Perempuan Dan UMKM: Benarkah Solusi aAtau Eksploitasi?

Opini458 Views

 

 

 

Oleh: Anggia Widianingrum, Guru

_________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo melakukan lawatan kerja dalam rangka menghadiri side even KTT G20 yang membahas penguatan UMKM dan bisnis milik perempuan. Pemerintah tampaknya serius berupaya agar perempuan bisa mendominasi sektor UMKM.

Dalam pidatonya yang diterima lewat siaran pers di Jakarta, Minggu 31 Okt 2021 dini hari, Presiden Joko Widodo mengatakan negara-negara G20 harus terus mendorong penguatan peran UMKM dan perempuan melalui sejumlah aksi nyata.

Aksi nyata pertama, ujarnya ialah meningkatkan inklusi keuangan UMKM dan perempuan dengan meningkatkan target indeks keuangan inklusif di tahun 2024 sebesar 90% dengan cara terus memperkuat pembiayaan yang ramah dan akses pendanaan UMKM. Kemudian mengembangkan skema pemodalan khusus bagi pengusaha perempuan mikro dan ultra-mikro yang disebut Mekaar “Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera”.

Aksi nyata kedua adalah mendukung transformasi ekonomi UMKM dengan digitalisasi ekonomi sebagai key enabler. Lokapasar atau ecommerce yang menjadi salah satu penggerak ekonomi Indonesia di masa pandemi.

Lebih jauh lagi, Presiden Joko Widodo menyebut bahwa keberpihakan G20 harus nyata bagi digitalisasi UMKM dan perempuan.

Dukungan tersebut berupa pembangunan infrastruktur digital dan kerjasama teknologi, perluasan konektivitas digital secara inklusif, serta peningkatan literasi digital pelaku UMKM. m.antaranews.com /31 Okt 2021.

Ilusi Nafas Di Tengah Pandemi

Selain dinilai mampu bertahan di tengah pandemi dan krisis ekonomi, UMKM juga mampu menyerap tenaga kerja secara efektif serta berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Keberadaannya yang fleksibel mampu menjangkau hingga ke pelosok daerah hingga menyentuh lapisan bawah sering digadang sebagai solusi atas kemiskinan.

Sudah jamak diketahui, sistem yang mendominasi negara-negara dunia dewasa ini telah melahirkan ketimpangan dan kerusakan hidup dan lingkungan.

Sistem yang lahir dari akidah sekularisme yang menumbuh suburkan para korporat sebagai pengendali hajat hidup orang banyak.

Mengutip pernyataan Winnie Byanyima, Direktur Eksekutif Oxfam International yang dilansir dari CNN /2/2018, bahwa lebih dari USD 8 dari setiap USD 10 kekayaan yang diciptakan tahun lalu masuk kekantong orang-orang terkaya yang jumlahnya hanya 1 persen dari populasi dunia.

Hal tersebut terungkap dari sebuah laporan Oxfam International yang memperkirakan bahwa 50 persen dari populasi dunia tidak ada peningkatan kekayaan.

Laporan tersebut menjelaskan bahwa ekonomi global cenderung menguntungkan yang kaya daripada para pekerja.

“Ledakan miliarder bukanlah tanda ekonomi yang berkembang, namun merupakan gejala dari ekonomi yang gagal”, ujarnya.

Kebebasan hidup juga memunculkan gaya hedonis dan konsumtif yang mempengaruhi kerusakan lingkungan, seperti penggunaan energi yang sebesar-besarnya, pengalihan tata guna hutan dan lahan menjadi perkebunan serta kegiatan industri.

Perempuan dalam Kapitalisme

Tak dipungkiri, perempuan hari ini dihadapkan pada situasi yang sulit. Berbagai persoalan yang harus mereka hadapi. Tak jarang juga diantara mereka harus menjadi tulang punggung keluarga.

Dari persoalan upah pekerja perempuan yang lebih rendah, kondisi masyarakat patriarkis yang terkadang memaksa perempuan harus mengalah dalam hal kepemilikan dan pelayanan pendidikan dan kesehatan.

