Sejarah Tentara Elit Muslim Majapahit

Berita586 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Mengagumkan, ternyata wilayah Majapahit lebih luas dari yang
diperkirakan selama ini oleh sejarawan. Riset terbaru tentang penempatan
prajurit Majapahit di luar Jawa menemui fakta yang Ajaib. Anehya,
pleton pleton kawal Majapahit beranggotakan prajurit beragama Islam.
Peninggalannya pun masih bisa dibuktikan hingga sekarang.




Adanya penempatan prajurit Majapahit di Kerajaan Vasal (bawahan) yang
terdiri dari 40 prajurit elite beragama Islam di Kerajaan Gelgel-Bali, Wanin Papua, Kayu Jawa Australia Barat, dan Marege-Tanah Amhem (Darwin) Australia Utara pada abad ke 14 memperkuat bukti bahwa Gajah Mada adalah seorang Muslim.




Prajurit Islam ini berasal dari basis Gajah Mada dalam merekrut prajurit elite yang terdiri dari 3 (tiga) kriteria:



Mada, Gondang ( Tenggulun Lamongan ) dan Badander (Jombang) yang
diketahui sebagai basis teman teman lama beliau. Dari desa desa ini
pemudanya direkrut menjadi Bhayangkara angkatan II dan seterusnya.


Tuban, Leran, Ampel, Sedayu sebagai basis Garda Pantura. Pahang
Malaya, Bugis Makasar, dan Pasai sebagai basis tentara Laut Luar Jawa.

Pada masa itu di Jawa Islam telah berbaur sejak abad ke 10 yang
dibuktikan dengan penemuan Prasasti nisan Fatimah binti Maimun (wafat
1082 M) di Leran, Gresik yang bertuliskan huruf Arab Kufi. Dan Prasasti
Gondang – Lamongan yang ditulis dengan huruf Arab (Jawi) dan huruf Jawa
Kuno (Kawi).

Keduanya merupakan peninggalan zaman Airlangga. Sedangkan orang Islam
sudah masuk ke Jawa sejak zaman Kerajaan Medang abad ke 7. Islam baru
berkembang dengan pesat di Jawa pada abad ke 15, atas peran tak langsung
dari politik Gajah Mada, putra desa Mada Lamongan, politikus abad ke
14.

Satuan tentara elite Majapahit sudah dibangun sejak masa Jayanegara
(1319), yaitu pasukan kawal raja Bhayangkara, yang dipimpin oleh bekel
Gajah Mada. Pada masa selanjutnya satuan elite terus berkembang,
terutama pada masa Gajah Mada menjabat sebagai mahapatih amangkubhumi
dari tahun 1334 sampai 1359, sejak masa Tribhuwana Tunggadewi hingga
masa Hayam Wuruk.

[​IMG]

Menurut “Hikayat Raja-raja Pasai”, ketika Majapahit menyerang Pasai, dan
dipukul mundur (1345), lalu menyerang kembali dan meluluh lantakan
istana Sultan Ahmad Malik Az Zahir (1350), Gajah Mada yang juga seorang
muslim, membawa tawanan orang Pasai yang terdiri dari para ahli,
insinyur lulusan Baghdad, Damaskus dan Andalusia. Sedangkan Sultan Pasai
melarikan diri dari istana. Setibanya di Majapahit, Gajah Mada
membebaskan tawanan tersebut setelah bernegosiasi dengan Prabu Hayam
Wuruk.

Kemudian orang Pasai ini bekerjasama dengan Gajah Mada untuk membangun
kejayaan Majapahit. Sebagai balas jasa, Majapahit memberi otonomi
kepada Kerajaan Pasai Darussalam, dan menempatkan orang Pasai di komplek
elite di ibukota Majapahit Trowulan. Hal ini dibuktikan, pada 1377
Majapahit menghancurkan Kerajaan Budha Sriwijaya dan menguasai seluruh
Pulau Sumatera, kecuali Pasai.

“Maka titah Sang Nata akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia
duduk di tanah Jawa ini, mana kesukaan hatinya. Itulah sebabnya maka
banyak keramat di tanah Jawa tatkala Pasai kalah oleh Majapahit itu”
(Kutipan dari “Hikayat Raja-raja Pasai”).

