“Indonesia Gelap” Kembali Terang Hanya Dengan Cahaya Islam

Opini371 Views

 

Penulis: Ns. Sarah Ainun, S.Kep., M.Si | Pegiat Literasi

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Beranjak dari peribahasa yang populer, “Setelah Gelap Terbitlah Terang,” Namun kegelapan tidak akan berubah menjadi terang tanpa adanya usaha untuk memahami dan mengatasinya. Maka, kita dituntut untuk memahami kegelapan guna menemukan cahaya.

“Indonesia Gelap” menjadi tema aksi demo besar-besaran mahasiswa yang digelar pada 17 Februari 2025 di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat dan beberapa tempat lainnya. Tema ini diangkat untuk menggambarkan kondisi negeri yang semakin suram dan memburuk. Selain itu, tagar tersebut menjadi ramai diperbincangkan di media sosial X dalam beberapa pekan terakhir.

Mahasiswa mengajukan sedikitnya lima tuntutan yang diklaim memperburuk kondisi Indonesia, mencakup: Penolakan terhadap Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan, transparansi dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), penolakan terhadap revisi Undang-Undang Minerba, Penolakan terhadap dwifungsi TNI, dan penangkapan dan pengadilan terhadap Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.

Apakah benar berbagai kondisi dan kebijakan tersebut merugikan rakyat? Mahasiswa, sebagai kaum intelektual dan agen perubahan, harus lebih kritis. Mereka tidak hanya perlu melihat dampak dari satu atau beberapa kebijakan saja, tetapi juga menggali lebih dalam untuk menemukan akar permasalahan yang menyebabkan kerusakan di berbagai sektor dan aspek kehidupan.

Dengan demikian, mereka dapat menghasilkan solusi yang tepat dan bersifat fundamental. Jika akar masalahnya tidak dikenali, solusi yang diterapkan hanya akan bersifat sementara. Maka, kegelapan hanya akan berganti bentuk dan berpotensi memperburuk keadaan.

Contoh, mengapa Indonesia terus berada dalam kondisi suram dan terus mencatatkan prestasi negatif di tingkat dunia? Indonesia menempati peringkat ke-37 dalam Corruption Perception Index (CPI) 2024 sebagai salah satu negara paling korup di dunia dari 180 negara. Bahkan, Presiden ke-7 RI sebagai orang no satu di Indonesia masuk dalam daftar finalis Person of The Year 2024 untuk kategori kejahatan organisasi dan korupsi versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), yang semakin membuat panas situasi politik di Indonesia.

Selain itu, Indonesia juga berada di peringkat 14 dunia untuk kasus penderita HIV, peringkat ketiga dengan tingkat transaksi dan penyalahgunaan narkoba tertinggi, serta baru-baru ini peringkat keempat dalam kasus pornografi anak.

Tidak hanya itu, masih banyak persoalan lain yang menjadikan kondisi Indonesia semakin gelap. Krisis ekonomi, ketidakadilan sosial, degradasi moral, atau kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, meningkatnya kejahatan atau tindakan kriminal, dan masalah sosial lainnya yang dapat diindra dan dirasakan dengan sangat jelas oleh semua rakyat Indonesia.

Indonesia gelap hari ini bukanlah sekadar dampak dari kebijakan yang salah, tetapi lebih jauh merupakan dampak dari penerapan sistem yang salah sebagai landasan bernegara. Negara ini membuat, menjalankan, dan menerapkan berbagai undang-undang serta aturan berdasarkan sistem kapitalisme-sekuler yang menjadi dasar dalam mengatur kehidupan masyarakat.

Kapitalisme – sekuler memisahkan agama dari kehidupan sehingga lahir sistem pemerintahan demokrasi, dengan asas utama bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Artinya, rakyatlah yang memiliki otoritas penuh membuat hukum, yang kemudian diwakili oleh para perwakilan yang terpilih dan menang dalam pemilu.

