Penulis: Dr. Imam Shamsi Ali, Lc, M.A | Directory Jamaica Muslim Center & Chaplain di NYCHHC/Bellevue
RADARINDONESIANEWS..COM, JAKARTA — Saya masih ingat beberapa tahun yang lalu, Amerika Serikat mengalami gejolak. Protes, kekerasan, dan penjarahan meletus di lebih dari 30 kota di 50 negara bagian. Kerusuhan ini bahkan mencapai Gedung Putih, memaksa Presiden saat itu dan keluarganya berlindung di bunker.
Sebagian dari kita mungkin masih ingat, pemicu protes tersebut adalah kematian George Floyd, seorang pria Afrika-Amerika, di tangan petugas kepolisian Minneapolis. Kematian Floyd, bersama banyak kasus serupa sebelumnya, telah mengungkap isu rasisme, ketidakadilan, dan diskriminasi terhadap minoritas yang telah lama membara di Amerika.
Sejarah rasisme di Amerika Serikat sebenarnya panjang dan menyakitkan. Mungkin tidak berlebihan jika menyebut perilaku rasis sebagian orang Amerika sebagai “dosa asal” negara ini. Penduduk asli Amerika, yaitu suku Indian, adalah kelompok pertama yang menghadapi marginalisasi dan penghancuran sistematis oleh para imigran Eropa.
Ketika para imigran Eropa mulai menetap di Amerika, penduduk asli diperlakukan dengan buruk dan tidak adil. Mereka dipaksa hidup di daerah-daerah terpencil yang kurang berkembang dan secara bertahap dimarjinalkan hingga hampir terhapus dari sejarah.
Sejarah kelam ini mengingatkan kita pada peribahasa Indonesia, “susu dibalas air tuba.” Kebaikan dan penerimaan penduduk asli terhadap imigran Eropa dibalas dengan perlakuan kejam dan rasis dari para pendatang tersebut.
Perlakuan buruk terhadap non-kulit putih di Amerika berlanjut dengan perbudakan orang-orang Afrika yang dibawa ke negara ini. Banyak dari mereka yang merupakan Muslim, dan fakta ini semakin nyata seiring dengan banyaknya warga Afrika-Amerika yang kembali memeluk Islam.
Sejarah rasisme di Amerika tidak dapat disangkal. Gerakan hak-hak sipil pada tahun 1960-an, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Martin Luther King Jr. dan Malcolm X, merupakan reaksi terhadap rasisme sistemik yang dialami oleh orang-orang Afrika-Amerika.
Rasisme juga menargetkan komunitas Asia-Amerika, khususnya warga Jepang-Amerika yang dipenjara di kamp-kamp konsentrasi selama Perang Dunia II. Demikian pula, komunitas Hispanik dan Amerika Latin sering menghadapi diskriminasi dan perlakuan rasis.
Dalam beberapa tahun terakhir, Islamofobia semakin marak. Serangan 9/11 menjadi titik balik meningkatnya sentimen anti-Muslim. Kebijakan pemerintahan saat ini justru memperparah masalah ini.
Sebagai seorang Muslim, saya yakin bahwa larangan imigrasi Muslim yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump pada masa jabatan pertamanya adalah bentuk diskriminasi dan rasisme. Kebijakan itu bertentangan dengan nilai-nilai Amerika dan konstitusi negara ini.
Kenyataan bahwa rasisme masih menjadi masalah di Amerika harus diatasi secara kolektif. Rasisme bukanlah penyakit yang hanya dimiliki oleh kelompok ras atau etnis tertentu. Ini adalah penyakit mental yang berakar dari perasaan superioritas berdasarkan warna kulit, ras, atau etnis.
Kejadian seperti kematian George Floyd dan banyak lainnya harus menjadi peringatan bagi Amerika untuk mengoreksi arah kebijakan dan nilai-nilainya. Rasisme adalah musuh bersama yang harus diperangi bersama.
Mulai dari pemuka agama dan komunitas, pendidik dan institusi, seniman dan industri Hollywood, hingga para pemimpin bisnis dan pelaku pasar—semua memiliki tanggung jawab untuk melawan rasisme.
Namun, tanggung jawab terbesar ada pada mereka yang berkuasa, terutama pemerintah. Mereka memiliki kewenangan moral dan konstitusional untuk menerapkan perubahan sistemik guna memerangi rasisme.
Sayangnya, masalah muncul ketika mereka yang berkuasa justru menunjukkan kecenderungan rasis. Ketika komunitas minoritas bangkit melawan ketidakadilan, mereka sering kali dihadapi dengan permusuhan dan dicap sebagai perusuh atau teroris.
Sebaliknya, ketika kelompok supremasi kulit putih menyerang komunitas minoritas, termasuk Muslim, Hispanik, dan Afrika-Amerika, respons yang diberikan sering kali lemah, bahkan ada yang mendapat dukungan dari mereka yang berkuasa.
Saya tidak membenarkan penjarahan atau tindakan anarki dalam bentuk apa pun. Namun, saya memahami bahwa kemarahan dan frustrasi sering kali merupakan respons terhadap suara yang tidak didengar dalam menentang rasisme dan ketidakadilan.
Selama rasisme dan ketidakadilan masih ada, perlawanan akan terus terjadi. Di mana tidak ada keadilan, tidak akan ada perdamaian. Ketika keadilan tidak ditegakkan, perlawanan akan semakin berkembang, yang pada akhirnya menciptakan rasa tidak aman dalam masyarakat.
Di saat-saat seperti ini, kepemimpinan yang bijak sangat dibutuhkan. Kepemimpinan ini bukan tentang menunjukkan kekuasaan dengan kesombongan, melainkan tentang benar-benar mendengarkan dan menangani keluhan komunitas yang terpinggirkan.
Saya berharap Amerika akan segera sadar akan realitas rasisme dan mengambil tindakan kolektif untuk mengatasinya.
New York City, 1 Februari 2025
Comment