Dengan adanya orang Pasai yang ahli dalam bidang tempa logam, baik itu
baja maupun emas, maka didirikanlah bengkel senjata dan alat pertanian
yang sempurna (standar baja Damaskus) , saluran irigasi model Andalusia
di Trowulan dan pabrik koin dinar emas Majapahit. Seiring dengan
perluasan wilayah Majapahit untuk mewujudkan “Sumpah Palapa”, Gajah Mada
membentuk pleton-pleton khusus yang didominasi oleh prajurit Islam.

Prajurit Islam Majapahit di Bali
Penempatan 40 orang prajurit Islam Majapahit di Kerajaan Gelgel –
Klungkung, Bali dimulai ketika Raja Gelgel I, Dalem Ketut Ngulesir (1320
– 1400) berkunjung sowan abdi ke Trowulan, tak lama setelah deklarasi
pendirian Kerajaan Gelgel tahun 1383. Beliau didampingi oleh Patih
Agung, Arya Patandakan dan Kyai Klapodyana (Gusti Kubon Tubuh) yang
menghadap Prabu Hayam Wuruk saat upacara Cradha dan rapat tahunan
negeri-negeri vasal imperium Majapahit. Ketut Ngulesir memohon dukungan
dari Maharaja Majapahit, yang dikabulkan dengan pemberian 1 (satu) unit
pleton khusus binaan Almarhum Gajah Mada. (“Kitab Babad Dalem”,
manuskrip tentang Raja-raja Bali).

Prajurit Islam ini menikah dengan wanita Bali, dan beranak-pinak disana.
Mereka sangat setia membentengi Puri Gelgel – Klungkung. Bahkan
meskipun pada akhirnya imperium Majapahit runtuh (1527), tapi Prajurit
Islam tetap menjadi tentara elite Kerajaan Gelgel, dari generasi ke
generasi. Begitu pula di Kerajaan Buleleng, prajurit Islam membentengi
Puri Buleleng dari serangan Raja Mengwi dan Raja Badung dari Kerajaan di
Bali Selatan.

Saat ini kita masih dapat saksikan di Bali, keturunan prajurit Islam
Majapahit yang telah mencapai ribuan orang Islam asli Bali (mereka
menggunakan nama Bali, untuk membedakan dengan muslim pendatang)
tepatnya di desa Gelgel, Klungkung dan di desa Pegayaman, Buleleng – 70
km arah utara Denpasar. Mereka adalah penduduk mayoritas di desa-desa
kuno tersebut.

Sebelum Gajah Mada (wafat 1364) telah membangun sistem perekrutan satuan
tentara elite yang beranggotakan prajurit Islam, dibekali dengan
senjata pamungkas, dan berperang sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Kedua, Prabu Hayam Wuruk diduga telah mengetahui bahwa Gajah Mada bukan
Sudra, melainkan seorang Muslim. Kemungkinan info yang rahasia ini
diperoleh dari Ibunda Ratu Tribhuwana Tunggadewi.

Untuk menghormati almarhum Gajah Mada, beliau tidak mencerai-beraikan
pleton pleton Muslim yang berjumlah 40 orang, karena dalam Madzhab Imam
Syafi’i, syarat minimal untuk mendirikan sholat Jumat adalah 40 orang.
Ketiga, kemampuan tempur 40 orang prajurit Islam dapat menghancurkan 200
sd 400 orang tentara reguler musuh. Karena mereka dibekali kemampuan
militer yang menguasai berbagai jenis senjata. Hal ini dibuktikan dalam
perang mempertahankan Puri Buleleng dari serbuan pasukan gabungan dua
Kerajaan Mengwi dan Badung, yang terletak di Bali Selatan.

