Dewan Pers Sebut 85 Persen Wartawan Pilih Jalan Mudah Untuk Menulis

Berita464 Views
Diskusi media yang diselenggarakan Dewan Pers.[Nicholas/radarindonesianews.com]
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Dewan Pers mendukung masyarakat anti hoax, sebaga upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat. Langkah yang dilakukan Dewan Pers adalah melakukan filter dan verifikasi media pemberitaan, untuk memastikan mana saja yang sungguhan atau media yang ‘abal-abal’.

Demikian disampaikan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dalam Diskusi Media bertema “Optimalisasi Peran Pers Melalui Literasi Media dalam Menangkal Propaganda Radikalisme, Separatisme, dan Komunisme” di Gedung Dewan Pers jalan Kebon Sirih No.32-34 Jakarta Pusat, Kamis (23/2).

Diskusi Media yang diselenggarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sosial Media Civic Education/SMCE ini juga menghadirkan nara sumber dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), yakni Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi dan Media Massa Kemenkominfo, Gun Gun Siswandi.

Melanjutkan pernyataanya, Stanly sapaan Yosep Adi Prasetyo mengungkapkan bahwa media sosial yang sebelumnya sebagai sarana komunikasi dan silahturahmi masyarakat penggunanya, kini berubah fungsi menjadi penyebar hoax.

“Kini, media sosial berubah fungsi menjadi ajang orang bertikai, berita hoax marak. Sejumlah orang membuat akun-akun palsu. Bahkan, 85 persen wartawan saat ini memilih jalan paling mudah untuk menulis, menukar ide berita sekaligus memverifikasi sebuah fakta hanya dengan mengandalkan sumber media sosial.

‘paparnya.

Masih soal masyarakat anti hoax, menurut dia inisiatif semacam ini bakal membantu pemerintah dalam mencegah peredaran hoax karena masyarakat bisa berperan aktif sebagai garda depan dengan menyaring mana informasi yang benar dan mana yang tidak.

“Dewan Pers saat ini sedang menjalankan filter dan verifikasi media pemberitaan, untuk memastikan mana saja yang sungguhan atau media yang abal-abal. Dalam verifikasi itu, kami akan memberikan label kepada QR Code untuk media yang lolos verifikasi,” ucapnya.

Sedang Gun Gun Siswandi mengatakan, isu soal hoax tidak hanya menjadi permasalahan di Tanah Air, tetapi menjadi isu global. Penyelesaian terhadap maraknya hoax juga tak melulu harus diselesaikan pemerintah, tetapi bisa mengadopsi cara penyelesaian di luar pemerintah.

“Komunikasi pun dilakukan pemerintah, lewat Kominfo, dengan berbagai pihak dari luar, seperti Facebook dan Google. Kerja sama dilakukan untuk menyaring konten dan beragam informasi,” katanya.

Terkait regulasi, peredaran informasi agar tidak ‘liar’, menurut Gun Gun dapat dilakukan sesuai koridor Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) bagi media massa. Sanksi bagi penyebar informasi hoax bisa dikenakan hukuman sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

“Tapi, kini pemerintah fokus pada ‘hulu’, bukan hanya pembatasan atau pemblokiran, melainkan lebih kepada literasi masyarakat. Makanya kami meng-encourage (mendorong), mempromosikan semua lapisan masyarakat, memiliki etika bagaimana memanfaatkan media sosial,” imbuhnya.

Gun Gun menilai bahwa hoax berarti disinformasi berupa berita yang berasal dari media ‘abal-abal’. Tak hanya itu, berita hoax dapat berupa meme hasil rekayasa, informasi atau pengetahuan rekaan yang tidak jelas sumbernya.

“Fenomena hoax ini sudah mewabah di berbagai daerah dan melibatkan berbagai kegiatan, baik dari produksi maupun penyebaran konten berita,” katanya.

Masyarakat Indonesia saat ini umumnya senang berbagi informasi yang dibarengi dengan perkembangan teknologi digital yang penetrasinya hingga berbagai kalangan, peredaran informasi menjadi kian sulit terbendung.

“Sedikitnya 170 juta masyarakat Indonesia memiliki minimal satu ponsel atau setidaknya satu SIM card. Dengan demikian, mereka bisa berbagi informasi dengan cepat. Media sosial dan aplikasi pengirim pesat cepat (chat apps) menjadi media favorit,” katanya.

Sebelumnya, Rouf Qusyairi, Direktur Eksekutif Sosial Media Civic Education/SMCE mengatakan, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, dalam upaya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), serta menghormati kebhinekaan.

“Insan pers, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, termasuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan memperjuangkan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran (UU No.40/1999), yang didalamnya juga untuk mensukseskan kepentingan nasionalnya,” katanya.

Namun menurut Rouf belakangan ini di Indonesia, karena atas nama kebebasan, berbagai portal berita online banyak bermunculan dengan melakukan dan menjalankan layaknya media massa

“Sayangnya, media tersebut banyak berisikan berita-berita bohong (hoax), dan fitnah yang jelas-jelas tidak memenuhi standar dan kaidah jurnalistik. Menurut data Dewan Pers, jumlah media massa online di Indonesia mencapai 43.400, namun hanya sekitar 234 yang memenuhi syarat dan terdaftar di Dewan Pers, selebihnya bisa diatakan media abal-abal.” ucapnya. (Ald/BB)

Comment