Puput Hariyani, S.Si*: Bullying, Ironi Pendidikan Generasi

Opini445 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Catatan kelam fenomena bullying kembali terulang. Banyak pihak menaruh keprihatinan terhadap ancaman generasi ini. Bagaikan fenomena gunung es. Yang tampak dipermukaan sebagaimana dilaporkan tak seberapa besar dibandingkan dengan kenyataan. Trennya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra mengatakan sepanjang tahun 2011 hingga 2019, KPAI mencatat 37.381 pegaduan mengenai anak. Terkait dengan kasus perundungan, baik di media sosial maupun di dunia pendidikan, laporannya mencapai 2.473 laporan (Republika.Co.Id).

Dalam kurun waktu Januari hingga Februari 2020 saja, hampir setiap hari publik disuguhi berita bulyying yang menyayat hati. Mulai dari siswa yang jarinya harus diamputasi, kemudian siswa yang meninggal di gorong-gorong hingga siswa yang ditendang lalu meninggal (Inilahkoran.Com).

Sungguh kenyataan yang ironi di tengah upaya revolusi mental yang dicanangkan pemerintah, namun kasus bullying generasi tak kunjung usia. Maraknya fenomena ini menunjukkan gangguan pertumbuhan dan konsentrasi anak berada pada tahap mengkhawatirkan. Sehingga harus diantisipasi sejak dini.

Pada kenyataannya anak dengan kondisi fisik dan daya belajar baik belum menjadi jaminan kesiapan mereka menghadapi realitas kehidupan, baik itu menyelesaikan masalah pribadinya maupun interaksi dengan lingkungan. Pandai secara akademik namun lemah secara mental sehingga bereaksi agresif seperti bullying.

Banyak hal yang menjadi pemicu, minimnya pendidikan dalam keluarga, lemahnya kontrol social, media bebas tanpa saringan seperti tontonan kekerasan, dampak negative dawai, penghakiman media social.

Secara sistemik sistem pendidikan tentunya juga turut bertanggungjawab dalam menyiapkan SDM yang berkepribadian mulia.

Apakah sistem pendidikan selama ini sudah diarahkan untuk membentuk generasi yang memiliki keterpaduan dan kesiapan pola pikir dan juga pola sikapnya yang seiring sejalan? Sehingga harus mengevaluasi output pendidikan yang jauh dari nilai-nilai moral.

Sebagai bangsa yang terus berbenah untuk menjadi lebih baik, kita harus terbuka untuk menerima kritik dan masukan.

Bahwasanya kasus bullying ini sebagai problem massif bangsa yang semestinya menyadarkan kegagalan pembangunan SDM dengan landasan sekulerisme. Mengapa?
Model sekulerisme itu pemisahan bukan penyatuan. Memisahkan antara urusan keyakinan dengan urusan kehidupan, yang seharusnya itu saling berkaitan.

Maka tidak aneh sebagaimana yang sudah diungkapkan sebelumnya, berprestasi secara akademik namun miskin secara moral bahkan kesulitan mengatasi problem dirinya dan lingkungannya.

Jauh berbeda jika landasan yang digunakan adalah landasan akidah Islam. Secara personal bangunan keimanan diperkuat.

Dengan motivasi bahwa kelak semua amal perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Maka hal ini akan menjadi sejenis “alarm” atau “rem” ketika seseorang hendak berprilaku sesuka hatinya.

Begitupun secara sistematis, Islam memiliki gambaran yang jelas bagaimana menyelesaikan masalah akut generasi bullying ini. Dengan membangun kepribadian utuh generasi melalui lapisan-lapisan sistem.

Ada sistem pendidikan dengan seperangkat metode dan kurikulumnya, pendidikan keluarga yang mengokokohkan bangunan keimanannya, juga penataan media yang ditujukan untuk melengkapi dan mendukung keberhasilan tujuan pendidikan generasi.
Dengannya akan terlahir generasi rabbani yang jauh dari ancaman bullying.

Generasi yang memiliki kesatuan pemikiran dan perbuatan. Cakap dalam ilmu dunia juga tunduk pada aturan agama, sehingga akan mampu membawa negara pada peradaban yang agung nan mulia. Wallahu‘alam bi ash-showab.

*Pendidik

Comment