Penulis: Ns. Sarah Ainun, M.Si | Pegiat Literasi
RADARONDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Allah berfirman, “Orang-orang mukmin itu bersaudara.” (QS. Al-Hujarat: 10). Ayat ini menekankan kewajiban akan menjaga ikatan persaudaraan di antara kaum muslimin dan menyelesaikan perselisihan yang mungkin terjadi di antara mereka. Persaudaraan dalam Islam bukan sekedar hubungan formal dan hubungan kemanusiaan. Lantas, apakah hakikat persaudaraan yang sejati sebagaimana dimaksud dalam ajaran Islam?
Dalam salah satu karyanya, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani — seorang ulama dan pemikir Islam terkemuka — menjelaskan bahwa terdapat berbagai jenis ikatan persaudaraan yang terbentuk di tengah kehidupan manusia. Namun, beliau menegaskan bahwa tidak semua ikatan tersebut memiliki kedudukan yang sama dalam pandangan Islam.
Bentuk-bentuk ikatan tersebut seperti; ikatan darah (nasab), ikatan kesukuan atau kedaerahan, ikatan berbasis manfaat, ikatan spiritual atau kejam’ahan, hingga ikatan nasionalisme. Kendati demikian, dalam perspektif Islam, seluruh bentuk ikatan tersebut dinilai memiliki kedudukan yang rendah apabila dibandingkan dengan ikatan yang dibangun atas dasar akidah dan keimanan. Sebagaimana di era ini, kita menyaksikan beragam bentuk ikatan tersebut yang menjadi dasar interaksi sosial.
Segala bentuk ikatan persaudaraan yang dibangun di atas dasar selain akidah Islam, pada hakikatnya mengandung potensi besar melahirkan sekat-sekat di tengah umat. Meskipun pada satu sisi ikatan-ikatan tersebut mungkin tampak mempererat hubungan dalam lingkup yang terbatas, hakikatnya ia bertentangan dengan ruh Islam—karena berasal dari dorongan naluri atau kepentingan duniawi manusia.
Justru di sisi lain, ikatan-ikatan buatan ini menciptakan batas-batas sempit yang memisahkan sesama Muslim. Realitasnya, umat Islam hari ini dihadapkan pada perpecahan, perselisihan, bahkan permusuhan yang nyata dan mengakar, semata-mata karena perbedaan suku, kelompok, kepentingan politik, atau identitas kebangsaan.
Ketika persaudaraan dibangun di atas dasar kesamaan suku, wilayah geografis, kepentingan ekonomi, atau nasionalisme, identitas keimanan — yang seharusnya menjadi landasan utama — justru terpinggirkan. Hal ini bukan hanya bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, tetapi juga menjadi faktor utama yang melemahkan solidaritas pecahnya barisan, serta rapuhnya kekuatan umat Islam di berbagai belahan dunia. Umat yang seharusnya bersatu dalam satu ikatan keimanan, kini tercerai-berai oleh batas-batas buatan yang sempit dan rapuh.
Tidaklah mengherankan jika nasib umat Islam saat ini tercabik-cabik dan terpecah belah. Semua ini adalah akibat dari ikatan persaudaraan yang dibangun atas dasar kebangsaan dan nasionalisme, warisan penjajah yang secara sistematis ditanamkan dan dipaksakan kepada negeri-negeri muslim di seluruh dunia.
Setelah wilayah-wilayah umat Islam dibagi-bagi menjadi sekat-sekat buatan oleh negara-negara Barat pasca perang dunia pertama, pun ditanamkan ikatan persaudaraan yang seharusnya kokoh dan universal malah dipersempit oleh identitas sempit berbasis nasionalisme karena dibatasi.
Akibatnya, umat Islam kini berada dalam kondisi yang memprihatinkan, ibarat anak ayam yang terpisah dari induknya, kehilangan arah, dan terombang-ambing tanpa kekuatan kolektif yang mampu menyatukan mereka.
Inilah ironi terbesar, sebuah umat yang seharusnya bersatu dalam ikatan keimanan, kini terpecah belah oleh batas-batas yang dibuat oleh tangan-tangan penjajah.
Penjajahan kini bukan hanya hadir dalam bentuk senjata dan tank-tank baja. Ia menjelma lebih halus, namun tidak kalah mematikan. Ia menyusup dalam pemikiran, menjerat dalam lingkaran ekonomi, dan mengekang dalam belenggu politik, melalui sistem sekuler kapitalisme yang membungkusnya dalam janji-janji kosong kemajuan.
