Dilema Fatwa Jihad untuk Palestina dan Sikap Dunia Islam

Opini171 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Persatuan Ulama Muslim Internasional mengeluarkan fatwa menyerukan kepada kaum Muslimin untuk bangkit melakukan jihad membantu saudara-saudara kita di Gaza melawan penjajah zionis. Kontan saja seruan itu diamini oleh banyak kalangan di dunia Islam. Walau “pengaminan” itu pada umumnya lebih kepada goresan-goresan electronik di group-group Whassup dan media sosial lainnya.

Sejujurnya Fatwa ini bukan baru. Atau lebih tepatnya hampir basi. Bahkan sejatinya fatwa ini bagaikan menabur garam di tengah samudra luas. Ragam Fatwa telah dikeluarkan oleh banyak organisasi Islam, termasuk organisasi ini sendiri ketika masih dipimpin oleh Sheikh Yusuf Al-Qaradhowi. Berbagai organisasi dunia, termasuk Jamaah Islamiyah dan Jum’iyatul Islamiyah di Asia Selatan, maupun organisasi-organisasi Islam dunia lainnya, telah mengeluarkan fatwa yang sama.

Tapi yang lebih penting pula adalah bahwa sesuatu yang bersifat “soriih” (jelas) dasar-dasar hukumnya dari Al-Quran dan As-Sunnah sejatinya tidak lagi memerlukan fatwa ulama. Ayat-ayat dan hadits-hadits untuk membela sesama umat memenuhi lembaran-lembaran Al-Quran dan Al-Hadits. Pada sisi lain fakta tentang kezholiman yang dialami oleh saudara-saudara kita di Palestina sangat terpampan di depan mata kita semua.

Jika pada zaman Nabi umat bangkit berjihad karena seorang wanita Muslimah dilecehkan. Tidakkah hati kita berdarah-darah dengan perlakuan yang terjadi kepada saudara-saudara kita, khususnya kepada kaum hawa dan anak-anak di Palestina? Kekerasan dan pelecehan, termasuk pelecehan seksual, bukan lagi hal yang remang-remang. Dengan kemajuan dunia teknologi dan informasi semua terbuka di depan mata umat.

Menyatunya dasar-dasar keagamaan dan fakta-fakta kezholiman di lapangan menjadi basis terkuat di atas segala fatwa bagi umat ini untuk bangkit. Jihad menjadi kewajiban yang tidak diragukan, dan tidak seharusnya ditunda lagi. Dari hari ke hari genosida, pembasmian, bahkan eliminasi terhadap warga Palestina di Gaza terus berlanjut. Sementara umat nampaknya semakin terbawa arus “normalisasi” terhadap kejahatan kemanusiaan terburuk di abad modern ini.

Perlu keterlibatan institusi formal (negara)

Belajar dari perjuangan bangsa Afghanistan seruan jihad ini perlu mencermati segala hal yang terkait sebelum sampai pada tataran implementasi. Tidak diragukan lagi Urgensinya gerak cepat dari semua pihak untuk menyelamatkan Saudara-saudara kita di Gaza. Tapi harus juga dipikirkan segala hal yang terkait, baik yang bersifat teknis maupun tujuan strategis dari jihad itu.

Merujuk kepada pengalaman umat (para mujahidin) di Afghanistan secara global dalam perjuangan melawan Uni Soviet ketika itu akan didapati lebih mudah jika dibandingkan dengan rencana keterlibatan umat Islam dunia dalam perjuangan bangsa Palestina. Hal itu dikarenakan beberapa faktor baik pada aspek teknis maupun aspek strategis perjuangan.

Perjuangan bangsa Afghanistan didukung penuh oleh kekuatan Barat, termasuk Amerika. Kekuatan Barat ketika itu masih memiliki pengaruh besar ke negara-negara Timur Tengah dan Asia Selatan (minus India). Saudi Arabia menjadi kaki tangan Amerika untuk mensuplai senjata ke mujahidin Afghanistan. Pakistan menjadi pintu dan “holding room” (ruang transit) bagi mereka yang akan ikut dalam jihad di Afghanistan. Untuk mereka yang beraliran Syiah, Iran menjadi pintu masuknya.

Hal ini tentu sangat kontras dengan keadaan Palestina. Di satu sisi justeru kekuatan Barat adalah sponsor utama dari genosida ini. Persenjataan dan dukungan politik Amerika dan Eropa Barat, termasuk Inggris dan Jerman, adalah aminisi utama Penjajah zionis dalam melakukan aksi syetan mereka di Gaza. Pada sisi lain, negara-negara Islam yang mengelilingi Palestina, khususnya Mesir dan Yordania, ada di bawah ketiak Amerika dan Israel.

Kedua fakta itu (dukungan Barat ke zionis dan negara-negara pintu masuk tertutup) menjadikan seruan jihad hampir tidak visibel untuk terimplementasi. Mujahidin itu perlu suplai persenjataan dan alat -alat perang lainnya serta pintu masuk ke daerah peperangan. Terkecuali jika ada para wali-wali Nusantara dan para Habaib yang konon kabarnya bisa terbang tanpa teridentifikasi dan mampu menghancurkan musuh-musuh dengan tenaga dalamnya.

Dilema lain dari Fatwa jihad adalah kemampuan pihak musuh untuk membangun persepsi (imej) sehingga jihad yang bertujuan membela keadilan dan kebenaran dibalik menjadi gerakan radikal dan terrorisme. Pada zaman perjuangan Afghanistan saja yang secara resmi mendapat justifkasi dan dukungan resmi dari negara-negara Islam di Timur Tengah (khususnya Saudi dan Iran), gerakan jihad itu mereka mampu dan berhasil membaliknya menjadi (seolah) gerakan radikal dan terroris yang tidak saja mengancam Barat. Tapi justeru menjadi ancaman bagi para penguasa di dunia Islam itu sendiri.

Karenanya selain untuk kepentingan teknis pada tataran jangka pendek dan menengah, keterlibatan institusi negara dalam seruan jihad ini menentukan. Menentukan keberhasilannya dengan kemenangan. Tapi juga menentukan hasil jangka panjang dari perjuangan bangsa Palestina, Al-Quds dan Masjidil Al-Aqsa, dan perjuangan kebangkitan Islam secara umum.

Masalahnya akankah negara-negara Islam memberikan “green light” bagi umat Islam dunia untuk ikut berjuang di Palestina? Akankah Presiden Indonesia misalnya mengeluarkan Kepres atau UU resmi memberikan lampu hijau itu kepada anak-anak bangsa yang ingin ikut berjihad? Tidak kalah pentingnya akankah negara-negara tetangga (Mesir dan Jordan) membuka pintu perbatasan ke Palestina untuk para mujahidin itu masuk ke daerah konflik?

Rasanya hampir mustahil. Di Saudi Arabia memakai simbol Palestina saja dianggap ancaman. Demikian pula Mesir yang menganggap perjuangan Palestina identik dengan Ikhwnul Muslimun yang masih menjadi ancaman bagi rejim Mesir saat ini.

Runyamnya, Presiden Indonesia malah terbawa arus bujukan atau tekanan (?) untuk ikut mengusir bangsa Palestina dari negaranya. Ini atas nama bantuan bagi mereka.

Sungguh kontras. Karena bangsa Palestina bukan hanya ingin senang secara fisikal dan material. Mereka ingin berbahagia dengan kemuliaan dan kemerdekaan bangsanya.[]

Comment