Ancaman Komunisme China Raya Dan Bahaya Politik Kartel Keturunan

Berita426 Views
Foto/Nicholas/radarindonesianews.com
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Qomando Masyarakat Tertindas (Qomat) bekerjasama dengan BEM STEBANK Islam Sjafrudin-Prawiranegara Sekolah Tinggi Ekonomi Perbankan Islam (STEBANK) Jalan Kramat Pulo Gundul K 14-15, Johar Baru, Jakarta Pusat selenggarakan diskusi publik, Kamis (5/1).
 
Diskusi dengan tema”Ancaman Komunisme China Raya dan Bahaya Politik Kartel Keturunan : Fakta Atau Ilusi?’ itu dihadiri DR. Muchtar Efendi Harahap (Pakar Politik Internasional), Munarman (Jubir GNPF MUI), DR. M Nasih (Dosen Politik Pasca Sarjana UI), serta DR. Herdi Sarasad ((Dosen Paramadina), Muslim Arbi (Pengamat Politik), dan Suib Didu ( Pengamat Politik Islam).

Faedurohman, ketum Qomat menyampaikan, tema diskusi diusung karena kondisi bangsa yang semakin memprihatinkan dan karena merasa Indonesia masih berada dibawah bayang-bayang cengkraman Asing dan Aseng.

 
“Harapan ke depan agar lebih memahami kondisi real bangsa saat ini. Di mana sesungguhnya bagi orang yang beriman pada Muhammad Rasullah SAW berkenan berjihad atas dan sesuai dengan amanah dan ajaranNya,” tukasnya.

Dr. Muchtar Effendi Harahap, pengamat politik Internasional yang hadir dalam diskusi tersebut menyampaikan bahwa ada kebangkitan Komunisme.

Berbicara mengenai Power dan upaya merebut kekuasaan, sambung Muchtar, menjelaskan turut pula mempengaruhi bahkan merebut kekuasaan di sebuah negara dan kawasan.”Nah, pertarungan Super Power pasca Perang Dingin ‘Cold War’ inilah beralih dimana antara grup di kancah Internasional dan berlanjut di kawasan Timur Tengah, dimana sumber daya alam kaya akan minyaknya,” paparnya.

“Kemudian beranjak dari kawasan di Asia Tengah itu (kawasannya itu pasca perang dingin) disinyalir hembusannya ke zona Asia pasifik, dikenal dengan laut Asia Pasifik, Laut China Selatan,” jelasnya lagi.

Bahkan, bila menelisik lebih mendalam Muchtar mencermati pula kalau situasinya yang menjadi sorot mata dunia adalah bentuk persaingan antar grup China, Amerika yang mana sudah memasuki ke wilayah Asia Tenggara.”Dimana alamnya kaya akan  Minyak, Gas dan sebagainya,” ungkapnya lagi membeberkan.

Bahkan, tak dipungkiri lagi bahwasanya jalur lintas lautan yang prosentasenya sudah mencapai hampir 50% pedagang melewati wilayah kawasan di atas tersebut.”Amerika melewati selat Malaka, bila kuasai asia tenggara maka akan kuasai Dunia,” paparnya.

“Maka itu Amerika berupaya membendung China menguasai kemampuan militer di wilayah Asia tenggara. China tidak mampu melawan Amerika, maka itu melawan ‘Proxy War’ tanpa perang. Baik lewat ekonomi, baik itu investasi, bantuan dan lain sebagainya,” jelasnya.

Berbeda halnya dengan Amerika, dengan membangun Pangkalan Militer, menurut Muchtar China, yang dikenal dengan pendekatan Turn Key Project Managemen, yang mana bila ditelusuri lebih mendalam di mana baik termasuk teknisi, tenaga terampil, bahkan buruh pun diambil dari China.

“Hal ini dibangun dengan kepentingan dan ketentuan bila ingin investasi, maka pihaknya lah yang mengerjakan. Karena mereka memiliki konstitusi nasional yang mengatakan demikian,” jelas Muchtar lagi.

Namun, patut digarisbawahi, sambung Muchtar, sebenarnya bila mengingat dan membuka lembaran lama, dimana ketika pada tahun 2013, SBY selaku orang nomor 1 Indonesia ketika itu juga telah turut berperanserta membuka kran dengan dibuka kerjasama dengan China via perdagangan.”Bahkan ke Industrialisasi. Contoh Konkrit Jembatan di Madura (baik team leader, top leadernya dari China),”imbuhnya.

Maka dari itulah, papar Muchtar, pendulum itu dipercepat dan mulai pangkas pro China.”Baik itu Hutang Piutang, dan perjanjian. Pendulum tadinya membuka peluang kerjasama dengan Amerika, namun mulai ke China. Ketika Jokowi berkuasa, China pemberi Hutang nomor 5 ke Indonesia , sekarang nomor 3. Bisa jadi untuk 2 tahun lagi ranking ke 1 nantinya,” tandasnya.

Karena kebijakan nasional kita, berada di bawah kekuasaan kepentingan China. Seperi layaknya pelabuhan itu, dimana mayoritas dikuasai investasi oleh China. “Pertarungan Amerika di Asia Tenggara, dimenangkan Oleh China khususnya di Indonesia,” ungkap Muchtar.

Imbas dan implikasi hubungan Indonesia lebih condong ke China, menurut Muchtar dalam waktu jangka pendek, dapat dipahami dengan berbondong-bondong masuknya Tenaga Kerja dari China, isu kebangkitan Komunisme secara sosiologis di mana secara teori bisa saja terjadi (namun prosentase peningkatannya belum mempunyai bukti sejauh ini).

“Inilah konsekuensi hubungan Amerika dan China, di mana Indonesia lebih condong ke China. Selain itu juga isu pulau palsu, isu Aseng, Asing, Asong yang dirasa memeras sumber daya alam nasional dan mengusir, bahkan 80% kekuasaan sudah dikuasai.” jelasnya cemas.

Bahkan sambung Muchtar, peredaran narkoba makin banyak, dan paling seru lagi impor pelacur atau wanita tuna susila (WTS) dari Tiongkok, hal ini kaitannya dengan hubungan makin dalam, maka imbasnya akan makin dalam pula. Selanjutnya, imbas jangka menengah yang kemungkinan akan dirasa secara nasional nantinya, menurut Muchtar, harga barang akan mahal nantinya, investasi pindah dari Vuetnam ke Indonesia.
 

Sedangkan jangka panjang, China akan peroleh hak kelola pelabuhan, baik di pelabuhan laut dan negara. Bila pertimbanganny Jokowi JK  hanya ekonomi semata, hanya mencari uang maka Indonesia akan tergadai (layaknya seperti koloni), dan di luar semakin tidak dihargai.

“Maka itu, ada baiknya untuk Rezim Jokowi JK, kedepan perlu kelola Isu-isu Politik, agar tidak menjadi konflik manifest ke depan. Di mana nantinya ada kemungkinan Pribumi VS Pribumi,
Pribumi vs China,” tukasnya.


“Indonesia niscaya semakin tumpul secara ekonomi dan Amerika nantinya bisa saja dibelah belah atau gadaikan. Padahal sejatinya Politik LN Indonesia yang Non Blok dan Bebas Aktif diharapkan Indonesia tetap bertahan dengan Politik LN seperti itu nantinya,” tandasnya.[Nicholas]

Berita Terkait

Baca Juga

Comment