Umat Islam, baik yang menyadari maupun yang terlena, hidup dalam kesengsaraan: kemiskinan yang melumpuhkan, kemaksiatan yang menghancurkan moralitas, keterhinaan yang menundukkan martabat, dan perpecahan yang mengoyak persatuan. Yang lebih getir, penjajahan ini menggeser umat dari poros agamanya, menjauhkan mereka dari sumber kekuatan kita yang sejati, dan aturan serta nilai-nilai yang seharusnya menjadi kompas kehidupan.
Sementara itu, di sudut-sudut bumi yang masih dijajah secara fisik, sebagian umat Islam terdampar di medan perang yang tak kunjung reda. Mereka hidup dalam lorong-lorong penderitaan: kelaparan yang menggigit, darah yang membasahi tanah, rumah-rumah yang menjadi puing, dan tanah-tanah suci yang dirampas dari tangan mereka.
Mereka berjuang sendirian, teriakan mereka meminta pertolongan menggema di langit yang seolah bisu. Namun, tangan-tangan saudara mereka yang seharusnya terulur malah terhalang oleh tembok-tembok nasionalisme sempit, benteng-benteng buatan yang mengekang rasa persaudaraan yang universal dalam tubuh umat Islam.
Dalam konteks Palestina hari ini, tragedi ini menemukan gambaran nyatanya. Palestina menjadi saksi bisu atas kelumpuhan umat yang terbelenggu sekat-sekat buatan, ketika tanah suci dan kehormatan diinjak-injak, sementara dunia Islam, yang semestinya bersatu, terpecah dan tak berdaya di hadapan penjajahan yang terus mengukuhkan cengkeramannya.
Apakah kita akan terus membiarkan sekat-sekat nasionalisme sempit menghalangi kita memenuhi seruan persatuan Islam? Ataukah kita, sebagai satu tubuh umat, akan kembali menyatukan ikatan persaudaraan, menyatukan bendera yang bernafas dari ruh La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah, untuk menghimpun kekuatan yang membebaskan Palestina dan seluruh tanah umat dari belenggu penjajahan?
Sebagaimana, Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, mengajarkan prisip persaudaraan diantara seluruh kaum muslimin, tanpa memandang ras, suku, atau negara asal, adalah satu tubuh. Melainkan berdiri di atas fondasi yang jauh lebih mulia: ikatan akidah, iman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi adalah seperti satu tubuh; apabila salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakit dengan demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menggambarkan betapa eratnya ikatan antara sesama mukmin. Menjelaskan makna pondasi utama dari ikatan ini adalah akidah Islam—iman yang sama kepada Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya, dan syariat-Nya. Dengan akidah yang satu, perbedaan warna kulit, bahasa, bangsa, ataupun latar belakang budaya menjadi tidak berarti. Yang mengikat bukanlah tanah kelahiran, tetapi kesatuan keimanan.
Karena itu, memperjuangkan nasib saudara-saudara Muslim yang terdzalimi—seperti di Palestina, Suriah, Myanmar, Uighur, dan berbagai penjuru dunia lainnya—merupakan manifestasi nyata dari ajaran Islam, sekaligus konsekuwensi iman yang wajib dipikul di atas pundak setiap Muslim.
Menyatukan kekuatan, meruntuhkan sekat-sekat nasionalisme, dan mengokohkan kembali ukhuwah di atas dasar akidah adalah jalan utama untuk menghidupkan kembali tubuh umat yang kini tengah sakit parah.
Maka selama umat ini masih terbelenggu dalam ikatan nasionalisme—warisan penjajah yang membelah-belah tubuh kaum Muslimin—persatuan sejati takkan pernah terwujud, dan jihad sebagai solusi paripurna untuk mengusir penjajah akan terus tertunda, bahkan dilupakan.
Sudah saatnya sekularisme yang bernafas dari semangat nasionalisme sempit dikembalikan kepada jati diri Islam yang agung: persaudaraan yang berpijak pada akidah dan syariat. Sebab penjajahan, dalam segala bentuk dan wajahnya, hanya dapat dihentikan melalui persatuan umat di bawah satu kepemimpinan global—khilafah sebagai perisai umat.
Begitupun kepada seluruh kaum Muslimin di penjuru dunia, kewajiban kini terpikul: untuk menyeru dengan satu suara, menggugah para pemimpin yang bungkam agar menunaikan amanah syari’at—menolong Palestina, menggerakkan jihad, dan menegakkan khilafah.
Hanya dengan itulah, persoalan umat, termasuk tragedi berdarah di Palestina, dapat menemukan jalan keluar yang hakiki, dan kehidupan Islam dapat ditegakkan kembali dengan penuh kemuliaan dan keberkahan.
“Sesungguhnya imam adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim). Wallahu a’lam bish-shawab.[]
Comment