“Kebobrokan ekonomi Indonesia ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah, PHK terjadi di mana-mana, pendapatan dan daya beli masyarakat menurun drastis, pengangguran meningkat hingga 7,56 juta jiwa,” ulas Hardjuno pada pewarta.
Dia juga menambahkan, saat pribumi banyak yang di-PHK, justru rezim Jokowi-JK telah menyiapkan KTP dan lapangan pekerjaan untuk ribuan pekerja China. Ini jelas Rezim yang anti rakyat dan pro terhadap Asing. Sedangkan di sisi lain, pemerintah telah menetapkan PP.No.78 thn 2015 Tentang Pengupahan yang ternyata merugikan para pekerja buruh.
Di samping itu pula Hardjuno menyampaikan,”Sandaran kekuatan ekonomi pemerintah adalah Hutang Luar Negeri (HLN) yang nanti rakyat kembali harus menanggungnya. Selain itu pembangunan infrastruktur disandarkan pada investor asing (China) yang hanya untuk mempermudah akses mereka untuk penetrasi dan memasifkan dalam ”pengerukan” Sumber Daya Alam,bukan semata mata untuk Rakyat di seluruh Indonesia dan semakin masifnya penggusuran lahan produktif petani,” ulasnya khawatir.
“Negara jelas sudah ”DIGADAIKAN” pada asing, bahkan ”DIJUAL” karena semua kekayaannya dikuasai oleh asing. Ini jelas kebijakan Pro Investor bukan Pro Rakyat, tidak sesuai dengan kepemimpinan Jokowi-JK yang bernafaskan Sosialis,” paparnya.
Bahkan, tabahnya lagi, kondisi Demokrasi di Indonesia mengalami penurunan.”Yang mana dibuktikan dengan adanya SE Kapolri SE/06/X/2015 tentang ”Hate Speech”. Ini dapat berpotensi membungkam suara Demokrasi di Indonesia tentang kebebasan berpendapat,” ungkapnya.
“Lalu liberalisasi pendidikan dan kesehatan pun masih terjadi, dengan dipangkasnya biaya pendidikan Rp.8,5 T yang tadinya Rp.45,5 T menjadi Rp.37 T, selain itu juga dgn adanya penutupan 243 kampus Perguruan Tinggi Swasta, ini menandakan penurunan Pendidikan di Indonesia,” paparnya.
Hari ini, imbuhnya, masyarakat sedang disuguhkan dengan kasus E KTP yang sejak 7 tahun lalu akhirnya dibongkar KPK dan menyeret nama nama besar dengan potensi kerugian Negara 2,3 Trilyun lebih, di sisi lain Subsidi Bunga Obligasi Rekap ex BLBI Rp.60T per tahun sejak diberikan Surat Keterangan Lunas tahun 2003 yang lalu lanjut terus sehingga patut diduga mengakibatkan kerugian Negara Ratusan Trilyun hinggak Ribuan Trilyun,” pungkasnya.[Nicolas]
Comment