Apalagi ditambah kondisi pandemi yang belum usai yang mengharuskan kaum perempuan terjun dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Pada saat yang sama mereka juga harus menjadi guru bagi anak-anak mereka yang bersekolah daring ditambah lagi kendala-kendalanya.

Hal tersebut adalah segelintir fenomena persoalan yang dihadapi kaum perempuan miskin saat ini. Tak hanya itu, perempuan dalam lingkaran kapitalisme juga dijadikan layaknya komoditas,. seperti ikon promosi produk di berbagai media yang menampilkan kecantikan dan sisi sensualitasnya.

Hal -hal tersebut adalah akibat dari dari penerapan ideologi kapitalisme yang tidak terlepas dari sudut pandang materi, kebebasan dan pemisahan aturan agama dari kehidupan.

Kegagalan Sistem

Sistem yang tegak berasaskan sekularisme, akan melahirkan berbagai kebebasan manusia mengatur hidup. Salah satunya dalam hal berekonomi dan kepemilikan harta. Sistem yang menempatkan kesejahteraan mengikuti mekanisme pasar terbukti gagal menyolusi kemiskinan.

Bahkan kemiskinan adalah potret lumrah di berbagai negara berkembang walaupun kaya akan SDA. Alasan klasik adalah karena kurangnya sumber daya manusia dan teknologi.

Dengan sistem politiknya Demokrasi, munculah para politisi pengabdi kepentingan. Lengkaplah sudah, seperti simbiosis mutualisme yang saling memberikan imbal balik.

Mereka yang duduk di kursi kebijakan seolah tak serius mengurusi kepentingan rakyat, karena sudah tersandera kepentingan korporat. Tak ayal, sektor-sektor vital yang menguasai hajat hidup rakyat, tidak lagi melayani rakyat dengan mengejar keuntungan dengan mahalnya biaya air bersih, listrik, kesehatan, pendidikan, dll.

Penguatan peran perempuan di sektor UMKM sejatinya menunjukkan kegagalan negara sebagai instrumen utama dalam mensejahterakan rakyatnya. Serta kegagalan negara dalam menjaga dan mengelola SDA yang seharusnya dinikmati seluruh rakyat, juga kesalahan pengelolaan aset negara yang kapitalistik.

Islam Menyolusi Tuntas

Islam adalah aturan hidup yang diturunkan Allah SWT, tentu memiliki peraturan yang sempurna dan paripurna berupa akidah dan syari’at.
Islam juga disebut mabda atau ideologi yang didalamnya terdapat aturan yang mengatur seluruh problematika hidup manusia dan seluruh alam semesta, tak terkecuali masalah ekonomi dan kaum perempuan.

Asas sistem ekonomi dalam islam yaitu terbagi atas pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan hak milik dan distribusi kekayaan.

Di dalam islam, negara adalah instrumen utama dalam mensejahterakan rakyat. Dengan pandangan bahwa jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Dalam berekonomi, islam memandang bahwa harta adalah milik Allah SWT sebagai pembuat hukum, maka pemilikan dan pengelolaannya harus terikat pada ketentuan syarak. Berdasarkan hadis ” Ingatlah, Tiap-tiap kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap kalian akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya itu”.

Negara juga senantiasa memutar harta diantara rakyatnya dan mencegah adanya peredaran dan penimbunan harta di kelompok tertentu.

Mengawasi dan mengatur distribusi barang dan jasa agar kebutuhan senantiasa sampai ke tangan rakyat secara adil dan merata sesuai kadar kebutuhannya.

Islam melarang penguasaan SDA dan aset negara diprivatisasi swasta dengan menetapkan SDA sebagai kepemilikan umum yang dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat secara langsung ataupun tidak langsung seperti pemenuhan kebutuhan pangan dan tempat tinggal. Menjamin pendidikan, kesehatan dan keamanan gratis yang berkualitas dll. Berdasarkan hadis

“المسلمون شركاء في ثلاث في الماء والكلا والنار ومنه حرام

Al muslimuuna syurokaa u fii tsalaatsin fil maa I wal kaa I laa wannaari wa tsamanuhu haroomun

” Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga perkara. Yaitu air, padang gembalaan, dan api. Menjualnya adalah haram”.[HR. Ibnu Majah]

Dalam hal nafkah, islam mewajibkan nafkah berada dipundak kaum laki-laki dengan menjamin ketersediaan lapangan kerja.

