Jaminan Pangan Sehat Tanggung Jawab Bersama

Berita96 Views

 

Penulis: Rizki Utami Handayani, S.ST | Pengajar di Ma’had Pengkaderan Da’I Cinta Quran Center

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Warga Tiktok mungkin sudah tidak asing lagi dengan makanan bernama La Tiao. Makanan yang berasal dari Tiongkok ini menjadi makanan viral yang digandrungi masyarakat apalagi penyuka pedas. Dijual di berbagai macam marketplace dengan promosi yang membuat konsumen tergiur untuk membelinya, apalagi netizen Indonesia banyak yang menyukai makanan dengan rasa pedas. Latiau adalah sejenis cemilan pedas yang terbuat dari tepung dengan berbagai macam bentuknya.

Dikutip dari gramedia.com, latiao telah menjadi sangat populer di kalangan pecinta camilan. Secara harfiah, nama “latiao” berarti ‘tongkat pedas’ atau ‘potongan pedas’, dan seperti namanya, camilan ini menawarkan sensasi pedas yang menggugah selera. La Tiao terbuat dari potongan gluten gandum yang dibumbui dengan cabai, memberikan tekstur yang kenyal dan rasa yang menggoda.

Proses pembuatan La Tiao secara komersial dilakukan dengan cara ekstrusi dari campuran adonan kaya gluten. Selain cabai, La Tiao biasanya juga mengandung bahan lain seperti garam, gula, dan berbagai rempah-rempah yang menambah cita rasanya.

Meskipun nikmat, produk komersial sering kali mengandung penambah rasa, pigmen, dan pengawet, yang membuat beberapa orang lebih memilih untuk membuatnya sendiri di rumah.

Namun baru-baru ini kita digaketkan dengan kabar dari berbagai media pemberitaan online, di antaranya adalah dari media CNBC online, yang memberitakan bahwa jajanan La Tiao asal China ditarik dari pasaran oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI. Penarikan itu bermula dari kejadian luar biasa keracunan pangan (KLBKP) di sejumlah wilayah, antara lain Lampung, Sukabumi, Wonosobo, Tangerang Selatan, Pamekasan, hingga Riau.

Adapun korban keracunan mayoritas anak-anak yang duduk di bangku sekolah dasar (SD). Biasanya, jajanan ini didapat dari oleh-oleh atau bawaan langsung dari China. Setelah dilakukan uji laboratorium, ada empat jenis jajanan La Tiao yang terdeteksi mengandung bakteri bacillus cereus. Bakteri itu dapat memicu sejumlah keluhan akibat cemaran, yakni mual, diare, muntah, hingga sesak napas.

Peristiwa keracunan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia ini sudah masuk dalam kondisi KLBKP.

Dikutip dari laman detik.health.com, disampaikan bahwa imbas dari KLBKP ini Badan POM telah menarik peredaran beberapa produk La Tiao yang diduga menjadi penyebab kejadian keracunan massal ini. Selain itu diberitakan pula di laman kompas.com bahwa terdapat 73 produk La Tiao yang beredar dan sebanyak empat terbukti mengandung bakteri tersebut.

Selain dengan menghentikan sementara peredaran La Tiao, pihak Badan POM juga menangguhkan sementara registrasi dan importasi produk tersebut sebagai langkah pencegahan, sambil menelusuri kasus tersebut lebih lanjut.

Tempo dalam laman onlinenya juga memberitakan terkait yang disampaikan pihak Badan POM bahwa selain menguji sampel produk, BPOM juga memeriksa gudang importir dan distributor produk tersebut. Taruna berujar, BPOM menemukan adanya pelanggaran Cara Peredaran Pangan Olahan yang Baik (CperPOB) oleh importir dan distributor.

Berbagai kasus keracunan makan yang menimpa banyak siswa ini mengingatkan kita kepada kasus gagal ginjal akut karena obat yang mengandung zat berbahaya beberapa tahun silam.

Hal ini menunjukkan lemahnya jaminan keamanan pangan dan obat. Tugas memastikan keamanan pangan dan obat yang beredar adalah tanggung jawab negara, termasuk produk yang berasal dari luar negeri.

Namun dalam negara yang menjalankan sistem sekuler kapitalis, hal ini bisa jadi terabaikan mengingat peran negara bukan sebagai pengurus rakyat yang sejati. Negara dalam islam memiliki mafhum ra’awiyah dalam semua urusan termasuk dalam hal obat dan pangan, produksi maupun peredaran.

Prinsip halal dan thayyib menjadi panduan negara dalam memastikan keamananan pangan dan obat. Negara dengan konsep Islam memiliki berbagai mekanisme dalam memastikan keamanan pangan dan obat, di antaranya dengan adanya Qadhi Hisbah

Mudir Ma’had Syaraful Haramain, gurunda KH. Hafidz Abdurrahman menyampaikan penjelasannya terkait jabatan qadhi hisbah dalam peradilan Islam.

