Polemik BPJS, Asuransi Berjangka Tak Jamin Tua Muda

Opini1104 Views

 

 

Oleh: Ummi Cahaya, S.Pd, Mom Preneur, Aktivis Muslimah

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Gagal ketuk palu, Ida Fauziyah resmi membatalkan permenaker Nomor 2 Tahun 2022 terkait klaim Jaminan Hari Tua (JHT) yg cair di usia 56 tahun.
Hal ini ditengarai akibat derasnya arus opini masyarakat khususnya para buruh atau serikat pekerja yang menuntut haknya lalu menyebabkan Presiden melakukan intruksi untuk merevisinya.

Dilansir Kompas.com (1/3/2022), Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenaker Anwar Sanusi mengatakan, pihaknya tengah merombak regulasi itu sembari berkomunikasi bersama serikat buruh untuk mendapatkan hasil kesepakatan.

“Saat ini, kita sedang menggodok revisi Permenaker 02/2022 sesuai dengan arahan Bapak Presiden. Berbagai masukan dan juga tanggapan dari para pemangku kepentingan, terutama serikat pekerja (SP) dan serikat buruh (SB) kita dengarkan dan ditelaah. Termasuk dengan aturan mengenai pengambilan manfaat pada usia 56 tahun,” jelasnya

Aturan Dianulir, Kabar Gembira?

Meski masih dalam proses amatan, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah dikabarkan akan mengembalikan aturan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) ke aturan sebelumnya, Permenaker Nomor 19 Tahun 2015. Ini sekaligus membatalkan Permenaker 2/2022 yang mensyaratkan JHT cair saat pekerja berusia 56 tahun, meninggal atau cacat tetap.

Akan tetapi belum diputuskan tentang hasil revisi secara pasti. Sebab menurut Ida Fauziah saat ini pihaknya masih dalam proses menyerap aspirasi.

Jawaban tersebut sukses membuat masyarakat yang sebelumnya sempat mengancam akan ‘geruduk’ kantor BPJS Ketenagakerjaan menjadi lega.  Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Jumhur Hidayat, dengan tegas menyatakan bahwa tidak perlu revisi yang memakan waktu. Cukup dibatalkan saja.

“Mencabut Permenaker itu pekerjaan yang butuh waktu tiga menit, tidak perlu lama. Besok Jumat [4 Maret] pas masuk kerja, tinggal beliau panggil bawahan untuk siapkan surat keputusan pencabutan, teken dan selesai,” kata Jumhur dikutip dari tempo.co, Kamis (3/3/2022).

“Kebiasaan pejabat membuat kebijakan seperti hanya dapat wangsit saat mimpi itu jangan sampai terjadi lagi. Bukan hanya Menaker saja tapi pejabat tinggi lainnya,” sambungnya kesal.

Ungkapannya cukup mewakili perasaan masyarakat yang sering dibuat bingung dengan kebijakan yang tiba-tiba diumumkan, terkadang ditunda, atau buru-buru dihapuskan. Kebijakan yang tampak main-main karena keputusan dibuat bukan berdasarkam hasil uji dan pertimbangan yang matang, melainkan sekadar coba-coba semata.

Spekulasi Kas Kosong Jadi Bukti Public Distrust

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan kebijakan baru yang mengatur pencairan manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) setelah peserta BPJS Ketenagakerjaan berusia 56 tahun menimbulkan beragam spekulasi di kalangan buruh. Salah satunya dugaan bahwa dana JHT sendiri sudah tidak ada.

Hal senada disampaikan Pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat yang memperkirakan perubahan aturan pencarian JHT dapat menahan sekitar Rp387,45 triliun iuran pekerja di BPJS Ketenagakerjaan.

Tak heran, muncul dugaan perubahan kebijakan itu dilakukan untuk mengatasi keterbatasan likuiditas pemerintah atau akan diinvestasikan lain untuk proyek-proyek infrastruktur.

“Tuduhan tersebut beralasan karena defisit APBN 2021 mencapai Rp787 triliun dan BI tidak diizinkan lagi membeli SUN untuk menutupi defisit APBN tersebut,” tutupnya.

Menangkis spekulasi yang beredar, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) Anggoro Eko Cahyo memastikan dana program Jaminan Hari Tua (JHT) aman.

Dilansir Kompas.com, (17/2/2022), dana JHT sebesar Rp 372,5 triliun tersebut ditempatkan pada beberapa instrumen investasi, yaitu obligasi, deposito, saham, dan properti. Sebesar 65 persen dana tersebut BP Jamsostek investasikan ke instrumen obligasi dan surat berharga, dimana 92 persennya merupakan surat utang negara.

Lalu, 15 persen diinvestasikan ke instrumen deposito, yang mana lebih dari 97 persen ada di Bank Himbara dan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Sebesar 12,5 persen dialokasikan ke instrumen saham. Saham-saham yang dipilih merupakan saham-saham blue chips yang termasuk di dalam indeks Q45

Berikutnya 7 persen dialokasikan di reksadana, dan yang terakhir setengah persen dimanfaatkan untuk instrumen investasi properti dan penyertaan langsung. Dia menilai, portfolio JHT masih aman dan likuid.