Dalam kitab Nizhomul Islam karangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bab Dustur wa Qonun, negara memberikan kesempatan bagi setiap warganya untuk memenuhi kebutuhan pelengkap, serta mewujudkan keseimbangan ekonomi dengan cara memberikan harta bergerak atau tidak bergerak yang dimiliki Baitul Maal seperti memberikan lahan dan pemodalan untuk digarap. Melunasi hutang-hutang orang yang tidak mampu membayarnya yang diambil dari zakat atau fa’i.

Menjamin biaya hidup bagi orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan, atau tidak ada orang yang yang wajib menanggung nafkahnya. Negara juga wajib menampung orang yang lanjut usia dan orang-orang cacat.

Islam Menempatkan Kaum Perempuan Sesuai Fitrahnya

Allah SWT telah menciptakan bentuk fisik yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut mengharuskan keduanya memiliki tugas yang berbeda.

Tetapi realitas membuat perempuan hari ini seakan harus melewati batas fitrahnya sebagai tulang rusuk beralih ke tulang punggung bahkan lebih dari itu, sebagai penggerak ekonomi kerakyatan.

Beban yang bertubi-tubi secara fisik dan mental tak jarang mengubah sisi kelembutan seorang ibu dan istri menjadi superior dan dominan dalam rumah tangganya.

Bukankah hal tersebut akan memunculkan problem baru?
Bukankah fitrah manusia tidak hanya dipenuhi kebutuhan ekonominya saja?
Bukankah seharusnya anak-anak sebagai generasi mendatang dididik dan dibesarkan dalam kasih sayang dan ketakwaan?

Islam menempatkan perempuan sebagai pendidik bagi anak-anak nya dan sebagai pengatur rumah tangga. Hal tersebut merupakan posisi strategis dan utama bagi seorang perempuan. Kedekatannya secara fisik dan psikis terhadap anak yang begitu kuat membuat anak mampu mencontoh perilaku dan kebiasaan seorang ibu. Bahkan penanaman karakter dan pemahaman anak lewat aktivitas keseharian ibu.

Hendaknya seorang ibu dapat memberikan imun kepada anak lewat keteladanannya, bahkan baik buruknya suatu generasi tak bisa dilepaskan dari peran seorang ibu.

Sangat wajar bila kita melihat kondisi generasi hari ini sangat memprihatinkan, dikarenakan sistem yang mengatur hidup dan seorang ibu yang jauh dari nilai-nilai ajaran Islam.
Kabaikan yang diajarkan hanya sebatas nilai-nilai moral kemanusiaan saja yang rapuh.

Dengan pandangan meterialistik dalam memandang kehidupan secara tak langsung ia mengajarkannya pula pada anak-anaknya. Sehingga tidak menyadari diperbudak namun merasa nyaman dalam tatanan hidup seperti ini.

Secara taklif syar’iyah, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama seperti mengembangkan harta dengan cara berdagang, industri atau pertanian. Perempuan juga memiliki hak untuk menduduki salah satu jabatan dalam negara seperti tenaga pendidik, pengadilan dan kedokteran.

Seperti kisah Khalifah Umar bi Khaththab yang pernah menugaskan Syifa binti Abdullah al Makhzumiyah sebagai seorang qadhi di sebuah pasar di Madinah.

Selama sepanjang sejarahnya, islam telah mencetak generasi-generasi rabbani yang tangguh. Tak hanya mumpuni dalam bidang ilmu pengetahuan namun juga seorang yang faqih dalam agama. Seorang pejuang namun berakhlaqul karimah. Hidupnya hanya di abdikan pada kemuliaan islam dan kaum muslimin.

Adapun hukum syarak yang mengatur dan membatasi kaum perempuan adalah suatu bentuk penjagaan kehormatan dan kemuliaan dari Allah SWT.

Oleh karena itu, menggantikan peran laki-laki dalam hal ini merupakan kekufuran dan kezoliman terhadap Allah swt. Wallahu a’lam bishowwab[]

Comment