Qadhi hisbah adalah peradilan yang dipimpin oleh Qâdhî Muhtasib untuk menyelesaikan pelanggaran yang bisa membahayakan hak masyarakat [jamaah].

Qâdhî Muhtasib ini bertugas untuk mengkaji semua masalah yang terkait dengan hak umum, tanpa adanya penuntut. Kecuali, kasus hudûd [seperti, perzinaan, menuduh berzina, mencuri, minum khamer, sodomi] dan jinâyât [seperti pembunuhan, melukai anggota badan orang].

Tugas dan fungsi Qâdhî Muhtasib ini adalah menegakkan kemakrufan, dan mencegah kemungkaran. Dia bisa mencegah kemungkaran begitu tahu, di mana pun tanpa membutuhkan majelis. Dia bisa dibekali dengan polisi yang bertugas mengeksekusi keputusan dan perintahnya. Keputusannya bersifat mengikat, dan harus dilaksanakan seketika itu juga.

Qâdhî Muhtasib bisa mengangkat beberapa wakil yang memenuhi syarat Muhtasib. Mereka bisa disebar ke beberapa pelosok atau tempat yang berbeda. Mereka mempunyai kewenangan yang sama untuk melaksanakan tugas dan fungsi hisbah di tempat atau kawasan, tempat di mana mereka diangkat. Pada zaman ‘Umar bin al-Khatthab ada seorang Qâdhî Muhtasib yang diangkat untuk mengawasi pasar.

Tugas ini dipercayakan kepada seorang wanita, yang bernama as-Syifa. Bahkan, di zaman Khalifah al-Mu’tadzidz (279 H), Sanan bin Tsabit, yang merupakan Qâdhî Muhtasib, juga ditugaskan untuk menguji dan menyeleksi seluruh dokter di Baghdad. Mereka berjumlah 860 dokter.

Qâdhî Muhtasib ini diberi wewenang, untuk melarang para dokter melakukan praktik, kecuali setelah mendapatkan izin praktik dari Qadhi Hisbah [Ibn Abi Ushaibi’ah, ‘Uyun al-Anba’, Juz I/112].

Bahkan, para Qâdhî Muhtasib tidak gentar untuk melakukan pengawasan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara. Dalam kitab, Siyar al-Muluk, diceritakan, ketika penguasa Bani Saljuk menenggak minuman keras bersama punggawa kerajaan, maka mereka pun didera oleh Qadhi Hisbah sebanyak 40 kali cambukan, hingga menanggalkan giginya.

Menariknya, punggawa itu adalah salah seorang komandan militer. Ketika dicambuk, tak satupun anak buahnya membantunya, selain melihatnya. Masya Allah.

Setiap individu seharusnya menyadari bahwa tubuh memiliki hak untuk dipenuhi kebutuhan nutrisinya dengan baik. Tidak hanya sekadar FOMO (Fear of Missing Out) alias mengikuti tren belaka saat mengkonsumsi makanan. Maka perlu berhati-hati saat hendak mengkonsumsi makanan apalagi yang berasal dari luar negeri.

Masyarakat harus memiliki kepedulian dan kesadaran bahwa semua individu pada hakikatnya berhak mendapatkan akses terhadap makanan yang cukup dan berkualitas. Namun kesadaran dan kewaspadaan individu tidak cukup, dibutuhkan perlindungan level negara.

Peran negara dan penguasa serta pihak terkait yang sangat sentral untuk melindungi masyarakatnya. Sanksi yang tegas dari pemerintah bagi yang udah terbukti menimbulkan bahaya bagi produsen yang tidak memenuhi standar.

Makanan dan obat yang beredar seharusnya sudah dipastikan tidak akan menimbulkan bahaya terhadap masyarakat. Aspek yang dipikirkan janganlah hanya sekadar keuntungan semata.

Negeri kita yang kaya dan melimpah sumber daya alam serta potensi pangan yang luar biasa, semestinya tidak menjadikan kita negeri yang tergantung dari impor luar negeri.

Masih banyak pekerjaan rumah menanti untuk menyadarkan serta memandirikan umat, membangkitkannya, memenuhi kebutuhan-kebutuhan umat dengan cara yang halal lagi thayyib. Memaksimalkan potensi sumber daya manusia dan sumberdaya alam di negeri tercinta ini.

Maka jangan pernah berhenti belajar meningkatkan kapasitas diri agar bisa terus berkontribusi memberikan yang terbaik untuk umat. Wallahu’alam bishowab.[]

Comment