Warsito Tak Mau Teknologinya Jadi Made In Singapura

Berita606 Views
Warsito Purwo Taruno, penemu ECVT. Alat pemindai otak berbentuk helm ini dianggap lebih baik dari CT Scan biasa. (Agus Tri Haryanto)
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Penemu Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT)
untuk terapi kanker, Warsito Purwo Taruno diketahui telah meneken
kontrak dengan Singapura. Tapi Warsito menegaskan teken kontrak tersebut
dipastikan tidak termasuk dalam penjualan lisensi temuannya.

“Dengan
Singapura saya hanya menandatangani MoU untuk teknologi aplikasi
industri. Untuk medis sifatnya kerja sama untuk registrasi di luar
negeri,” ujar pria asal Karanganyar, Jawa Tengah itu, Minggu, 28 Februari 2016.

Dia memaparkan kerja sama kontrak dengan Singapura adalah untuk mendapatkan second opinion atas
kategori alat kesehatan yang dia ciptakan. Sebab menurutnya, alat
antikankernya seharusnya sudah bisa dikategorikan alat kesehatan yang
kelas yang lebih tinggi.


Diketahui alat antikanker ciptaan Warsito di dalam negeri,
dikategorikan sebagai alat kesehatan kelas tiga. Sesuai ketentuan yang
berlaku, alat kesehatan kategori tiga diharuskan melalui uji klinis yang
panjang.

Sementara, di Singapura, alat kesehatan sejenis yang
diciptakan Warsito masuk dalam alat kesehatan kategori kelas satu atau
dua.

“Tetapi kalau melihat spek alat yg kita punya hanya dengan
tenaga baterai. Dan tak ada yang dimasukkan ke dalam tubuh, seharusnya
maksimal spek (kelas) 2. Ceragem saja yang prinsipnya mirip dan pakai
listrik langsung masuk spek 2A tanpa harus uji klinis,” ujar dia.

Maka dari itu, ujar dia, ia memutuskan melakukan second opinion di negara lain termasuk di Singapura.

Diamengatakan
Singapura sudah mengincarnya sejak enam bulan lalu. Ia mengaku baru
berpikir menerima tawaran Singapura sebab kondisi risetnya di dalam
negeri tidak pasti sampai saat ini. Warsito meyakini dia masih ‘merah
putih’ saat meneken kontrak kerja sama dengan Singapura. Sebab dia tak
mau teknologinya itu dilabeli dengan made in Singapura.

“Registrasi
dan edar akan lebih mudah di Singapura kalau diproduksi dan diberi
label sana. Tapi ini yang kita masih belum setuju,” kata dia.

Warsito mengatakan nantinya second opinion yang didapat dari Singapura tidak akan dijadikan ‘senjata’ untuk menekan pemerintah Indonesia. Proses second opinion itu, ujar dia, hanya dijadikan sebagai ‘tiket masuk’ untuk operasi dalam sebuah negara.

“Singapura
jauh lebih ketat, tapi akan bentindak sesuai dengan spek dan aturan
yang ada, jadi lebih pasti. Beberapa negara lain juga. Kita akan coba
negara yang kita bisa masuk. Itu proses untuk ‘survive’, bukan ‘senjata’” kata dia.

Sebelumnya,
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad nasir
menceritakan Warsito curhat Singapura ingin penetapan label adalah
buatan Singapura, kendati produksi dilakukan di negara mereka.

Namun, menurut Nasir, label harus tetap buatan Indonesia, karena di Indonesia ada pengakuan teknologi ECCT dan Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) temuan Warsito dan hak cipta ada di tangannya.


“Nanti keuntungannya, sebagian Indonesia, sebagian Singapura,” katanya.

Awal
bulan ini, Warsito telah menerima undangan pelatihan mengenai alat yang
ia temukan ke Warsawa, Polandia. Selanjutnya, ilmu teknologi antikanker
Warsito sudah ditunggu-tunggu di Kanada, Amerika Serikat, Australia,
Singapura, Malaysia, Sri Lanka, Rusia, Dubai, Arab Saudi sampai India.[vv]

Comment