Hayam Wuruk kagum atas kesetiaan dan ketetapan janji orang Islam. Mereka
tidak terpengaruh godaan harta, wanita dan tahta yang bukan haknya.
Mereka tidak pernah mabuk, berjudi, maling dan berzina ( kebiasaan buruk
di Majapahit adalah mabuk dan berjudi, serta wanita ). Ketika pleton
prajurit Islam Majapahit ini mengawal pulang rombongan Raja Gelgel,
Ketut Ngulesir, mereka dibekali oleh Hayam Wuruk berupa puluhan ribu
koin cash Cina dan koin Gobog Wayang (koin kepeng tembaga) serta ratusan
koin dinar emas Majapahit.Ini sebagai balasan atas penyerahan upeti
dari Kerajaan Gelgel Klungkung berupa hasil bumi, hewan ternak dan
tangkapan, perhiasan dan kerajinan tangan rakyat Gelgel. Hayam Wuruk
berharap, stok koin-koin tersebut mampu merangsang tumbuhnya ekonomi di
Gelgel. Sejak saat itu Pura Klungkung dan Pura Buleleng telah akrab
dengan koin dinar emas dalam ritual ibadah mereka.

Prajurit Islam Majapahit di Wanin Papua
Saat Prof. JH Kern dan NJ Krom meneliti kitab Nagarakertagama yang
ditemukan (dijarah) oleh JLA Brandes dari istana Cakranagara, Lombok
(1894). Prof. Kern dan Krom, 1920, mendapati fakta bahwa kekuasaan
Majapahit di Papua Barat dibuktikan dengan adanya penempatan prajurit
Islam di Wanin – Papua. Berdirinya Kerajaan Wanin di Fak-fak hingga Biak
merupakan vasal Majapahit. Sampai sekarang, Raja-raja dan rakyat di
Wanin dan Fakfak sangat kental nuansa Islamnya dan sangat fasih
menghafal ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Saat Majapahit runtuh, pada abad ke 16, Kerajaan Wanin bergabung dengan
Kerajaan Ternate Darussalam di Maluku Utara, yang dulunya juga merupakan
bawahan Majapahit. Diperkirakan situs Majapahit di Papua tersebar luas
di Fak-fak, Biak dan Raja Ampat. Keturunan mereka berbeda dengan ras
Papua.

Prajurit Islam Majapahit di Marege – Australia
Menurut Prof. Regina Ganter, sejarawan dari University of Griffith,
Brisbane, Australia – belum lama ini meriset suku Aborigin Marege yang
berbahasa Melayu Makasar. Marege adalah desa kuno di tanah Arnhem, di
daerah Darwin, Australia Utara.
Regina mendapatkan fakta yang menakjubkan , bahwa komunitas Muslim kuno
Aborigin berasal dari Kerajaan Gowa Tallo, Makasar, sudah ada sejak
abad ke 17 (1650 an), dan menyebarkan Islam di Australia Utara hingga ke
desa Kayu Jawa di Australia Barat.

Orang Marege hingga hari ini menyebut rupiah untuk kata ganti uang, padahal mata uangnya adalah dollar.

Juga menyebut dinar untuk koin emas Australia. Dahulu sempat ditemukan
koin Gobog Wayang di desa Marege Darwin. Padahal koin Gobog merupakan
koin resmi Majapahit. Ini menunjukkan adanya jejak prajurit Majapahit
abad ke 14 yang dikirim ke Marege, Dalam risetnya, Prof. Regina
menuturkan bahwa sejak masa Sultan Hasanuddin (1653-1669) kapal-kapal
Pinisi dari Makasar menguasai perairan teluk Carpentaria – Darwin,
mereka mencari tripang.

Di tanah Arnhem, Marege, orang Makassar berhubungan dengan suku
Aborigin, menikah dan beranak pinak membentuk komunitas Aborigin Muslim.
Dalam kebudayaan Marege, nampak jelas mereka menggambar kapal Pinisi
Makasar dalam karya seni kuno mereka. Uniknya, kapal bercadik Majapahit
pun terpahat dalam seni ukir dan lukis mereka yang berusia ratusan
tahun.

Ketika orang Inggris menjajah rayah desa Marege dan desa Kayu Jawa,
mereka nyaris menghancurkan budaya Islam suku Aborigin Marege pada abad
ke 20 seiring arus Westernisasi di negeri Kanguru. Karya seni Marage
banyak yang diboyong ke Eropa. Orang Marege menyebut orang Inggris
sebagai ‘Balanda’, sedangkan orang Kayu Jawa menyebutnya ‘Walanda’, dan
perang melawan orang Inggris disebut ‘Jihad Kaphe.[Sumber]

Comment