Maka sudah barang tentu hukum yang dibuat tidak terlepas dari kepentingan politik, ekonomi dan kekuasaan, dari segelintir pihak, khususnya para elite politik dan pemilik modal yang memiliki pengaruh besar dalam proses membentuk keputusan mereka atau legislasi. Akibatnya, banyak undang-undang dan kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan kelompok tertentu dibandingkan kesejahteraan dan kebutuhan mendasar rakyat secara keseluruhan.

Dengan jumlah penduduk lebih dari 282 juta jiwa, mustahil bagi para wakil rakyat untuk benar-benar mewakili seluruh kepentingan masyarakat. Tidak mengherankan jika berbagai undang-undang yang dihasilkan dari kesepakatan para elite politik –  yang seharusnya melindungi hak-hak masyarakat, justru sering kali merugikan dan melemahkan posisi rakyat kecil.

Hukum seharusnya menjadi instrumen untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Namun realitas yang berbeda menjadi bukti bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dan kelemahan membuat aturan untuk mengatur kehidupan secara adil dan menyeluruh serta bukti cacat dan gagalnya kapitalisme – sekuler mengatur kehidupan.

Hukum yang dibuat oleh sekelompok elite politik ini justru sering kali dipenuhi dengan berbagai kepentingan yang menguntungkan kelompok tertentu, membuka peluang terjadinya berbagai persoalan, seperti korupsi yang merajalela di berbagai bidang dan level jabatan secara sistemik.

Dalam sistem demokrasi, tidak ada yang namanya “makan siang gratis.” Artinya, setiap proses politik, termasuk pemilihan wakil rakyat, membutuhkan biaya yang sangat besar. Fenomena ini menjadi peluang emas bagi oligarki untuk memainkan peran utama dalam menentukan siapa yang akan berkuasa.

Oligarki, yang terdiri dari segelintir pemilik modal besar, memiliki kemampuan untuk mendanai kampanye politik para calon pemimpin. Sebagai imbalannya, ketika para kandidat ini terpilih, mereka akan tunduk pada kepentingan pemilik modal, bukan pada kepentingan rakyat yang memilih mereka.

Akibatnya, kebijakan yang dibuat lebih banyak berpihak pada kepentingan mereka. Seperti kebijakan privatisasi Sumber Daya Alam (SDA), perubahan regulasi tenaga kerja, subsidi yang berkurang, dan kebijakan lainnya.

Begitupun sektor pendidikan dan kesehatan juga menjadi korban kapitalisme yang menjadikan layanan kesehatan dan pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai layanan publik yang bertujuan mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat, melainkan telah berubah menjadi komoditas yang sulit diakses oleh banyak orang. Karena kedua sektor ini telah menjadi ladang bisnis yang menguntungkan bagi segelintir pemilik modal.

Lebih parahnya lagi, sistem ini membentuk pola pikir, perilaku, dan gaya hidup yang mengedepankan kebebasan tanpa batas, sehingga menyebabkan degradasi moral remaja yang telah mencapai titik kritis.

Hal ini terlihat dari maraknya pergaulan bebas dan krisis identitas, menurunnya rasa hormat terhadap nilai-nilai tradisional, serta semakin minimnya kesadaran spiritual.

Akibatnya, tujuan pendidikan untuk menciptakan generasi berkepribadian, berakhlak mulia, dan bertakwa semakin jauh dari harapan, sementara kerusakan moral semakin tak terhindarkan. Tidak mengherankan jika generasi saat ini mengalami berbagai penyimpangan perilaku hingga meningkatnya gangguan mental akibat hidup dalam atmosfer sistem yang rusak dan merusak.

Untuk mengeluarkan Indonesia dari sistem yang semakin memperdalam kegelapan, diperlukan perubahan mendasar. Indonesia harus mencari alternatif pengganti sistem yang lebih baik yang akan membawa cahaya, sebagaimana Rasulullah dan para sahabat yang berhasil mengubah era kegelapan jahiliyah dengan cahaya Islam, menciptakan peradaban mulia yang menerangi seluruh dunia.