Pernyataan ini terkesan “membela diri” demi kemaslahatan. Namun jika diamati malah membuat masyarakat menyadari bahwa ‘keringat’ mereka selaku pekerja selama ini dipakai dengan sengaja untuk hal-hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan ketenagakerjaan. Diinvestasikan kepada ranah yang rentan terjadi ‘kebocoran’ dalam pengelolaan.

Asuransi Berkedok Jaminan

Secara bahasa terkesan manis namun faktanya justru miris. Alih-alih ditanggung hidup serba terjamin namun nyatanya membiayai diri sendiri dengan iuran yang dipotong otomatis dari hak gaji.

Sudah dipoles sebegitu menor, masih saja ada yang tak menyadari kekeliruan ini lalu menyalahkan masyarakat yang protes atas kepemilikannya sendiri.

Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, mengatakan bahwa program jaminan sosial yang tertulis dalam Undang-Undang (UU) No. 40 tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) hanya manis di nama namun pahit dirasa.

“Sebenarnya kalau kita bicara jaminan sosial, hanya judulnya saja ya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Karena dari program itu adalah berdasarkan iuran. Jadi wajib bagi orang untuk ikut dan kemudian menjadi peserta. Kemudian dipotong dari upahnya pekerja. Bagi masyarakat yang ikut dia harus memberikan iuran. Artinya itu sebenarnya bukan jaminan sosial tapi asuransi,” ungkapnya sebagaimana yang dikutip dari wartakota.tribunnews.com pada 27/2/22.

Dari sisi kesehatan tak jauh beda. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin pun telah membeberkan rencana layanan jaminan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan digabung dengan asuransi kesehatan swasta. Nantinya warga cukup perlu bayar sekali untuk mendapat manfaat jaminan kesehatan dari keduanya.

Sayang, kata “sekali” yang dimaksud bukan sekali seumur hidup. Namun sekali dalam sebulan membayarkan iuran sambil berasumsi “jika saya sakit maka dana BPJS akan terpakai, namun jika sehat maka iuran itu akan tetap dibayarkan hingga tutup usia”. Minimal iuran yang ada bisa dipakai untuk subsidi silang. Dapat dicairkan atau tidak, masyarakat dituntut menjadi insan yang akur dan penuh syukur.

Kembalinya Defenisi Jaminan Hanya Ada dalam Kehidupan Islam

Dalam negara Islam, seluruh penduduk yang tidak mampu bekerja baik karena tua, anak-anak, bahkan cacat, dijamin pemenuhan kebutuhan hidupnya oleh negara. Baik secara tidak langsung dengan mewajibkan wali atau ahli warisnya yang  menanggung, atau jika mereka tidak mampu maka akan ditanggung negara secara langsung.

Ini baru namanya jaminan. Ditanggung penuh dari baitul mal alias kas negara. Karena negara sudah punya banyak pendapatan karena tidak mengizinkan kepemilikan umum diambil alih oleh individu atau swasta. Distribusi harta yang merata membuat negara tak kesulitan jika hendak menafkahi rakyatnya kapan saja.

Namun kapitalisme begitu kejam nampaknya. Para lansia yang harusnya sudah disibukkan dengan amal untuk bekal berpulang malah dipenuhi kekhawatiran tentang biaya hidup dan biaya kesehatan tubuh yang mulai renta.

Menilik kepengurusan Islam di masa silam. Tentu kita terinspirasi dengan kisah-kisah Khulafaur Rasyidin seperti Khalifah Umar ra.

Umar pada suatu ketika melihat seorang pria Yahudi tua, dia sedang meminta-minta. Umar r.a pun memanggil sang Gubernur, dia berkata, “Kenapa pria ini meminta-minta? Di sepanjang hidupnya dia membayar pajak, kenapa dia tidak mendapat tunjangan? Kenapa dia meminta-minta?” Dan dana pensiun pun didirikan.

Umar berkata, “Demi Allah, aku akan menjamin bahwa pada suku Badui di Pegunungan San’a, akan mendapatkan tunjangan. Mereka mendapatkan tunjangan.” Untuk para sahabat yang buta juga mendapatkan perawat. Mereka mempunyai seorang perawat yang mengurusi mereka. Umar r.a melihat sekumpulan umat Kristen, mereka menderita kusta, lalu Umar r.a mengambil kekayaan dari Baitul Maal dan memberikannya kepada mereka untuk menyembuhkan mereka. Dan bagi orang-orang yang tidak bisa disembuhkan, Umar r.a memberikan mereka tunjangan sampai kematian mereka.

Inilah yang disebut sebagai jaminan. Bukan hanya sekadar diksi metafora. Nampak dalam aksi nyata, bukan sekadar kata. Indah sekali bukan?[]

Comment