Aksi Kamisan: Kritik dan Perlawanan Tanpa Jawaban

Opini118 Views

 

Penulis: Nurul Fahira | Mahasiswi

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Problematika negeri ini membombardir fisik ataupun mental masyarakat. Hal ini bisa kita lihat dari berbagai bentuk aksi demonstrasi yang dilakukan dari berbagai kalangan.

Sejumlah mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam Aksi Kamisan Purwakarta seperti ditulis kompasiana.com (25/3/25) menggelar unjuk rasa di Taman Pembaharuan, menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang dinilai berpotensi mengancam demokrasi dan supremasi sipil.

Para demonstran, dalam hal ini adalah mahasiswa, menuntut adanya pencabutan dari RUU TNI. Seperti yang sudah kita saksikan sebelumnya, bahwa sebelum disahkan saja RUU ini sudah banyak masyarakat yang menolak. Namun kebalikannya, DPR menggelar rapat di hotel tertutup untuk membahas mengenai RUU TNI tersebut, RUU TNI ini pun disyahkan oleh ketua DPR.

Padahal katanya, negara ini adalah negara demokrasi. Kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Tapi nyatanya, suara rakyat yang berhamburan di jalanan untuk menyampaikan aspirasi dan hak nya untuk didengar, ternyata diabaikan begitu saja oleh pemerintah. Suara rakyat tidak termasuk ke dalam pertimbangan mereka dalam upaya mengesahkan suatu undang-undang.

Berbicara mengenai aksi kamisan, aksi ini sudah dilaksanakan selama beberapa tahun. Tujuannya adalah untuk memberi masukan kepada pemerintah terkait ketidakadilan yang terjadi.

Para pejuang aksi menginginkan keadilan. Tapi apa yang terjadi, selama aksi kamisan ini tampaknya tidak menggoyahkan berbagai pihak pejabat pemerintah untuk turun tangan dan mendengarkan aspirasi dari para pejuang aksi. Ternyata sama, baik menuntut hal-hal yang baru saja terjadi, yakni pengesahan RUU TNI, ataupun menuntut keadilan yang sudah dilakukan selama beberapa tahun belakang, sama-sama tidak digubris.

Miris, tapi nyata. Seolah sistem hari ini bertolak belakang dengan realita yang diharakan oleh masyarakat. Pemerintah hanya sibuk mengesahkan UU “titipan” dari mereka yang berprofesi sebagai penguasa di belakangnya.

Pertanyaannya, apakah hal ini akan terus berulang dan berulang? Apakah suara masyarakat hanya sebatas angka dalam pemilu saja? Apakah pemerintah yang seharusnya berkewajiban mensejahterakan rakyatnya hanyalah ilusi belaka?

Kalau kita masih betah dalam sistem kapitalisme-sekuler demokrasi, tentu hal ini akan terus berulang. Sebab ruang dalam demokrasi tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengkritik penguasa.

Pada dasarnya, rakyat adalah pemegang kekuasaan. Kekuasaan tersebut diberikan oleh rakyat kepada para pemimpin yang terpilih. Apabila penguasa melanggar hak-hak rakyat dalam menjalankan kekuasaannya, rakyat berhak untuk menyampaikan protes melalui demonstrasi. Begitu juga, jika pemerintah tidak berhasil dalam menciptakan kesejahteraan, rakyat memiliki hak untuk melakukan protes.

Inilah dampak sekularisme yang memarginalkan peran dalam kehidupan bernegara. Kebijakan tidak lagi berlandaskan kepada syariat yang maha Pencipta dan Pengatur, tetapi dari hasil pemikiran dangkal manusia. Akal jika digunakan untuk membuat suatu aturan, pastinya akan condong kepada pihak tertentu.

Apalagi masing-masing manusia mempunyai ego tersendiri yang ingin menguntungkan golongannya masing-masing. Tidak peduli akan ada nantinya masyarakat yang memprotes, mengkritik, melakukan aksi protes seperti kamisan dan demonstrasi langsung.

Padahal Imam berperan sebagai perisai, di mana umat berjuang di belakangnya dan mencari perlindungan. Ketika ia menyerukan agar umat bertakwa kepada Allah dan berbuat adil, ia berhak memperoleh pahala. Namun, jika ia mengarahkan umat kepada hal yang salah, ia akan menanggung dosa yang ditimbulkan.[]

Comment