praktik yang merujuk pada pengutamaan atau pemberian perlakuan istimewa kepada anggota keluarga, teman dekat, atau orang-orang terkait, dalam pengambilan keputusan, terutama dalam lingkungan politik atau pekerjaan.

Manipulasi hukum di negeri ini bukanlah pertama kali. Peristiwa ini akan terus berulang sebab permasalahan utama tidak hanya terletak pada pemimpinnya tetapi juga terhadap sistem. Sistem saat ini hanya memudahkan para penguasa untuk meraup materi sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan mudharat-maslahat dalam prosesnya.

Terkait putusan MK mengenai batas usia Capres serta Cawapres yang mendapat banyak kritikan saat ini dinilai melakukan harmonisasi UU yang ada. Putusan MK ini semakin meresahkan masyarakat sebab ketua MK sendiri merupakan adik Jokowi.

BEM Universitas Muhammadiyah Malang sebagaimana diungkap bemu.umm (25/10/2023) mengatakan,  hal ini merupakan kepentingan anak presiden aktif dengan pamannya melalui instusi MK pamannya. Perspektif teori konspirasi membenarkan dugaan ini. Semestinya palu hukum tetap tegak di depan politik, namun justru patah karena kepentingan politik.

Putusan ini dianggap menghidupkan kembali praktik nepotisme. Bila putusan ini dibiarkan, dikhawatirkan akan lahir pemimpin yang akan merugikan bangsa. (bemu.umm, 25/10/2023).

Dalam hal ini sangat wajar jika warga Indonesia merasa ada kejanggalan dan ketidakadilan dalam putusan MK.

Menganggap adil sebuah keputusan tanpa landasan konstitusional atau  memanipulasi hukum demi kepentingan pribadi, keluarga dan atau golongan.

Hari ini, orang-orang berlomba mencari jabatan, bahkan tidak sedikit yang saling sikut agar bisa menduduki jabatan tersebut. Tidak sedikit pula yang menempuh segala cara untuk bisa menjadi pemimpin.

Hal ini tentu jauh berbeda dengan kepemimpinan dalam Islam. Jika dalam sistem hari kita temui banyak orang yang ingin menjadi pemimpin, maka dalam sistem Islam orang-orang justru menjauhkan diri dari jabatan kepemimpinan.

Tentu saja ini disebabkan karena Islam menaruh perhatian besar terkait jabatan kepemimpinan dengan menetapkan banyak syarat sebab pemimpin kelak akan dimintai pertangggung-jawaban berat.

Revisi putusan Capres serta Cawapres oleh MK ini menjadi tanda ketidak-jelasan syarat pemimpin dari awal ditetapkannya satu putusan tersebut. Hal ini akan langgeng dalam demokrasi liberal – sistem yang hanya melahirkan para penguasa tidak amanah, pecinta dunia lagi tidak kapabel mengurusi ummat.

Sistem ini pun hanya mampu menciptakan slogan yang indah tanpa penerapan. Slogan yang mengantarkan sebuah pemahaman bahwa masyarakatlah yang paling berdaulat namun pada faktanya tidak pernah ditemui konsep kedaaulatan itu dalam tataran praktis.

Konsep ini lahir dari pemikiran manusia yang lemah lagi terbatas. Semakin parah bahwa istem ini berasaskan sekularisme –  cara pandang yang memisahkan agama dari kehidupan yang  kebijakannya dibuat berdasar nafsu individu semata.

Sangat tampak perbedaan antara sistem demokrasi liberal yang digunakan saat ini dengan Islam. Demokrasi liberal menempatkan manusia pada kedaulatan tertinggi sementara Islam menempatkan kedaulatan tertinggi di tangan Allah, yang mengarahkan mereka pada keterikatan aturan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sistem ini, akan melahirkan para penguasa yang amanah dan kapabel mengurusi ummat.

Motivasi tertingginya adalah mendapat Ridho Allah. Mereka berbuat menjalankaan amanah demi mengejar pahala bukan materi semata. Sederhana saja, namun tidak semua penguasa mampu melakukan hal itu sebab permasalah utama bukan pada individu melainkan pada sistem. Kesalahan individu merusak pribadinya sedangkan kesalahan sistem merusak orang secara massal.

Sekali lagi, mudahnya perubahan hukum serta fakta dari MK yang kita dapati baru-baru ini sejatinya hanya berbicara tentang kepentingan pribadi yang berusaha didapatkan lewat jalur kekuasaan. Kekuasaan yang digunakan untuk kepentingan pribadi.

Apa yang diharapakan dari sistem yang hanya melahirkan para penguasa pengejar materi seperti itu? Sadarlah, bahwa sistem hari ini – demokrasi liberal adalah rahim yang melahirkan penguasa yang condong tidak berbuat adil serta kebijakan yang tidak pro rakyat.[]

Comment