RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARYA – “Harta yang paling berharga adalah keluarga. Istana yang paling indah adalah keluarga. Puisi yang paling bermakna adalah keluarga. Mutiara tiada tara adalah keluarga.”
Penggalan lirik lagu “Harta Berharga” tersebut adalah original soundtrack (OST) sebuah film berjudul Keluarga Cemara, film yang menceritakan tentang sebuah keluarga yang bahagia dan tetap harmonis baik dalam keadaan senang maupun terpuruk karena musibah dan berbagai persoalan. Sayangnya, keluarga yang harmonis, begitu sulit dijumpai saat ini.
Fenomena perceraian kembali jadi sorotan. Yang paling menyita perhatian adalah maraknya tren perceraian di usia produktif. Dilansir dari laman republica.co.id Kendari, pasangan usia produktif (28 hingga 30 tahun) mendominasi perkara perceraian yang ditangani hakim pada Pengadilan Agama (PA) Kelas 1A Kendari, Sulawesi Tenggara. Rabu (27/11/2019).
Hal itu disampaikan oleh Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Kendari, Nadra, bahwa periode Januari hingga November 2019 PA Kendari menerima permohonan 1.186 perkara.
Senada dengan apa yang disampaikan Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya, Yaya Yulianti, yang menyebutkan dalam satu tahun, rata-rata 2000 perkara perceraian yang ditangani Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya. Yayah juga mengatakan, pasangan yang bercerai rata-rata masih berusia produktif, antara 20 sampai 40 tahun. REPUBLIKA.co.id (21/11/2019).
Panitera Muda Permohonan Perceraian KPA Kabupaten Cirebon, Atikah Komariah, mengatakan hal yang serupa. Menurutnya fenomena baru di tahun ini, perceraian didominasi pasutri milenial, berusia di bawah 25 tahun. PikiranRakyat.com (08/01/2019).
Untuk skala nasional, Kasubdit Kepenghuluan Direktorat Urais dan Binsyar Kementerian Agama, Anwar Saadi mengatakan, berdasarkan data yang diperoleh sejak 2009-2016, terlihat kenaikan angka perceraian mencapai 16 hingga 20 persen. (merdeka.com, 20/09/1016).
Tren perceraian dengan gugatan istri juga sedang marak. Seperti diungkapkan Panitera Muda PA Kendari, Nadra, mayoritas perkara perceraian yang dimohonkan periode Januari hingga Oktober, pengajuan pihak istri atau cerai gugat sebanyak 440 perkara, sementara pengajuan perceraian oleh pihak suami atau cerai talak sebanyak 157 perkara.
Demikian halnya yang terjadi di Kota Tasikmalaya. Berdasarkan data yang diterima Republika, tahun 2018 terdapat 2.113 perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya. Dari 1.905 perkara perceraian, 481 perkara cerai talak oleh suami dan 1.424 perkara cerai gugat oleh istri.
Selama Oktober 2019 tetdapat 61 perkara cerai talak oleh suami dan 167 cerai gugat oleh istri. REPUBLIKA.co.id (21/11/2019). Data lain menunjukkan, 90 persen penggugat perceraian adalah perempuan. (Merdeka.com (20/09/2019).
Semua fakta di atas menunjukkan bahwa tren perceraian di Indonesian kian meresahkan. Seolah tak ada jalan penyelesaian bagi suami istri yang sedang bersengketa selain perceraian. Mengapa hal ini terjadi?
Pemisahan agama dari Kehidupan
Keluarga adalah institusi terkecil sebagai tempat seseorang mengarungi kehidupan baru bersama pasangannya pasca menikah, memiliki keturunan dan saling berinteraksi satu sama lain. Setiap pasangan suami istri tentu mendambakan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah.
Namun, dambaan itu hanya sebatas untaian kata-kata dan doa yang dilafazkan bersama ucapan selamat saat digelarnya prosesi akad nikah. Pasalnya, mewujudkan keluarga sakinah, mawadah, warahmah, bukanlah perkara mudah. Apalagi saat rumah tangga dihinggapi berbagai persoalan, negara seolah tidak mampu menghadirkan solusi, selain kandasnya biduk rumah tangga di ujung perceraian. Mengapa? Semua karena sistem. Ya, sistem pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) yang diemban rezim ini, di mana peran agama dihilangkan dalam mengatur urusan kehidupan secara menyeluruh telah memunculkan berbagai persoalan yang tak berujung.
Selanjutnya, liberalisme, yang menghargai dan menghormati kebebasan individu lebih dari apa pun, bahkan lebih dari harga diri dan kehormatan individu itu sendiri, tak bisa ditampik sedikit banyak telah turut andil terkait angka perceraian yang menembus posisi tertinggi sedunia. Sungguh ‘prestasi’ yang tak patut dibanggakan sekaligus menjadi warning bahwa penerapan sistem ini menjadi penyebab utama institusi keluarga kini di ambang kehancuran.
Adapun persoalan ekonomi, tidak melulu tentang kesulitan keuangan atau tidak adanya nafkah suami, bahkan pasutri yang ekonominya mapan pun tak sedikit kesandung kasus perceraian.
Hal ini dipicu oleh ketidakpuasan istri atas penghasilan suami karena tidak cukup memenuhi banyaknya keinginan istri sebagai akibat dari gaya hidup hedonis yang merasuki sebagian besar kaum hawa. Ada pula karena penghasilan istri lebih tinggi daripada penghasilan suami, sehingga istri merasa tak harus patuh lagi kepada suami, kondisi ini memicu pertengkaran, KDRT, perselingkuhan, kemudian berakhir dengan perceraian.
