Penulis: Ninis | Aktivis Muslimah Balikpapan
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Hujan yang seharusnya membawa berkah, kini menjadi ancaman tatkala turun dengan intensitas tinggi dalam waktu yang lama. Pasalnya, musibah banjir pasca hujan kerap terjadi di beberapa wilayah di Kalimantan Timur. Dilansir dari TribunKaltim.co, sejumlah wilayah di Kaltim yang dilaporkan banjir hari Minggu (26/1/2025) adalah Samarinda, Kukar dan Kutim.
Dari data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Samarinda untuk wilayah Bengkuring saja ada 29 RT dengan 1.270 KK atau 4.309 dan 1.189 bangunan yang terdampak banjir.
Sejumlah wilayah di Sangatta Utara dan Sangatta Selatan, Kutai Timur, terendam banjir sejak 3 hari lalu. Terlebih warga mengeluhkan minimnya bantuan pemerintah selama 3 hari itu.
Ketua HMI Samarinda, Syahril membeberkan beberapa faktor pendorong terjadinya bencana banjir. Selain karena buang sampah sembarangan, tapi adanya degradasi hutan ataupun degradasi lahan menjadi penyebab banjir tersebut. Ia menegaskan hujan lebat bukanlah pemicu banjir tapi karena ada ulah tangan manusia. (kaltim.tribunnews.com).
Lantas, apa sebenarnya yang mengakibatkan banjir terus berulang dan bagaimana Islam mencegah banjir?
Problem Sistemik
Terjadinya bencana alam memang layak membuat kita muhasabah. Namun, kita tidak bisa menampik bahwa banjir di Kalimantan sejatinya bersifat sistemis. Ini tampak dari penanganan bencana dari tahun ke tahun yang tidak menunjukkan perubahan signifikan.
Banjir yang berulang dan kerap menjadi langganan ini menegaskan lalai dan abainya penguasa mengurus rakyatnya. Ini sekaligus membuktikan bahwa solusi teknis sudah tidak mampu menanggulangi.
Selain itu, aspek yang paling patut diperhatikan adalah kurangnya sistem peringatan dini dan infrastruktur mitigasi yang belum optimal bisa meningkatkan risiko bencana.
Sejatinya, hujan adalah berkah bagi manusia dan makhluk hidup lainnya, bukan musibah. Sebab, hujan kerap disalahkan ketika terjadi banjir. Padahal, tidak ada yang salah dengan hujan, hanya saja hutan serapan air yang berkurang. Hal tersebut diakibatkan karena deforestasi secara besar-besaran demi proyek strategis nasional (PSN) dan aktivitas penambangan.
Artinya memang ada yang salah dengan tata kelola lahan dan kepemilikan SDAE sehingga mengakibatkan banjir. Sistem Kapitalisme yang membiarkan manusia menjadi serakah dalam mengeksploitasi SDAE. Sistem ini hanya peduli pada manfaat dan ekonomi semata meskipun harus mengorbankan lingkungan dan manusia.
Namun sayang, upaya untuk menyolusi banjir akibat faktor lingkungan tersebut selama ini masih berupa langkah-langkah teknis belum menyentuh akar masalahnya. Langkah teknis tersebut sebatas meningkatkan edukasi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah.
Seyogyanya, penanganan banjir dilaksanakan dari hulu ke hilir, yakni dari akarnya. Penyebabnya bukan sekadar faktor alam tapi karena ulah tangan-tangan manusia, yaitu banyaknya pelanggaran syariat karena kehidupan tidak diatur dengan syariat yang benar (Islam). Eksploitasi alam “ugal-ugalan” atas nama pembangunan tanpa memperhatikan lingkungan harus dihentikan.
Islam Antisipasi Banjir
Musibah banjir yang terus berulang hendaknya pemerintah melakukan muhasabah (evaluasi) dan bertaubat. Hendaknya, tidak hanya fokus mengurusi dampaknya tapi juga melakukan upaya preventif. Yakni dengan mengembalikan pengelolaan alam pada syariat Islam dibawah kepemimpinan Islam.
Syariat Islam mengatur pemanfaatan SDAE tidak boleh merusak alam dan meminimalisir bencana. Sebab negara berperan sebagai Ra’in (pengurus rakyat) dan perisai umat. Sehingga rakyat dapat hidup sejahtera dan penuh berkah.
Rasulullah saw. bersabda, “Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf [7]: 96).
Hujan adalah rahmat dari Allah yang darinya menghidupkan tanaman, dimanfaatan oleh manusia. Kita pun dianjurkan membaca doa ketika hujan turun, “Allahumma shayyiban naafi’aa” agar menjadi hujan yang bermanfaat.
Justru karena eksploitasi SDAE tidak sesuai syariah, fungsi ekologis hujan menjadi tidak seimbang bagi suatu kawasan. Ketika terjadi kerusakan lingkungan akibat ulah manusia, tidak pelak hujan yang semestinya menjadi rahmat justru berubah menjadi bencana, na’użu billāh.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum [30]: 41).
Untuk itu, solusinya tidak lain adalah dengan kembali kepada aturan Allah sebagai pedoman dalam kehidupan, termasuk dalam pengambilan berbagai kebijakan politik oleh penguasa. Semua itu semestinya tecermin dari pembangunan dan pengelolaan bumi yang tidak melulu demi egoisme penguasa apalagi kapitalisasi dan angka-angka semu pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan dalam Islam juga mengandung visi ibadah, yaitu bahwa pembangunan harus bisa menunjang visi penghambaan kepada Allah Taala. Untuk itu, jika ada suatu proyek pembangunan bertentangan dengan aturan Allah ataupun berdampak pada terzaliminya hamba Allah, pembangunan itu tidak boleh dilanjutkan.
Penguasa semestinya merasa malu jika ada julukan “banjir tahunan” atau “langganan banjir”. Penguasa tidak boleh abai terhadap mitigasi bencana, bahkan wajib mengantisipasinya.
Sudah semestinya penguasa kembali pada hakikat kekuasaan yang dimilikinya, yakni semata demi menegakkan aturan Allah Taala dan meneladani Rasulullah saw dalam mengurusi urusan umat. Wallahu A’llam.[]
Comment