Karena, Islam adalah agama yang sempurna, tidak hanya menjelaskan dan mengatur tentang siapa yang harus diimani (akidah) dan disembah serta tata cara beribadah kepada Allah SWT. Kesempurnaan Islam juga terletak pada konsep dan tata cara pengaturan seluruh aspek kehidupan manusia, baik secara individu, kelompok, maupun dalam bernegara.

Islam menjadikan syariat Islam sebagai landasan atau asas bernegara. Artinya, hukum yang diterapkan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan berasal dari syariat Islam, yaitu wahyu Allah SWT. Hanya Allah yang memiliki otoritas sebagai pembuat hukum, bukan selain-Nya, apalagi manusia yang leman sebagaimana dalam sistem demokrasi.

Dalam Islam, hukum yang diterapkan tidak hanya mengakomodasi kepentingan segelintir kelompok atau elite tertentu, tetapi dirancang untuk kemaslahatan seluruh manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ketika hukum Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh), tidak akan ada ruang bagi kepentingan individu atau kelompok tertentu untuk menunggangi kebijakan demi keuntungan pribadi. Sebagaimana firman Allah Swt;

“Milik Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Ma’idah 5:120)

Ayat ini tidak hanya menegaskan bahwa Allah SWT adalah Pencipta segala sesuatu di langit dan di bumi, tetapi juga bahwa Dialah satu-satunya yang memiliki otoritas mutlak dalam menetapkan hukum. Allah SWT memberikan hak kepada manusia untuk mengelola bumi, namun dengan aturan yang telah ditetapkan-Nya.

Hal ini dijelaskan dalam hadist Rasulullah SAW: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput (gembalaan), dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah) (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1140)

Hadist ini menegaskan bahwa ada tiga sumber daya utama yang tidak boleh dimonopoli atau diprivatisasi untuk kepentingan komersial, yaitu air, padang rumput (gembalaan), dan api (sumber energi). Dalam konteks modern, ini juga mencakup sumber daya alam seperti hutan (al-ghaabaat) dan kekayaan alam lain yang menjadi kebutuhan vital masyarakat.

Sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak (min marafiq al-jama’ah) dalam hukum syariat ditetapkan sebagai kepemilikan umum. Oleh karena itu, pengelolaannya harus berada di bawah kendali negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan diserahkan kepada pihak swasta atau asing yang berorientasi pada keuntungan semata. Islam dengan tegas melarang praktik privatisasi SDA yang dapat merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan segelintir pihak.

Dengan demikian, ketika sumber daya alam (SDA) yang berlimpah dikelola dengan benar dan bijak sesuai ketetapan hukum syara’, hasilnya dapat memenuhi enam kebutuhan dasar rakyat, yaitu sandang, pangan, dan papan, serta layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semua kebutuhan ini dapat diakses dengan harga yang terjangkau, bahkan gratis, karena negara menjalankan fungsi dan perannya sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Islam.

Sabda Rasulullah SAW : “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya),” (HR. Muslim).

Maka, Islam tidak hanya mengatur dan membatasi kebebasan dalam hal kepemilikan, tetapi juga dalam berperilaku dan bersikap.

Melalui kurikulum pendidikan yang berlandaskan akidah Islam, pola pikir dan sikap akan terbentuk secara kokoh sesuai dengan nilai-nilai Islam saja, sehingga melahirkan generasi berkepribadian kuat dan berakhlak mulia.

Inilah bukti bahwa Islam memiliki mekanisme yang adil dan berkeadilan dalam mengelola SDA demi kemaslahatan umat, serta mengatur pendidikan dan kesehatan untuk kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, sistem ini juga mampu melahirkan generasi yang berkepribadian tangguh dan kuat, siap mengubah Indonesia yang gelap menjadi terang-benderang, serta membangun peradaban yang mulia.[]

Comment