Panitera Muda PA Kota Tasikmalaya mengatakan, gaya hidup atau tren sosialita ikut mempengaruhi tingginya perceraian.
Ia mencontohkan, istri tak puas dengan pendapatan suami. Menurutnya, masalah yang muncul bukan karena ekonomi tidak mencukupi, tapi juga gaya hidup yang konsumtif. REPUBLIKA.co.id (21/11/2019).
Solusi pragmatis.
menyikapi tingginya angka perceraian, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dalam berbagai program sebagai upaya menekan tingginya perceraian di tengah masyarakat. Di antaranya, program sertifikat pranikah yang dicanangkan oleh Menko PKM, Muhadjir Effendi, yang mulai berlaku tahun 2020 mendatang.
Program ini ditengarai mampu mengatasi berbagai persoalan yang menjadi sumber konflik penyebab perceraian. Namun, program ini sarat dengan ide-ide liberal seperti kesetaraan, kesehatan reproduksi, pemberdayaan ekonomi, dan lain-lain.
Terkait perceraian yang disebabkan suami tidak menafkahi karena tidak punya pekerjaan, atau gaji yang tidak cukup memenuhi semua kebutuhan pokok keluarga. Seharusnya, pemerintah mengoptimalkan ketersediaan lapangan kerja yang bisa diakses oleh para suami dari semua kalangan, dengan gaji yang layak dan cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, bukan dengan mendorong para istri untuk bekerja agar bisa mandiri dan tidak bergantung pada penghasilan suami. Lagi-lagi, ini kebijakan liberal.
Ketahanan Keluarga Terjaga dengan Syariat Islam.
Dalam Islam, istri dipandang bukan sebagai mitra suami, melainkan lebih sebagai sahabat bagi suami. Pergaulan antara suami istri bukanlah pergaulan kemitraan. Pergaulan antara suami istri tidak lain adalah pergaulan persahabatan.
Satu sama lain merupakan sahabat sejati dalam segala hal, yakni persahabatan yang dapat memberikan kedamaian dan ketenteraman satu sama lain, karena ketentuan dasar sebuah perkawinan adalah kedamaian, dan dasar dari kehidupan suami istri adalah ketenteraman.
Agar persahabatan di antara pasutri ini menjadi persahabatan yang damai dan tenteram, maka syariah Islam telah menjelaskan apa yang menjadi hak istri atas suaminya dan hak suami atas istrinya. Sebagaimana Allah, SWT berfirman dalam Al Quran yang artinya ”Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf” (TQS al-Baqarah : 228).
Allah, SWT telah memerintahkan agar para suami bersahabat secara baik dengan istri-istri mereka, supaya pergaulan dan persahabatan antara mereka berlangsung sempurna ( Nizham al-Ijtima’i).
Pergaulan suami terhadap istri merupakan tambahan atas kewajiban memenuhi hak-hak istri berupa mahar dan nafkah.
Suami hendaknya tidak bermuka masam terhadap istrinya tanpa adanya kesalahan istri. Senantiasa berlemah-lembut dalam bertutur kata, tidak bersikap keras dan kasar, serta tidak menampakkan kecenderungan pada wanita lain.
Mengarungi biduk rumah tangga tidak selamanya akan selalu berjalan mulus. Apabila terjadi masalah di dalam rumah tangga, syariah Islam juga telah menetapkan aturan bagaimana menyelesaikan permasalahan tersebut, termasuk pensyariatan talak.
Talak (melepaskan simpul/ikatan pernikahan) hukumnya mubah (boleh) menurut syariah. Artinya bahwa talak itu halal. Namun, talak tidak dianjurkan sebagai langkah awal dalam menyelesaikan persoalan dalam keluarga.
Talak disyariatkan sebagai metode agar ada jalan keluar yang bisa ditempuh oleh pasangan suami istri yang bersengketa, sebagai jalan terakhir setelah semua cara yang ditempuh tidak memberikan jalan keluar terbaik bagi keduanya. Adapun hak talak ada di tangan suami, bukan di tangan istri. Karena suami adalah pemimpin (qawwam) atas istrinya sekaligus penanggung jawab atas rumah tangganya.
Namun, bukan berarti istri tidak berhak untuk memfasakh (membatalkan) ikatan pernikahan dengan suaminya. Jika di antara suami istri terjadi pertentangan dan persengketaan, maka istri berhak menuntut perpisahan dengan suaminya. Dalam hal ini, Qadhi (hakim) wajib menentukan juru damai dari pihak istri maupun dari pihak suami.
Majelis keluarga inilah yang akan mendengarkan pengaduan dari kedua belah pihak dan mengerahkan segenap daya upaya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian. Jika tidak memungkinkan ada kata sepakat di antara keduanya, maka majelis keluarga memisahkan keduanya sesuai dengan pandangannya berdasarkan fakta yang tampak setelah diteliti (Nizham al-Ijtima’i hal.278).
Islam juga telah memerintahkan para suami untuk menempuh berbagai cara yang bisa mengurangi sikap keras istrinya karena pembangkangan (nusyuz) mereka.
Allah, SWT berfirman “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (TQS an-Nisa :34)
Demikianlah,
Islam memerintahkan agar para suami menempuh segala langkah baik yang lembut maupun tidak, dalam rangka menyelesaikan problem di antara mereka demi menghindarkan keduanya dari perceraian.
Sekali lagi, perceraian bukan langkah pertama melainkan langkah terakhir yang ditempuh, semata-mata demi kebaikan bersama kedua belah pihak.
Wallaahu a’lam bi ash-shawaab.[]
Comment