Sekolah Rakyat dan Garuda, Sebuah Ilusi Pemerataan? 

Opini242 Views

 

Penulis: Ns. Sarah Ainun, M.Si | Pegiat literasi

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– “Sekolah dua atap, mimpi dua nasib”—peribahasa ini menjadi gambaran tajam atas realitas ketimpangan sistem pendidikan kita hari ini. Di bawah sistem kapitalisme, akses terhadap pendidikan tak lagi berdiri atas asas keadilan, melainkan ditentukan oleh kemampuan ekonomi.

Sebagaimana realitas hari ini, anak dari keluarga kaya mendapat fasilitas, kurikulum unggulan dan masa depan yang terbuka lebar sementara anak dari keluarga miskin harus puas dengan pendidikan seadanya; fasilitas, guru dan harapan seadanya.

Hari ini, pemerintah merancang pembangunan sekolah sebagai bagian dari strategi mempercepat pemutusan rantai kemiskinan dan mendorong pemerataan akses pendidikan di seluruh Indonesia.

Melalui program yang digagas oleh Prabowo Subianto, inisiatif ini diwujudkan dalam bentuk Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan Garuda—dua skema pendidikan yang diklaim menjadi instrumen utama dalam mewujudkan transformasi pendidikan nasional.

Namun, seperti halnya intervensi sebelumnya—Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) bagi keluarga miskin—program-program tersebut lebih banyak berfungsi sebagai penyangga ekonomi sementara, tanpa benar-benar menyentuh akar persoalan kemiskinan dan ketimpangan pendidikan.

Sebagaimana dilansir dari tirto.id, (19/05/2025),  Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikdasmen, Tatang Muttaqin, mengungkapkan bahwa persoalan ekonomi dan keterpaksaan anak untuk turut mencari nafkah menjadi kontributor utama tingginya angka anak tidak sekolah (ATS) di Indonesia.

Berdasarkan data, sebanyak 25,55 persen anak tidak melanjutkan pendidikan karena kesulitan ekonomi, sementara 21,64 persen lainnya terpaksa bekerja demi membantu penghidupan keluarga.

Tatang juga menyoroti bahwa kesenjangan akses pendidikan antara keluarga miskin dan kaya masih sangat mencolok, meskipun pemerintah telah menyalurkan berbagai bentuk intervensi seperti dana BOS dan KIP. Kondisi ini menunjukkan bahwa bantuan finansial semata belum cukup untuk menjawab persoalan struktural dalam dunia pendidikan.

Dalam konteks ini, pertanyaan penting pun mengemuka, sejauh mana program seperti Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda benar-benar mampu menjawab tantangan pemerataan dan mengatasi ketimpangan pendidikan yang telah mengakar secara sistemik?

Untuk menjawabnya, kita perlu lebih dahulu menelusuri akar persoalan, bagaimana konsep dan paradigma kebijakan pendidikan dibentuk oleh sistem kapitalisme yang mendominasi saat ini?

Paradigma pendidikan merupakan cara pandang mendasar mengenai hakikat pendidikan—yakni bagaimana manusia diposisikan, siapa yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraannya, dan apa tujuan pendidikan dijalankan.

Dari paradigma inilah kemudian ditentukan arah kebijakan, kurikulum, metode pembelajaran, serta pola relasi antara negara, masyarakat, dan peserta didik.

Adapun tujuan pendidikan idealnya adalah mengembangkan seluruh potensi peserta didik, agar tumbuh menjadi manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual dan emosional, tetapi juga memiliki kecerdasan spiritual.

Mereka diharapkan mampu berkontribusi positif dalam kehidupan sosial, siap menghadapi tantangan zaman, dan turut membangun peradaban yang mulia. Namun dalam praktiknya, definisi tujuan ini kerap kali kabur—dimanipulasi dan disesuaikan dengan kepentingan rezim atau sistem dominan yang berkuasa.

Dunia pendidikan hari ini, yang dikuasai dan berjalan di atas rel sistem kapitalisme dan semakin dikendalikan oleh logika pasar, telah mengalami pergeseran makna yang mendasar.

Pendidikan tak lagi dipandang sebagai ruang emansipasi atau hak dasar setiap anak bangsa. Ia berubah menjadi komoditas—barang dan jasa bernilai jual—yang tunduk pada mekanisme komersialisasi dan kompetisi pasar.

Konsekuensinya, akses terhadap pendidikan berkualitas tidak lagi ditentukan oleh potensi, melainkan oleh kemampuan ekonomi. Anak-anak dari keluarga kaya dengan mudah mengakses sekolah elite yang penuh fasilitas, sementara anak-anak dari keluarga miskin harus puas dengan pendidikan seadanya. Ketimpangan ini membentuk jurang sosial yang terus diwariskan dan direproduksi dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Hal ini sejalan dengan pandangan Sosiolog Pierre Bourdieu yang mengatakan bahwa sistem pendidikan dalam masyarakat kapitalistik cenderung melanggengkan struktur kelas melalui apa yang ia sebut sebagai cultural capital—modal budaya yang diwariskan oleh keluarga kelas menengah ke atas. Pendidikan tidak netral. Ia beroperasi dalam medan kuasa yang mempertahankan privilese segelintir kelompok dan membatasi mobilitas kelompok lainnya.

Lebih dari itu, tujuan pendidikan dalam sistem kapitalisme pun menyempit: bukan untuk memanusiakan manusia  melainkan untuk mencetak tenaga kerja kompetitif sesuai kebutuhan pasar, demi mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Nilai-nilai utama yang dijunjung—efisiensi, kompetisi, dan produktivitas—semata-mata berorientasi pada kepentingan ekonomi, bukan moral, apalagi peradaban.

Maka tak heran jika pendidikan dalam sistem ini bersifat instrumental dan diskriminatif: mencetak manusia sebagai alat produksi bukan sebagai subjek yang utuh. Hasilnya, generasi yang pintar tapi miskin makna, berilmu tapi kehilangan arah hidup, terjebak pada logika dan siklus hidup: “kerja, konsumsi, mati”.

Paradigma dan tujuan pendidikan dalam Islam jelas bertolak belakang dengan sistem kapitalisme. Dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan hak mendasar setiap anak sekaligus bagian dari hak-hak syar’i seluruh warga negara, yang wajib dipenuhi oleh negara tanpa syarat dan tanpa biaya.

Negara memiliki kewajiban langsung untuk menjamin seluruh kebutuhan publik, termasuk pendidikan dengan bertindak sebagai penyelenggara dan penanggung biaya yang bersumber dari Baitul Maal.

Dalam sistem ini, tidak dikenal pemisahan akses pendidikan antara anak dari keluarga miskin dan anak dari keluarga kaya—baik mereka yang tinggal di pusat kota maupun yang berada di wilayah terpencil. Pendidikan dalam Islam bersifat universal, merata, dan bebas dari diskriminasi kelas sosial.

Dalam pandangan Islam, pendidikan tidak diposisikan semata-mata sebagai instrumen untuk mencetak tenaga kerja atau sebagai solusi atas persoalan ekonomi negara. Justru sebaliknya, sistem ekonomi Islam hadir sebagai fondasi suprastruktur yang menopang dan mendukung tegaknya sistem pendidikan.

Pendidikan dipandang sebagai hak syar’i setiap warga negara, yang bertujuan untuk melahirkan generasi pelanjut peradaban Islam—yakni individu yang kokoh dalam akidah, luhur dalam akhlak, serta memiliki penguasaan ilmu yang mampu menjawab tantangan kehidupan.

Pendidikan dalam Islam diselenggarakan dengan visi besar: membentuk generasi berkepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah) yang tidak hanya menguasai ilmu-ilmu terapan dan pengetahuan kehidupan, tetapi juga siap mengemban risalah dakwah dan jihad untuk menegakkan peradaban Islam di seluruh penjuru dunia.

Sistem pendidikan ini tidak semata-mata berorientasi duniawi, melainkan menjadikan pencapaian ukhrawi sebagai tujuan akhir. Menuntut ilmu sebagai amal ibadah dan pendidikan menjadi jalan untuk membebaskan manusia dari dominasi sistem jahiliyah dan peradaban materialistik.

Sejarah membuktikan bahwa ketika Islam diterapkan secara kaffah, pendidikan menjadi pusat kejayaan umat. Lahirnya institusi-institusi seperti Bait al-Hikmah di Baghdad, Madrasah Nizamiyah di Nishapur, dan Universitas Al-Qarawiyyin di Fez adalah bukti bagaimana pendidikan Islam mampu melahirkan generasi ilmuwan, pemikir, dan mujahid yang membangun peradaban agung.

Dalam kerangka ini, sistem pendidikan Islam bukan sekadar fondasi kemajuan internal umat, tetapi juga telah terbukti menjadi mercusuar peradaban—kiblat ilmu pengetahuan yang diakui oleh dunia.

Karena itu, sudah semestinya umat Islam hari ini tidak hanya menyadari urgensi sistem pendidikan Islam, tetapi juga berjuang sungguh-sungguh untuk mengeimplementasikan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan.

Hanya dari sistem inilah akan lahir generasi Muslim yang unggul—berilmu tinggi, berakidah kuat, berakhlak mulia, dan memiliki visi global sebagai penjaga serta pembangun peradaban Islam yang agung.

Sebuah generasi yang tidak hanya memberi solusi bagi umatnya, tetapi juga menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bishswab.[]

Comment